Kroasia: Perang, Luka Modric dan Sepak Bola

- Admin

Minggu, 11 Desember 2022 - 09:37 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jika Anda adalah penikmat sepakbola (sekali lagi, penikmat), Anda pasti sepakat bahwa sepakbola juga adalah representasi segala tradisi, muatan sejarah, dan karakter sebuah bangsa. Semoga.

***

Indodian.com – Kroasia pernah terlibat konflik berdarah yang sarat muatan politik dan etnis, berlangsung dari tahun 1991 sampai 1995, saat mereka masih menjadi bagian dari Yugoslavia. Sentimen etnis antara bangsa Kroasia dan etnis dominan di Yugoslavia makin melonjak pasca kematian Joseph Tito, sosok yang bisa mendamaikan perbedaan etnis di sana. Situasi makin panas ketika pemerintahan Yugoslavia tidak mengakui kemerdekaan Kroasia yang diproklamasikan pada Mei 1991.

Perang akhirnya meletus pada tahun yang sama setelah Yugoslavia dan militer Serb menyerang Vukovar di Kroasia Timur. Pasca kekalahan di Vukovar, Kroasia makin gigih mempertahankan kedaulatannya. Mereka lalu menyerang wilayah Kroasia yang ditempati pasukan Yugoslavia, merampas senjata, dan menenggelamkan kapal-kapal di sepanjang pantai Dalmatia. Konflik terus berlangsung panas, dan berakhir pada tahun 1995. (Selebihnya, silahkan Anda baca sendiri di buku sejarah).

Kroasia mungkin memiliki beban moril ketika datang ke Piala Dunia Perancis 1998 dengan status sebagai tim debutan. Puing-puing pasca perang belum sepenuhnya pulih. Mereka pun belum bergabung dengan Uni Eropa, dan kurang dihormati di dunia internasional karena Franjo Tudjman, pemimpin Kroasia, menerapkan gaya kepemimpinan otoriter. Namun, ke-terkucil-an itu justru memantik semangat mereka untuk bersuara lebih keras melalui sepakbola. Dalam konteks pasca perang itulah, sepakbola menjadi ‘senjata’ Kroasia untuk memperkenalkan diri dan mendulang pengakuan sebagai sebuah negara baru.

Di Piala Dunia Perancis  1998, Kroasia tampil gemilang, salah satunya dengan mengirim pulang Jerman (3-0) di babak perempatfinal. Kroasia berhasil keluar sebagai juara tiga setelah menekuk Belanda (2-1). Prestasi itu makin sempurna setelah striker Kroasia, Davor Suker, menjadi top score mengalahkan nama yang paling dijagokan: Ronaldo de Lima.

Melalui sepakbola, Kroasia akhirnya menuntaskan misinya untuk dikenal dunia. Prestasi yang bagus itu telah menggerakkan telunjuk orang-orang yang meragukannya untuk mencari nama Kroasia di peta dunia. Dan dari prestasi ini pula, Robert Prosinecki, Zvonimir Boban, Davor Suker (saya pernah memiliki gambarnya di buku tulis), dan kawan-kawan telah menetapkan  standar tinggi bagi prestasi generasi sepakbola Kroasia selanjutnya.

Memasuki era 2000-an, Kroasia menjadi tim biasa-biasa saja. Mereka kerap menyulitkan tim besar, tetapi tidak sanggup mendulang prestasi yang sama, apalagi melampaui. Generasi Dado Prso, Darijo Srna, Stipe Pletikosa, Josip Simunic dan lainnya tidak sanggup berbicara banyak di setiap turnamen mayor. Hingga akhirnya, harapan orang Kroasia kembali menyala ketika seorang bocah pengungsi korban perang yang luput dari konflik berdarah menjelma menjadi seorang gelandang hebat: Luka Modric.

Luka Modric yang lahir pada tanggal 9 September 1985 tentunya mengalami langsung bagaimana ganasnya perang Yugoslavia tersebut. Desing peluru dan bising peperangan mewarnai hari-hari masa kecilnya di Kolovare, sebuah hotel penampungan para pengungsi perang yang mereka tempati setelah ia dan warga dusunnya di Modrici diusir. Di tempat pengungsian inilah, Modric menempuh pendidikannya. Dan di lapangan parkir di sana, Modric kecil berkenalan dengan sepakbola.

Leo Kleden, SVD, dosen pengampu mata kuliah Filsafat Manusia saat saya masih kuliah Filsafat dulu, pernah menyinggung sebuah novel karya Milan Kundera berjudul The Unbearable of Lightness of Being (silahkan Anda membaca sendiri novelnya). Baginya, ada satu hal menarik dari keseluruhan isi novel tersebut, yaitu bahwa pengalaman yang menyakitkan atau yang paling menyenangkan sepanjang hidup seseorang, bisa berangkat dari sebuah keputusan kecil yang remeh dan tidak terduga imbasnya.

Dunia sepakbola patut bersyukur, ganasnya perang ‘tak sanggup’ memasukkan nama Luka Modric ke dalam daftar para korban Perang Balkan. Bayangkan saja, jika seandainya Modric nekat melawan para tentara yang menembak kakeknya (Modric melihat sendiri penembakan itu), atau ngotot tidak mau mengungsi, atau tidak mau bergabung dengan bocah-bocah lain yang bermain bola di lapangan parkir pengungsian, mungkin sepakbola tidak akan pernah mengenal salah satu gelandang dan playmaker terbaik di dunia itu.

Dari parkiran hotel pengungsian, dari kekurangan selimut, air bersih, dan makanan bergizi, dan dari bising perang yang terus mengitar di atas langit Kolovare, Modric membawa harapan baru untuk Kroasia. Dan beberapa tahun setelah babak pahit itu, Modric dan koleganya berhasil menjadi runner-up Piala Dunia 2018. Pencapaian ini adalah prestasi hebat untuk sebuah negara yang tergolong masih muda. Maka jangan heran bila Kolinda-Grabar Kitarovic, presiden Kroasia yang cantik itu, turut merayakan keberhasilan itu di ruang ganti.

Semalam (9/12/2022), Kroasia kembali menggila melawan Brasil pada babak perempat final Piala Dunia Qatar 2022. Semangat spartan mereka mengingatkan kita pada spirit orang Kroasia yang ingin mempertahkan kemerdekaannya dulu. Gol penyama kedudukan pada menit akhir itu menegaskan bahwa perjuangan untuk menang harus terus berkobar sampai titik darah terakhir. Luka Modric menjadi motor serangan terbaik yang tak pernah dimakan usia (37 tahun) dan menegaskan statusnya sebagai ‘jenderal’ di lapangan tengah.

***

Sepakbola menjadi menarik sebab ia menjadi senjata laten atas kelukaan-kelukaan masa lalu. Dua gol menakjubkan Diego Maradona atas Inggris di perempatfinal Piala Dunia Mexico 1986 adalah contoh bagaimana luka pasca Perang Malvinas 1982 dibalas dengan manis melalui sepakbola (saya pernah menulisnya di sini).

Kroasia, dalam sejarahnya, pernah bergejolak demi perjuangan akan pemerintahan yang mandiri dan otonom, meski darah dan nyawa menjadi taruhan. Semangat itu telah berurat akar dalan nadi para pemainnya di lapangan hijau, dan gegas menyembuhkan luka-luka perang masa lalu dengan prestasi yang membanggakan di dunia sepakbola.

Baca juga :  Tak Ada Mimpi Yang Ketinggian

*Penulis adalah (ex) author di Fandom.id.

Komentar

Berita Terkait

Penyakit Lisandro Martinez di MU: Hanya “Achilles Heel” atau Selamanya Akan Selalu Buruk?
Menanti Xavi Hernandez yang Datang Saat Schadenfreude Terlanjur Menjadi Kewajiban Moral
Zidane, Tuchel, dan Tuhan
Kemenangan Barcelona di Mata Seorang Madridista Setengah Moderat
Perjalanan Panjang El Barca Sebelum Buka Puasa di La Cartuja
Catatan Pendek Pasca Pekan Berat Real Madrid
Berita ini 47 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA