Meniti “Jalan Pulang” pada Nilai Pancasila
Perbenturan dalam bidang agama dan politik di Indonesia mengindikasikan minimnya garis demarkasi antara keduanya. Agama dan politik adalah dua entitas yang berbeda, tetapi saling mengandaikan. Oleh karena itu, perumusan perbedaan antara agama dan politik menjadi suatu keniscayaan.
Politik dalam kajian Habermas masuk dalam ranah publik, sementara agama dalam ranah privat. Sebagai ruang publik – Menurut Habermas – dalam dunia politik semua orang mendapat kesempatan untuk berkomunikasi. Dalam komunikasi itu gagasan-gagasan yang dirumuskan dalam bahasa religius diperhatikan dengan sungguh dan didiskusikan secara kritis sebagai yang berpotensi memiliki isi kognitif. Kendati berbeda pandangan hidup dan agama, semua warga masyarakat adalah anggota yang setara dalam melaksanakan aktivitas politik (A. Sunarko, 2010:230).
Gagasan ini tidak mendiskreditkan agama pada ranah privat, tetapi menjadikan agama sebagai landasan dalam kehidupan politik. Sebagai salah satu bagian dari HAM, setiap agama bebas mengekspresikan diri. Namun, kebebasan individual bukan tak terbatas. Kebebasan absolut akan menciptakan apa yang oleh filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), sebagaiman dikutip oleh Otto Gusti (2011:189) disebut sebagai kondisi prejuridical society atau masyarakat tanpa hukum. Oleh karena itu, salah satu cara untuk menyelesaikan perbenturan ini adalah dengan merevitalisasi nilai-nilai Pancasila.
Baca Juga : Hindari Pinjaman Online
Baca Juga : Setelah Pandemi, Kita ke Mana?
Sebagai sistem filsafat, Pancasila merupakan suatu nilai sehingga dia menjadi sumber norma-norma. Sistem pemikiran rasional dalam Pancasila tidak secara langsung menjadi landasan dan pedoman melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mencakup: Pertama, nilai dasar. Nilai ini menjadi hakekat kelima sila: Ketuhanan, kemanusiaan, Persatuan, Kedaulatan rakyat dan Keadilan. Nilai dasar ini adalah esensi sila-sila pencasila yang bersifat universal. Dalam Pancasila terkandung cita-cita, tujuan serta nilai-nilai baik dan benar.
Kedua, nilai instrumental berupa arahan, kebijakan, strategi serta lembaga pelaksanaannya. Nilai instrumental ini merupakan eksplisitasi lebih lanjut dari nilai dasar pancasila. Ketiga, nilai praksis yaitu realisasi nilai instrumental dalam kehidupan bermasyarakat.
Dari ketiga nilai dasar ini dijabarkan lagi dalam pokok pikiran sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Matias Daven (2016:39-43) memaparkan pokok pikiran ini secara komprehensif. Pokok pikiran pertama menyatakan bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa menurut kemanusiaan yang adil. Hal ini merupakan penjabaran sila pertama dan kedua. Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD 1945 telah memberikan sifat khas kepada negara RI, yaitu bukan negara sekular dan bukan negara agama.
Secara tegas Driyarkara menandaskan, Indonesia adalah “Negara bukan-bukan” yakni bukan negara agama tetapi juga bukan Negara sekular. Sebab Pancasila adalah ada bersama dalam cinta kasih kepada Tuhan. Di satu pihak, karena hakikat Pancasila adalah ada bersama dalam cinta, maka Pancasila mestinya tidak buta terhadap fakta pluralisme. Dalam konteks relasi agama dan negara, Indonesia tidak mungkin menjadikan ajaran agama tertentu sebagai dasar Negara.
Menjadikan agama tertentu sebagai dasar negara akan membonsai Pancasila sebagai ada bersama dalam cinta. Selanjutnya, membonsai Pancasila sebagai dasar negara sudah barang tentu membubarkan NKRI. Akan tetapi, melalui prinsip ketuhanan, Pancasila juga tidak menghendaki Negara sekular yang mendepak agama ke ranah privat.
Agama bukan hanya sekedar relevan dalam kehidupan publik dan politik tetapi juga dipandang sebagai suatu karya yang menyelenggarakan tujuan tak langsung dari aktivitas menegara, yakni mewujudkan kodrat manusia sebagai ada bersama dengan cinta kasih kepada Tuhan (Silvano Keo Bhaghi, 2016:38-39)
Pokok pikiran kedua menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara persatuan yaitu negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mengatasi segala paham golongan maupun perseorangan.
Hal ini merupakan penjabaran dari sila ketiga Pancasila yaitu “Persatuan Indonesia”. Pemahaman persatuan penting karena bangunan Indonesia dirajut dari pelbagi perbedaan agama, budaya, ekonomi dan sosial politik. Penduduk Indonesia berjumlah 250 juta dengan 200 sukunya, 6 agama besar dan lebih dari 300 bahasa Daerah. Persatuan Indonesia ini mampu mengayomi perbedaan dalam realitas sehari-hari.
Pokok pikiran ketiga menyatakan bahwa negara hendak mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini Pancasila sudah memberikan arahan untuk mendistribusikan keadilan bagi setiap warga. Ada dua paham di sini yakni keadilan dan sosial. Keadilan berarti memberikan hak kepada seseorang yang berhak menerimanya, sedangkan sosial berkaitan dengan kodrat manusia yang pada dasarnya terhubungan dengan segala-galanya. Manusia tidak bisa hidup sendiri.
Baca Juga : Cerita Tuna Penjaga Mata Air
Baca Juga : Pesan Ibu
Pokok pikiran keempat menyatakan bahwa negara berkedaulatan rakyat. Berdasarkan atas kerakyatan dalam permusyawaratan/perwakilan. Hal ini menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi yaitu kedaulatan di tangan rakyat. Hal ini sesuai dengan prinsip sila keempat. Dalam sila keempat Pancasila, ada dua kata kunci yaitu kerakyatan dan permusyawaratan. Konsep kerakyatan berarti kepentingan rakyatlah yang harus menjadi sumber inspirasi kebijan negara. Konsep permusyawaratan sejalan dengan prinsip demokrasi. Dasar sila demokrasi adalah pengakuan manusia sebagai pribadi.
Menurut Driyarkara ada dua corak manusia demokrasi. Pertama, manusia demokratis adalah manusia yang memandang dirinya sebagai bersama orang lain. Kedua, manusia demokratis adalah manusia yang memandang diri bersama kesatuan kerja. Corak pertama menyebabkan manusia mengagungkan kekeluargaan dan kesatuan sedangkan corak kedua menampilkan manusia yang gotong-royong (Silvano Keo Bhaghi, 2016:141)
Berhadapan dengan perbenturan ini maka dibutuhkan suatu garis demarkasi yang jelas antara politik dan agama. Pembedaan ini bukanlah mendepak agama ke ruang privat yang menjadikan Indonesia sebagai negara sekular tetapi memisahkan secara tegas antar keduanya dalam hubungan saling mengandaikan. Oleh karena itu, jalan terbaik dalam mendamaikan perbenturan itu melalui revitalisasi nilai-nilai Pancasila. Dalam Pancasila terkandung nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Keadilan, Kerakyatan dan Keadilan yang menjadi jalan terbaik untuk mendamaikan perbenturan tersebut.
Dirgahayu Republik Indonesia.
Bibliografi
AE Priyono dan Usman Hamid (Ed), Merancang Arah Baru Demokrasi – Indonesia pasca Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Publik Virtue, Hivos, dan Yayasan Tifa, 2014.
Anwar, Dewi Fortuna. “Merosotnya Barat dan Kerisauan Huntington” dalam Jurnal Ulumul Quran, No. 5, Vol. IV, Tahun 1993.
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer-Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Bhaghi, Silvano Keo. Negara Bukan-Bukan? Driyarkara tentang Pancasila dan Persoalan Relasi antara agama dan negara. Maumere: Ledalero, 2016.
Dae, Max Biae. “Terorisme di sela-sela Peradaban”, VOX, Vol. 49, No. 1, Desember 2004.
Damm, Syamsumar. ”Peluang dan Kendala Akuntabilitas Pemerintahan Daerah di Provinsi Sumatera Barat”, dalam Profil Politik Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Grafika Indah, 2005.
Daven,Mathias. “Filsafat Pancasila” (ms). Ledalero: STFK Ledalero, 2016.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015.
Emerson,Donald. “Konflik Peradaban atau Fantasi Huntington?” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. IV, Th 1993.
Huntington, Samuel P. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, penerj. M. Sadat Ismail. Jakarta: Penerbit Qalam, 2012.
——————. “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?”. Terj. Saiful Muzani. Dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol IV Th. 1993: 25-40.
Madinier, Remy. “Islam – Politik atau Kemenangan Instrumentalisasi Politik atas Islam” dalam Sunarko, A. “Ruang Publik dan Agama menurut Habermas”, dalam Budi Hardiman (ed) Ruang Publik – Melacak Partisipasi Demokrasi dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius 2010.
Madung, Otto Gusti. Politik Diferensiasi versus Politik Martabat Manusia. Maumere: Ledalero, 2011.
Magnis-Suseno, Frans. Pijar-Pijar Filsafat dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodern. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Mujadi,Saifu. Benturan Peradaban, Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika Serikat. Jakarta: Pusat Kajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta bekerja sama dengan Freedom Institute dan Penerbit Nalar, 2005.
Mulia,Musdah. ”The Problem of Implementation of the right of religious freedom in Indonesia”. Makalah yang disajikan dalam Seminar Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere: 11 Oktober 2014.
Shadily, Hassan. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Kanisius, 1973.
Syarifuddin, “Agama dan benturan peradaban”, Jurnal Substantia vol 16: 2 2014: 231.
Nashir,Haidar. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
—————- “Agama dan Benturan Peradaban” dalam Jurnal Substantia, Volume 16 Nomor 2, Oktober 2014.
Halaman : 1 2