Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

- Admin

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Seiring berkembangnya zaman, ruang publik di bidang politik makin tergeser. Mulanya komunikasi politik secara langsung, kini bertransformasi ke komunikasi lewat layar. Dengan kehadiran gawai yang dilengkapi berbagai fitur-fitur media sosial, proses politik konvensional menjelma online politic atau politik maya. Perkembangan teknologi komunikasi yang berdampak dalam kehidupan politik di berbagai belahan dunia bermula ketika pada abad 18, Edison menemukan alat yang menghasilkan efisiensi dalam proses politik di Amerika.

Saat ini, Indonesia tidak hanya berhadapan dan beradaptasi dengan perkembangan media elektronik dan media cetak. Teknologi komunikasi multimedia berbasis internet juga kian menjamur. Ruang publik menjadi semakin terbuka lebar. Berbagai proses dan dinamika politik tidak hanya tersampaikan melalui berbagai media konvensional, tetapi lambat-laun mulai masuk ke ranah digital yang langsung menyasar para khalayak secara personal.

Kehadiran internet dan media sosial mengubah pola interaksi antara masyarakat dengan para politisi maupun calon politisi di era demokrasi. Masyarakat dapat dengan mudah memberikan respons atau berinteraksi dengan para politisi atau kandidat partai lewat layanan komentar atau pesan di media sosial. Tidak ada elemen gatekeeper di antara keduanya, layaknya institusi media, wartawan, atau editor. Hal ini membuat masyarakat (warganet) merasa bahwa proses interaksi sepenuhnya dalam kontrol mereka. Lewat media sosial, masyarakat merasa memiliki akses riil terhadap para politisi. Media sosial juga memberikan ruang bagi para warganet untuk terkoneksi dengan warganet lain yang mengidolakan atau mendukung politisi dan calon politisi tertentu.

Namun, kalau berbicara soal isu politik, khususnya Pemilu, media sosial menjadi tempat sampah bagi segala misinformasi, disinformasi, dan ujaran kebencian. Dengan berbagai kecanggihannya, media sosial menjadi ruang yang memungkinkan semua orang bebas berekspresi tanpa terkendala hierarki. Semua orang bisa mengutarakan pendapat, pandangan, dan wacana bak ahli dan pakar. Tak adanya proses moderasi dan verifikasi seperti di media massa adalah persoalan yang membuat media sosial sebagai ruang serba bebas dan liar.

Baca juga :  Politik dan Hukum Suatu Keniscayaan

Tom Nichols dalam bukunya yang berjudul “Matinya Kepakaran”, menjelaskan bahwa sebagian konflik di wilayah publik merupakan keributan yang diperkuat oleh internet dan media sosial. Internet mengumpulkan factoid (pernyataan palsu yang disajikan sebagai fakta atau berita yang sebenarnya) dan gagasan setengah matang, lalu disebarluaskan melalui perangkat elektronik. Di media sosial, tak ada mekanisme tepat untuk menyaring konten yang mengandung disinformasi, misinformasi, permusuhan, dan ujaran kebencian. Dalam tataran yang lebih kompleks, hal ini menyebabkan surplus dan defisit fakta yang membawa masyarakat pada ambang kehancuran intelektual.

Jagat maya adalah jagat yang merefleksikan minat, selera, dan kecenderungan penggunanya, sebagaimana dipaparkan oleh Cass Sunstein (2017) dalam bukunya “Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media”. Sunstein berpandangan bahwa melalui kurasi algoritmis, seseorang terhindar dari paparan konten yang berseberangan dengan keyakinan dan pahamnya. Misalnya, seseorang yang menyukai sosok kandidat ‘A’, hanya akan terus disuguhi informasi tentang kandidat ‘A’, seolah-olah tak membutuhkan informasi lain. Dampaknya, seseorang akan semakin fanatik dan menolak pandangan berbeda. Secara perlahan dan tanpa sadar juga membuat orang-orang membentuk kelompok dengan individu yang pahamnya serupa, pandangan jadi terseragamkan, dan secara politis menarik diri dari kelompok lain.

Persoalan lain akibat lingkaran setan kurasi algoritma adalah hilangnya kepercayaan terhadap ahli, pakar, dan sumber kredibel. Konten dari akun anonim di media sosial dianggap sebagai raja dan sumber kebenaran, sedangkan para pakar, ahli, dan sumber terpercaya dianggap sebagai musuh. Konten-konten dari akun anonim dijadikan sebagai sumber pengetahuan yang sah. Fenomena ini menjadikan dialog dengan berdasarkan rasionalitas, daya kritis tidak lagi dianggap penting. Diskusi yang seharusnya dilandaskan pada fakta dan analisis yang objektif berubah menjadi pertarungan antara kebenaran ilmiah dan keyakinan pribadi yang tidak beralasan.

Betapa mudahnya terlena dalam jaringan informasi palsu yang diproduksi oleh para pembuat konten tanpa identitas yang mengincar perhatian dengan sensasi dan provokasi, tanpa pertimbangan terhadap kebenaran atau akibatnya. Seiring dengan popularitas akun anonim yang semakin membesar, kepercayaan pada institusi dan individu yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang suatu subjek malah semakin menurun. Bukti ilmiah dan data yang diperoleh melalui riset yang cermat dianggap sebagai fitnah atau omong kosong belaka oleh mereka yang terjerat dalam fanatisme semu.

Baca juga :  Apakah Gereja Seharusnya Berpolitik?

Demokrasi dengan ruang publiknya yang berisik selalu menghadirkan tantangan bagi berbagai sumber pengetahuan. José Ortega y Gasset, seorang filsuf Spanyol pada 1930 juga melayangkan kritik pada keangkuhan intelektual. Menurut Gasset, di dalam kehidupan intelektual yang mensyaratkan keahlian, yang nampak justru kemenangan intelektual semu, tidak layak, tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan bahkan tidak memenuhi syarat. Hal ini mengakibatkan seseorang membaca atau menyimak bukan karena peduli pada isu atau memiliki keinginan belajar, melainkan untuk menghakimi informan jika pendapatnya tidak sejalan dengan paham yang dianutnya.

Realitas yang dikritisi Gaseet sejalan dengan dinamika yang terjadi di Indonesia, terutama dalam kontestasi Pemilu 2024. Penolakan terhadap pengetahuan, fakta, dan data yang dipaparkan oleh sumber terpercaya, sialnya, didominasi oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi, berasal dari kalangan mapan, dan memiliki privilese untuk mengakses berbagai medium dan sumber belajar. Berbagai privilese tersebut, idealnya menjadi alat untuk meningkatkan pemahaman dan kedewasaan intelektual. Sayangnya, akses dan kemewahan tersebut digunakan untuk membenarkan pandangan diri sendiri yang bahkan tidak didukung oleh fakta dan data ilmiah.

Lingkaran setan  kurasi algoritma akan membuat pandemi kebodohan semakin mewabah, terlebih di saat daya kritis mulai tumpul dan menghilang. Lingkaran setan algoritma merupakan fenomena yang dapat mempersempit pandangan, menyuburkan atmosfer konflik sosial, membatasi akses informasi, dan menghambat dialog yang sehat. Dalam konteks demokrasi, hal ini dapat mengancam kebebasan berpendapat, memperkuat filter bubble, dan bahkan memicu polarisasi yang merusak.

Makanya, penting sekali untuk memelihara daya kritis, menjaga  akal sehat, dan merawat demokrasi di era digital ini. Untuk membangun sikap kritis dan menghindari jebakan bias yang merusak, pendekatan konkret perlu diterapkan. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk melakukan validasi dan verifikasi informasi dengan bijak.

Baca juga :  Reformasi Dikorupsi dan Gerakan Kaum Muda Progresif

Pertama, cari tahu apakah sumbernya kredibel dan memiliki reputasi yang baik dalam menyediakan informasi yang akurat? Sumber-sumber berita yang kredibel, seperti lembaga media resmi, jurnal ilmiah, pandangan ahli/ pakar, atau organisasi terpercaya, seringkali menjadi pilihan yang lebih baik daripada sumber yang kurang dikenal atau memiliki agenda tersembunyi.

Kedua, jangan terburu-buru percaya pada satu sumber saja. Lakukan cross-checking (pemeriksaan silang) dengan mencari informasi yang sama dari beberapa sumber berbeda. Jika informasi tersebut konsisten dan didukung oleh berbagai sumber yang independen, kemungkinan besar informasi tersebut lebih dapat dipercaya.

Ketiga, memperhatikan ciri-ciri konten yang mencurigakan atau tidak kredibel, seperti judul yang sensasional, gambar yang diedit secara mencolok, atau klaim yang tidak didukung oleh bukti yang kuat. Berhati-hatilah terhadap konten yang dimaksudkan untuk memicu emosi daripada memberikan informasi yang faktual.

Keempat, memeriksa konteks dari informasi yang diterima. Kadang-kadang, potongan klip video atau kutipan teks yang diambil dari konteks aslinya dapat mengubah maknanya secara signifikan. Mencari informasi tambahan atau melihat konteks yang lebih luas dapat membantu untuk memahami konteks secara utuh.

Terakhir, menafsirkan informasi dengan menyadari dan mengevaluasi kemungkinan adanya bias. Setiap sumber memiliki potensi untuk memiliki sudut pandang atau agenda tertentu, baik secara politik, ideologis, atau komersial. Mengidentifikasi dan memahami bias yang mungkin ada dalam informasi yang diterima dapat membantu menilai informasi secara lebih kritis.

Hanya dengan kesadaran diri setiap individu untuk coba menerapkan hal-hal kecil seperti yang disebutkan di atas, maka lingkaran setan ini perlahan dapat diputus. Dengan demikian, iklim dialog jadi lebih berwarna dan lingkar setan algoritma tak lagi mengikis demokrasi.

Komentar

Penulis : Maria Goreti Ana Kaka

Berita Terkait

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?
DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?
Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024
Berita ini 186 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA