Tag: Manggarai

  • Jangan Omong Kosong Besok Pagi

    Jangan Omong Kosong Besok Pagi

    Indodian.com“Dimana-mana ada kawan saya, dimana-mana ada kawan saya. Ce pat hari Selasa ada di sana, ce pitu hari Minggu ada di situ. Jadi ta teman jadi ta, bole ta teman bole ta. Jangan omong kosong besok pagi.”

    Penggalan lirik lagu di atas familiar di telinga kami. Saking familiarnya, saya sering menyanyikannya untuk menidurkan si Enos, buah hatiku.

    Bila ada momen pesta adat, lagu tersebut dinyanyikan bersama-sama, dalam suasana tawa. Ditemani tuak atau sopi sebagai penghangat udara pegunungan di kala malam.

    Begitupun saat ada permainan caci. Di tanah congka sae ini, memang lagi tren “musim” caci, terutama karena sedang ramainya wisata premium.

    Ada caci congko lokap (doa atau syukuran rumah adat atau mbaru gendang), syukur tahbisan imamat, dan lain-lain.

    Maka hampir pasti, ada pemain caci yang menyanyikan lagu “jangan omong kosong besok pagi” itu dari dalam arena (natas). Dan dijawab penonton di luar natas dengan serempak.

    Sepintas menarik jika melirik sedikit lirik lagu “jangan omong kosong besok pagi itu dengan disertai dimana-mana ada kawan saya”. Pengarangnya entah siapa.

    Tapi bisanya lagu-lagu seperti begitu diteruskan secara turun-temurun, dinyanyikan bersama saat pesta atau momen lainnya, dengan sedikit perubahan go’et atau lirik sesuai konteks si penyanyi.

    Saya menduga pengarang lagu ini adalah seorang pengembara, yang dikenal banyak orang, suka bergaul, punya banyak kawan, dan tidak terlepas dari keberadaan orang lain leonbet.

    Bisa jadi dia merefleksikan pentingnya hidup bersama, kebersamaan, persaudaraan dan kekeluargaan yang berawal dari saling mengenal, saling sapa, saling berbagi–pengalaman atau rezeki sekalipun.

    Bila saling mengenal, memahami, menerima, maka tak ada rasa benci. Kebencian justru lahir dari ketidaktahuan dan kekerdilan ruang pikir kita. Tetapi bahwa kita dilahirkan untuk hidup bersama, berkomunitas, dan bersaudara. Ya, itu tadi: karena memang di mana-mana ada kawan saya.

    Barangkali dalam hal lain, si pengarang atau penyanyi berpesan untuk menjunjung tinggi kesetiaan dan kejujuran. Ini nyata dalam penggalan “jangan omong kosong besok pagi“.

    Orang Manggarai–bahkan saya kira seluruh daratan Flores, dikenal dengan orang yang ramah, murah senyum, suka bergaul, dan perantau. Bila dicek, maka hampir pasti kita menemukan orang Manggarai, dimana-mana di negara ini, bahkan di seluruh dunia, terutama para misionaris–imam dan biarawan atau biarawati. Maka klop dengan lagu tadi.

    Ihwal “jadi ta teman jadi ta, bole ta teman bole ta. Jangan omong kosong besok pagi” bahwa kita ingin mengedepankan kejujuran dan kesetiaan. Saya pernah menemukan penggalan atau tukilan dalam bahasa Inggris dalam sebuah bacaan. Honesty is the best policy.

    Begitu pula dengan kesetiaan. Bukan parang bermata dua (kope harat bali atau kope nggolong welak), atau “setiap tikungan ada“.

    Dalam go’et Manggarai ada petuah atau ungkapan-ungkapan, seperti, “neka daku ngong data, neka data ngong daku. Eme daku, daku muing. Eme data, data muing. Neka lapi-lopet. Kope nggolong welak”.

    Lalu, bagaimana jika lagu tersebut di atas dinyanyikan oleh para politisi, terutama dalam konteks menjelang pilkada atau pemilihan kepala daerah secara serentak 2024 di Indonesia? Aiii mama ee, mungkin itu urusan lain.

    Jalur politik memang jalur yang kaya akan “seni tipu-tipu”. Sehingga memang saya harus menjauhkan “seni” itu dalam tulisan kecil ini. Karena bisa saja fatal–nanti ada yang merasa tersentil.. Saya malah lebih senang mendengar lagu Iwan Fals berjudul “Asyik Nggak Asyik” ini:

    “Rakyat nonton jadi suporter//Kasih semangat jagoannya//Walau tahu jagoannya ngibul//Walau tahu dapur nggak ngebul//Dunia politik dunia bintang//Dunia hura-hura para binatang//Berjoget dengan asyik.”

    Daripada sibuk memikirkan politik–yang familiar dengan jargon “tidak ada kawan atau lawan yang abadi, tetapi kepentingan yang abadi” itu, mending kita nyanyi rame-rame:

    “Dimana-mana ada kawan saya, dimana-mana ada kawan saya. Ce pat hari Selasa ada di sana, ce pitu hari Minggu ada di situ. Jadi ta teman jadi ta, bole ta teman bole ta. Jangan omong kosong besok pagi.”

    Atau mungkin bila ada oknum politisi atau calon legislatif yang menyambangi rumahmu dan mengumbar janji, kita sambut saja dengan lagu Koes Plus: “Kapan-Kapan”.

    Saya sewaktu kecil sering mendengar plesetan lagu dari grup musik Indonesia yang dibentuk tahun 1968 itu. Kami menyanyikannya dengan bentuk lain:

    “Kapan-kapan Pa Nabas, kita bertemu lagi Pa Kanis? Mungkin lusa Pa Lukas, atau di lain hari Pa Kanis”.

    Eh, semakin ke sini kok tulisan ini semakin ke sana, ya. Aehh, saya omong apa ini? Lebih baik mengopi saja sudah. Mengasap dan me-ngue. Asal jangan ngu-nge. []

  • Mengemohi Zombi Kapitalisme di Manggarai

    Mengemohi Zombi Kapitalisme di Manggarai

    Indodian.com – Manggarai1 selalu menyumbang angka kemiskinan di republik ini. Realitas kemiskinan ini ditemukan oleh sejumlah peneliti, pengkaji, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan sejumlah aktivis dari pelbagai gerakan sosial di lapangan. Menariknya pada 8 Septemper 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Manggarai Barat melaporkan jumlah penduduk miskin di Manggarai Barat selama lima tahun terakhir―terhitung sejak 2016 (49.550 orang), 2017 (49.390 orang), 2018 (48.530 orang), 2019 (49.230 orang), dan 2020 (49.400 orang).2 Masyarakat miskin di Manggarai Timur terdapat 44.630 orang.3

    Kemiskinan di Manggarai seolah-olah semakin berurat berakar, dan tidak mudah dicabutkan dari sejarah kehidupan masyarakat di dalamnya. Kemiskinan seolah-seolah menjadi identitas. Membaca tren peningkatan angka kemiskinan di Manggarai dalam beberapa tahun terakhir ini, sesungguhnya bukan tanpa alasan.

    Saya berpendapat bahwa kemiskinan di Manggarai disebabkan oleh pendalaman sistem ekonomi kapitalisme neoliberal yang terungkap jelas dalam praktik perampasan ruang. Saya akan tunjukkan beberapa kasus perampasan ruang di Manggarai, setelah saya uraikan tinjauan teoretis atas produksi ruang.

    Zombi Kapitalisme Merampas Ruang di Manggarai

    Ketika kaum kapitalis merampas ruang, membangun tembok tinggi-tinggi, mempekerjakan satpam, menetapkan aturan kerja dan bersekongkol dengan aparatur negara, siapa lagi yang dapat mengakses ruang itu? Kalau kita sebagai orang asing/baru mau memasuki ruang abstrak itu, kita wajib membayar dan mengikuti aturan permainannya (sistem).

    Di dalam ruang abstrak (abstract space istilah Henri Lefebvre) itu, kita atau siapa pun yang berjalan mengitari ruang abstrak itu tidak akan tahu apa yang terjadi di dalamnya. Ruang abstrak didekorporealisasi, dan ini merupakan satu dimensi lain dari alienasi.4 Hal ini terkait dengan kekuatan para kapitalis yang mengendalikan ruang guna meningkatkan produksi, dan menghasilkan keuntungan yang lebih.

    Tanpa menelikung pemikiran Lefebvre, David Harvey menggunakan perspektif Marx dalam Das Capital guna memahami hubungan kapitalisme dan pembentukan ruang geografis. Harvey mendekonstruksi pemikiran Marx, terutama berkaitan dengan rantai produksi komoditas, nilai guna (use value), nilai tukar (exchange value), munculnya uang hingga menghasilkan gerak atau sirkulasi dari modal yang kemudian membentuk ruang geografis yang tidak seimbang.5

    Ekspansi kapital memerlukan reproduksi ruang agar sistem produksi bisa meluas secara geografis. Harvey berpendapat bahwa produksi ruang seringkali dilakukan dengan akumulasi melalui perampasan.6 Produksi ruang mengancam tidak hanya tanah (ruang), tetapi juga warga masyarakat dan kebudayaan di dalamnya.

    Produksi ruang tersebut memaksa kehidupan masyarakat berubah dari keadaan kampung, ladang, dan sawah menjadi kawasan industri. Produksi ruang menyingkirkan dan meminggirkan warga masyarakat dari tanah dan ruang kehidupannya. Para kapitalis meyakini diri bahwa tindakan kekerasan yang mereka lakukan sebagai tindakan penyelamatan agar para pekerja dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya.

     Para kapitalis juga yakin bahwa dengan tindakan-tindakan seperti itu, selain membuat mereka meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, mereka pun telah berhasil “menyelamatkan” para pekerja dari kemiskinan, kelaparan dan ancaman kematian.

    Chris Harman berpendapat bahwa kapitalisme telah mengubah masyarakat secara keseluruhan, karena ia menyedot miliaran orang untuk bekerja keras untuk kepentingan kapitalis.7 Kapitalisme telah mengubah seluruh pola kehidupan umat manusia, dan membentuk kembali sifat manusia itu sendiri. Hal ini memberi karakter baru pada model penindasan lama dan memunculkan yang benar-benar baru.

    Hal ini juga menimbulkan perang dan perusakan ekologis. Menurut Harman, kapitalisme tampaknya bertindak seperti kekuatan alam, menciptakan kekacauan dan kehancuran dalam skala yang jauh lebih besar daripada gempa bumi, badai atau tsunami.8 Hal ini akan terlihat dalam beberapa kasus perampasan ruang berikut ini.

    Hutan Bowosie-Labuan Bajo-Flores-NTT yang diwacanakan oleh pemerintahan Joko Widodo melalui Badan Pelaksana Otorita-Labuan Bajo Flores (BPO-LB) mendapat sorotan publik. Hal ini ditandai dengan aksi penolakan, dan demonstrasi baik dari warga masyarakat setempat maupun dari sejumlah pengkaji, peneliti, dan gerakan-gerakan sosial pecinta lingkungan hidup. Bentuk-bentuk penolakan tersebut dapat dibaca di media sosial.

    Aksi penolakan tersebut dilatarbelakangi oleh aksioma bahwa kebijakan pengalihfungsian hutan lindung menjadi bisnis ekonomi pariwisata berpotensi menghancurkan kelestarian hutan dan mengancam kelangsungan hidup masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Hutan Bowosie dicatat sebagai sumber mata air bagi masyarakat di Labuan Bajo. Jika hutan lindung ini diprivatisasi dan dieksploitasi maka kota Labuan Bajo akan mengalami krisis air. Selain itu peluang banjir begitu besar, karena hutan Bowosie juga tercatat sebagai wilayah resapan hujan.9

    Tidak hanya hutan Bowosie yang jadi sasaran eksplorasi dan eksploitasi investor/kelas kapitalis, sejak tahun 2016 proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB) atau geothermal di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, NTT mulai dimasukan dalam kebijakan pemerintah setempat.10

    Proyek geothermal ini menuai pro dan kontra antara masyarakat setempat sampai hari ini. Pada Februari 2020 dan 30 Juli 2021, masyarakat setempat sudah mengirimkan surat kepada Bank Dunia agar proyek geothermal ini segera dihentikan.11 Per tanggal 9 Mei 2022, warga masyarakat Wae Sano mendesak Bank Dunia untuk menghentikan pendanaan terhadap proyek geothermal. Alasan mendasar dari penolakan mereka atas proyek geothermal ini ialah tik-titik pengeboran yang sudah ditetapkan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) berada di tengah-tengah ruang hidup mereka.

    Berikut kutipan pernyataan Yosef Erwin Rahmat yang mewakili warga adat Wae Sano, ketika diwawancarai oleh media Floresa.com:

    “Yang kami maksudkan dengan ruang hidup adalah kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan antara pemukiman (golo lonto, mbaru kaeng, natas labar), kebun pencaharian (uma duat), sumber air (wae teku), pusat kehidupan adat (compang takung, mbaru gendang), kuburan leluhur (lepah boak) dan hutan (puar) dan danau (sano)”.12

    Tidak hanya di Manggarai Barat, Manggarai Timur juga menyumbang persoalan pelik bagi warga masyarakat. Ruang sosial (hidup) dirampas oleh kelas kapitalis dan pemerintah setempat meskipun warga adat setempat menolak pembangunan pabrik semen dan tambang batu gamping oleh investor/kelas kapitalis di Luwuk dan Lengko Lolok, Desa Satar Pundak, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.

     Alasan mendasar mereka menolak ialah karena di wilayah itu ada lahan sawah, permukiman warga, dan bukit karst. Memang sejak awal kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat, berjanji melakukan moratorium semua jenis tambang di NTT. Viktor Bungtilu Laiskodat berpendapat bahwa tambang dan pabrik tidak akan pernah menyejahterakan masyarakat. Namun demikian, izin usaha pertambangan justru terjadi pada masa pemerintahannya.13 

    Persoalan tersebut di atas merupakan hasil laporan media lokal, dan tentu saja masih ada persoalan lain di Manggarai yang ditimbulkan akibat kerja sama antara pemerintah setempat, pemimpin agama (Gereja lokal), dan kelas kapitalis. Persoalan-persoalan di atas dikategorikan ke dalam persoalan ruang hidup warga masyarakat, dan organisme lain di dalam ruang tersebut.14

    Sederhananya, itulah model kapitalisasi ruang, yang darinya timbul segala kekerasan, penindasan, pembisuan, reitifikasi, eksploitasi, dan alienasi secara membabi buta terhadap warga masyarakat setempat. Prinsip liberalisasi pasar tidak terikat pada wilayah geografis dan demografis tertentu, tetapi melampauinya, dan kemudian menjinakkan dan merombak seluruh tatanan sosial ekonomi, politik, tradisi, agama dan kebudayaan.

    Laman: 1 2

  • Pariwisata dalam Konteks Manggarai Raya

    Pariwisata dalam Konteks Manggarai Raya

    Indodian.com – Tulisan ini bukan suatu pretensi menolak secara total akan pengembangan pariwisata yang sedang berjalan di Manggarai Raya (Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur). Ini semacam renungan pribadi (mungkin juga Anda di luar sana) terkait geliat pembangunan pariwisata di bumi Congka Sae .

    Sebagai pengantar, saya coba menyodorkan berita yang berjudul “Shana Fatina Tegaskan Pariwisata Jadi Jiwa Manggarai Raya”- diangkat oleh media daring Ekorantt.com (edisi, 6 Januari 2022). Pernyataan Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores ini dalam momentum Sidang Pastoral Post Natal Keuskupan Ruteng yang diselenggarakan di Aula Rumah Retret Bunda Karmel Wae Lengkas, Ruteng-Manggarai (05/01/2022). Sidang pastoral ini menghadirkan juga narasumber lain yakni Bupati Manggarai, Herybertus G. L. Nabit, Bupati Manggarai Barat Editasius Endi, dan Sekda Manggarai Timur Bonifasius Hasundungan.

    Ketika saya menganalisis pemberitaan tersebut, terdapat hal menarik dari empat narasumber yang hadir yaitu sama sekali tidak menyinggung konteks pertanian di Manggarai Raya. Sidang pastoral 2022 hanya menyasar poin “partisipasi masyarakat, pariwisata budaya-religi, pariwisata berkelanjutan, berwawasan lingkungan”.  Topik pariwisata holistik yang diangkat dalam sidang pastoral 2022 belum mampu menangkap landscape ‘pertanian’ bagian dari garapannya. Hal tersebut, tentu kita hargai karena ada dasar selektivitasnya; mungkin berupa ide, tujuan, fokus proyek dan hal lainnya. Untuk tidak berlebihan, dapat katakan pariwisata Manggarai Raya tanpa membahas isu pertanian sesuatu yang keliru.

    Mengapa demikian? Mengutip buku Mencari Indonesia: Batas-batas rekayasa sosial (2007) karya Riwanto, pertanian menjadi sektor yang diandalkan bagi Negara agraris. Kemudian kesamaan dengan konteks manggarai Raya adalah, daerah ini masuk pada kategori masyarakat agraris. Sebagian besar penduduk Manggarai Raya bekerja di bidang pertanian. Pada tataran ini, saya coba masuk di bagian refleksi akan skema permainan pengembangan pariwisata di tanah Nuca Lale dan juga alasan kenapa ‘pertanian’ menjadi poin yang mesti dikembangkan. 

    Pertama, secara pribadi, sebagai orang yang bergelut di bidang pariwisata (mahasiswa-pekerja pariwisata), tentunya sangat mengapresiasi program kerja pemerintah yang menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan. Lebih lagi wilayah ini (baca: Labuan Bajo) sudah dipredikat sebagai destinasi wisata super premium di Indonesia yang bertaraf internasional. Pelabelan super premium untuk Labuan Bajo hemat saya perlu periksa. Maksudnya adalah keberadaan kita sebagai subyek pembangunan kira-kira di posisi yang mana. Alur berpikir memahami persoalan ini yaitu pahami sikap kita terhadap pariwisata lokal.

    Doxey (1976) sudah mengembangkan sebuah teori yang disebut irrindex (irritation index). Model irrindex dari Doxey ini menggambarkan perubahan sikap masyarakat lokal terhadap wisatawan secara linier. Sikap yang mula-mula positif berubah menjadi semakin negatif seiring dengan bertambahnya jumlah wisatawan. Tahapan-tahapan sikap masyarakat lokal terhadap wisatawan mulai dari euphoria, apathy, irritation, annoyance dan antagonism (Doxey, 1975).

    Euforia kedatangan wisatawan diterima baik dengan sejuta harapan. Ini terjadi pada fase-fase awal perkembangan pariwisata pada suatu daerah tujuan wisata, dan umumnya daerah tujuan wisata tersebut belum mempunyai perencanaan. Apathy, masyarakat menerima wisatawan sebagai sesuatu yang lumrah, dan hubungan antara masyarakat dengan didominasi oleh hubungan komersial. 

    Annoyance, titik kejenuhan sudah hampir dicapai, dan masyarakat mulai merasa terganggu dengan kehadiran wisatawan. Perencanaan umumnya berusaha meningkatkan prasarana dan sarana, tetapi belum ada usaha membatasi  pertumbuhan. Antagonism, masyarakat terbuka sudah menunjukan ketidaksenangannya, dan melihat wisatawan sebagai sumber masalah. Pada fase ini perencana baru menyadari pentingnya perencanaan menyeluruh (Doxey, 1975 dalam Ben 2018: 220).

    Fokus teori Doxey adalah evolusi sikap masyarakat lokal dengan wisatawan. Untuk keperluan relevansi tulisan, istilah ‘wisatawan’ tadi saya coba ubah menjadi kata ‘pariwisata’. Mengacu pada teori Doxey, konteks hadirnya pariwisata di Manggarai Raya-kita berada di level yang mana? Apakah level euphoria: kita melihat pariwisata sebagai ‘sesuatu’ yang menjanjikan dengan sejuta harapan? Level apathy: aktivitas-kebijakan pariwisata sebagai sesuatu yang lumrah? Level annoyance: kita merasa terganggu dengan hadirnya pariwisata? Ataukah fase antagonism: kita tidak menyukai pariwisata karena sebagai sumber masalah? Pertanyaan reflektif tersebut, jawabannya ada dalam fenomena pariwisata dengan segala kompleksitasnya.

    Kedua, pariwisata bukanlah entitas tunggal. Pariwisata melibatkan multisektor lainnya. Pada konteks Manggarai Raya tanpa adanya landscape pertanian di dalamnya – ini justru mengabaikan kerangka pemikiran dari pariwisata itu sendiri. Pertanian adalah basis kunci kebudayaan kita dan konsep hospitality sejatinya dibangun di atas basis material tersebut. Lebih jauh lagi – penilaian sedikit subjektif, bahwa bukan investor yang menyekolahkan kita, tapi orang tua kita yang kesehariannya di kebun dan piara babi di rumah dan lain-lain.

    Ketika pariwisata dianggap sebagai sumber utama pemberi kesejahteraan, di situ sudah mengandung ide-ide dominatif dan memang terlihat siapa yang mendominasi dan siapa yang rentan. Ironisnya bertani dan lain-lain di Manggarai Raya  tiba-tiba saja dipandang sebagai sektor yang melayani industri ini.

    Kendati demikian, tidak ada yang salah dengan pembicaraan “Pariwisata Jadi Jiwa Manggarai Raya” karena sifatnya dalam momentum tersebut yang berbicara adalah orang punya wewenang dan kapasitas pada bidang pariwisata. Pada bagian yang lain, industri pariwisata telah membuktikan dirinya sebagai sebuah kekuatan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Wisnawa dkk, 2019: 5). 

  • Aku Caci, Maka Aku Ada

    Aku Caci, Maka Aku Ada

    Indodian.com – Ada sebuah jenis tarian yang paling banyak ditonton oleh oleh Manggarai ialah apa yang disebut dengan Caci. Tarian Caci dimainkan oleh para lelaki, mengandung makna simbolis melambangkan kejantanan, keberanian, kemegahan, dan sportivitas.

    Caci yang memainkan peranan penting sebagai lambang seni dan budaya Manggarai, Nusa Tenggara Timur, dipahami sebagai ritual dengan makna mendalam bagi masyarakat, juga menjadi atraksi pertunjukan dan menarik. Dalam tarian caci ada pekikan yang disebut dengan paci. Paci ada juga yang menyebut pasi atau rait, adalah sebuah pekikan   yang mengandun makna cita-cita.

     Orang Manggarai, adalah orang yang memiliki cita-cita. Dan cita-cita itu umumnya diungkapkan dalam motto yang tergambar dalam paci/pasi/rait. Paci, asal kata dari bahasa Manggarai yaitu Cipa dan Ci. Cipa berarti menangkis. Dan Ci berati uji (an). Paci berarti sebuah ekspresi (mengekspresikan diri) dalam exorcisme dari suatu tekanan/ pembebasan jiwa dari suatu pergulatan kehidupan.

    Sementara kata Caci, asal kata dari bahasa Manggarai ci gici ca, yang berarti uji satu per satu, satu lawan satu. Orang Manggarai memang diciptakan menjadi petarung dan tidak menjadi pengecut. Paci/pasi/ rait mengungkapkan visi kehidupan dalam mana orang Manggarai menyatakan muatan hidup/ gambaran kekuatan atau kualitas hidupnya yang terungkap secara simbolis atau metafora.

    Melalui Paci/pasi/rait orang Manggarai mengekspresikan cita-citanya. Paci/pasi/rait berciri khas puitik (durit), cenderung dihubungkan dengan suku (uku) dan kampung halaman (beo). Seperti yang tercatat di bawah ini:

    Paci misalnya: Pangga Lance Reba Lante, Pangga Pa’ang Ata Ngara Tana (Paci Ben S Galus), Néra Béang Léhang Tana Bombang, Palapa Cama Laki Toto Rani Nai, Jarot Labok Tana, Lalong Rombéng Kéor Kolé, Todo Lolo Bali (Mansyur), Wéwa Néra ata Wéla ( Frans Jelata).

    Paci (Caci) Cara Mengada

    Orang Manggarai adalah orang yang mengungkapkan kualitas/ keberadaan hidupnya melalui bahasa metafora/ simbolis melalui paci. Paci (caci) menjadi cara mengada (mode of being), cara bereksistensi. Kemengadaan orang Manggarai terwujud dalam berbagai bentuk Paci (caci).

    Pepatah Manggarai mengatakan ”Konem mese neho nian ata (pangkat mese, sekola mese), landing eme toe manga Paci (nganceng caci), lebi di’a hia jadi mendi laing” (Sehebat apa pun seseorang bila tidak punya Paci, caci, lebih baik jadi babu).

     Manggarai adalah orang yang memiliki harapan agar beraksi cepat dalam menunaikan sesuatu. Harapan ini diungkapkan dalam goet (bahasa sindiran): “neka mejeng hese, neka ngonde holes: (jangan lambat berdiri, jangan malas bergerak/ menengok/ menoleh). Singkatnya Paci adalah sebuah cara untuk menemukan identitas sebagai manusia Manggarai.

    Beberapa perlengkapan yang digunakan dalam tarian Caci seperti Panggal, Agang, Tereng, Nggiling, Ndeki, dan Nggorong. Panggal adalah salah satu perangkat Caci. Panggal berfungsi melindungi kepala pemain caci dari pukulan lawan agar tidak cedera berat.

    Apa makna filosofi Panggal? Panggal terdiri atas lima sudut yang melambangkan simbol keyakinan orang Manggarai yakni rumah sebagai tempat tinggal/perlindungan, kampung sebagai tempat persatuan, air sebagai sumber kehidupan, kebun sebagai simbol kesejahteraan dan gerbang sebagai penjaga atau penjaga kampung (mengandung lima sila Pancasila).

    Sementara Nggiling atau perisai yang berbentuk bulat itu merupakan lambang bumi. Nggiling berbahan dasar kulit kerbau. Bumi tempat tumbuh semua makluk hidup di muka bumi. Nggiling sebagai salah satu perangkat caci melambangkan seorang wanita atau ibu. Ibu mengandung dan melahirkan manusia. Ibu menyusui anak. Dari dalam tubuh ibu melahirkan banyak sumber daya manusia. Nggiling selain lambang bumi (kesuburan) juga sebagai lambang kesejahteraan, kedamaian.

    Agang atau Tereng: Tereng berbentuk setengah lingkaran berbahan rotan atau kalau tidak ada rotan bambu pun bisa, sebagai simbol laki-laki. Tugas laki-laki adalah melindungi, memberi nafkah anak, menuntun, mengarahkan keutuhan keluarga.

    Wado (pecut). Wado berbahan dasar rotan dan ujung diikatkan dengan irisan larik terbuat dari kulit kerbau kering. Wado bermakna sebagai cu’a. Cu’a adalah kayu yang dipakai untuk menanam jagung atau padi atau tanaman apa saja. Ketika dipukulkan kepada lawan itu artinya menanam tanaman. Bila lawannya kena dan berdarah itu berarti subur atau panenan kita berlimpah.

    Ndeki, berbahan dasar rotan dan dibalut dengan bulu ekor kuda. Mengapa bulu ekor kuda? Kuda adalah hewan melambangkan kehebatan, melambangkan kekuatan. Pada zaman dahulu kalau orang berperang biasa menggunakan kuda. Kuda juga dipakai sebagai pengangkut barang (jarang tekek).

     Kuda adalah lambang kekuasaan seseorang atau lambang kekuatan seseorang. Di Manggarai kalau ada orang yang memilik kuda banyak apalagi kuda jantan, menunjukkan bahwa orang tersebut mempunyai kekuasaan, baik dalam bidang ekonomi maupun sosial budaya. Ketika pemain caci mengenakan ndeki, kejantanannya semakin luar biasa. Ketakutan yang ada padanya hilang seketika ketika mengenakan ndeki.

    Terakhir adalah Nggorong. Nggorong melambangkan kemeriahan, semangat para pemain caci. Tanpa Nggorong permainan caci rasanya kurang menarik. Nggorong menambah semangat, karena bunyinya menggairahkan pemain caci.

    Permainan caci biasanya dilakukan oleh orang Manggarai pada saat setelah panenan atau memasuki musim tanam berikutnya. Caci sebagai tarian ucapan syukur kepada Tuhan atas penenan yang berlimpah.

    Caci merupakan kebiasaan nenek moyang orang Manggarai. Tidak ada satupun orang tua yang menderita sakit karena caci. Yang ada adalah walaupun dalam keadaan sakit, para pendahulu kita tetap caci.  Caci merupakan kekuatan. Kekuatan yang mampu menggerakkan orang untuk melakukan perlawanan. Kekuatan untuk menarik lawan jenis (ajang cari jodoh, karena pemain caci sungguh lomes).  Kekuatan caci (paci)  mampu menembus orang tak terbatas ruang dan waktu yang tak terbatas pula. 

    Seperti juga bentuk-bentuk budaya manusia lainnya, kepandaian caci terbentuk melalui beberapa tahapan proses seiring dengan perkembangan cara berfikir orang Manggarai waktu tertentu. Pertumbuhan suatu budaya tercipta dengan dorongan persepsi manusia itu terhadap kebutuhan untuk membebaskan diri dari tantangan-tantangan hidup yang ditemui.

    Dengan kata lain bagaimana manusia bisa menciptakan suatu usaha yang dengannya akan terpenuhi tuntutan kebutuhan hidup mereka. Apabila hasil usaha itu merupakan pemenuhan tuntutan hidup dan berproses melalui pemikiran, maka hal itu merupakan suatu bentuk budaya baru. Pelahiran budaya baru pada suatu masyarakat akan senantiasa merupakan gambaran perkembangan cara berfikir manusia pada saat itu.

    Caci, adalah salah satu bentuk budaya yang tercipta melalui proses-proses yang disebutkan. Penemuan lambang-lambang lambang-lambang, peralatan caci yang bentuk akhirnya berupa nggiling, wado, agang/tereng, adalah suatu prestasi intelektual yang dicapai manusia Manggarai, dalam peradaban masyarakat tempo dulu, tidak tanpa bermakna.

    Peralihan sistem   tradisi caci ke tradisi dansa, sangat memengaruhi percepatan perkembangan budaya dan perluasan informasi antar masyarakat dan antar generasi secara lebih otentik dan efektif. Akibat dari semua itu, tentunya –secara tidak langsung–, akan merubah tatanan budaya-budaya lainnya ke bentuk yang lebih baik dari masa-masa sebelumnya.

    Dengan demikian penemuan budaya caci dalam sistem budaya Manggarai, tidak hanya akan menawarkan peningkatan dalam lapangan estetis saja, akan tetapi lebih jauh akan memengaruhi aspek-aspek budaya Manggarai itu secara keseluruhan.

    Hal-hal yang kita sebutkan terbukti dari beberapa kerajaan besar pada zaman purba –seperti Mesir, Sumeria, Babylonia, Niniveh, China dan lain-lain– yang telah memperoleh kemajuan yang pesat di bidang peradaban dalam masa 10.000 tahun semenjak mereka menemukan berbagai macam tarian.

    Kemajuan tersebut ternyata lebih besar dari apa yang dicapai selama Zaman Batu yang berlangsung lebih kurang 2 juta tahun lalu.  Demikian pun caci, tidak tiba-tiba muncul begitu saja. Melainkan melalui sebuah proses yang mendalam. Dalam proses yang mendalam itu orang Manggarai menemukan identitas dan otensitas dirinya sebagai orang Manggarai.

    Paci (caci) adalah ungkapan keabadian. Karena dalam Paci tergambar filosofi hidup, cita-cita hidup, visi misi tana (ata) Manggarai. Karena di tana (tanah) Manggarai tidak ada yang abadi, kecuali paci (caci) itu sendiri. Kalau Descartes, filsuf Perancis, beraliran Rasionalisme, mengatakan ”Cogitio Ergo Sum”, yang berarti ”aku berpikir maka aku ada”, kita dapat mengubahnya menjadi ”Paci (Caci) Ergo Sum”, yang berarti ”aku paci (caci) maka aku ada”.

    *) Ben Senang Galus, orang Manggarai, hobi caci, tinggal di Yogyakarta