Pada tanggal 16 September 2023, saya dan seorang relawan mengunjungi seorang pemuda yang dalam beberapa pekan terakhir menderita gangguan jiwa.
Ia tinggal bersama orangtua di sebuah kampung di wilayah Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Pulau Flores, NTT.
Sudah dua pekan, dia dipasung. Pasung dua kaki pakai kayu balok dan pasung dua tangan. Pasung di kolong dapur berbentuk panggung.
Ketika kami kunjung, pasungan jenis ini sudah dibongkar. Pasung cuma dua tangan, pakai rantai baja ringan, ujung-ujungnya disatukan dengan gembok.
Pada dua kaki dan dua tangan bekas pasungan kayu tampak luka-luka yang cukup serius dan perlahan pulih.
Kenapa ia dipasung?
Tentu ada sekian banyak kisah di balik itu, antara lain bisa dipadatkan “ia pelaku kekacauan di kampungnya dan kampung-kampung sekitar. Ia lakukan kekerasan, sekalipun kemudian ia juga menjadi korban kekerasan.”
Namun saya selalu fokus pada layanan kesehatan jiwa jika muncul pertanyaan “kenapa ia dipasung?”
Bahwasanya ia terpasung lantaran terlambat diberikan layanan medis. Terlambat lantaran keluarga tidak merasa bahwa anggotanya sedang sakit dan membutuhkan layanan medis.
Ketika ia lakukan kekacauan sosial dan dipasung, barulah kemudian keluarga mencari pertolongan medis.
“Ia harus rutin minum obat. Harus. Di Puskesmas terdekat sudah ada obat. Nanti perlahan akan pulih.”
“Kalau di puskesmas tidak ada obat, infokan kepada relawan agar kita mencari alternatif sumber lain.”
Begitu saya mendorong keluarga untuk rutinitas terapi medik.
Namun ketika mengunjungi pasien itu kemarin, kita menemukan bahwa sudah kurang lebih tiga hari ia tidak minum obat lantaran obat habis. Keluarga tidak lagi mengurus obatnya.
Kenapa? “Belum ada waktu,” kata keluarga. “Masih sibuk,” kata yang lain.
Tentu ada banyak telaah dan edukasi terkait jawaban-jawaban ini. Namun saya selalu fokus kepada satu hal bahwa apa yang kita sudah edukasikan kepada keluarga konsumen kesehatan jiwa tidak selalu 100 persen direalisasikan.
Ada-ada saja cerita-cerita hambatan bagi rutinitas terapi yang tentu keluarga juga tahu bahwa akibat dari tidak rutinnya terapi medik akan berpengaruh pada melambatnya proses pemulihan, dan dengan demikian juga membuat lamanya derita pada pasien dan keluarga itu.
Nah lalu bagaimana mengatasinya?
Ya tidak lain dan tidak bukan adalah keluarga tidak boleh memakai alasan apa pun untuk tidak mengurus rutinitas terapi medik anggotanya yang sakit jika ingin anggotanya itu lekas pulih dan jika ingin penderitaan sosial lekas selesai. Itu saja poinnya, tak tedeng ulang aling.
Memadainya layanan medis di Puskesmas dan rumah sakit serta seriusnya respons keluarga konsumen kesehatan jiwa dan adanya dukungan sosial terhadap proses pemulihan warga yang gangguan jiwa adalah modal bagi kemajuan pembangunan layanan kesehatan jiwa di wilayah kita.
Relawan hanya membantu agar bangunan itu berbentuk dan bertahan.