DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

- Admin

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia sedang diguncang oleh sebuah krisis konstitusional yang sangat mengkhawatirkan. Sebagaimana kita ketahui, di tengah riuh rendah politik Indonesia, peristiwa pembangkangan konstitusi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhir-akhir ini kembali menjadi sorotan tajam publik.

Keputusan kontroversial DPR yang memilih untuk mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) demi melanggengkan dinasti politik Jokowi, khususnya demi memuluskan jalan anaknya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, telah memicu gelombang demonstrasi besar-besaran di seluruh Indonesia pada hari Kamis, 22 Agustus 2024 kemarin. Ribuan masyarakat pun turun ke jalan demi mempertahankan nasib demokrasi Indonesia yang kini berada di ujung tanduk.

Pembangkangan Konstitusi oleh DPR

Sejak awal, dinamika politik Indonesia memang tidak pernah sepi dari manuver-manuver elite yang seringkali mengabaikan kepentingan rakyat. Namun, kali ini, langkah DPR yang terang-terangan memilih untuk mengabaikan Putusan MK dalam Revisi Undang-Undang Pilkada demi kepentingan segelintir elite politik menjadi bukti nyata betapa rapuhnya demokrasi di negeri ini.

Dalam rapat yang digelar pada 21 Agustus 2024, Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Panitia Kerja (Panja) sepakat untuk mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) ketimbang MK terkait batas usia calon kepala daerah untuk Pilkada 2024. Keputusan ini dianggap kontroversial karena MK, sebagai lembaga yang bertugas menafsirkan konstitusi, telah dengan tegas memutuskan batas usia tersebut. Namun, DPR memilih jalan berbeda, yang dinilai banyak pihak sebagai upaya untuk membuka jalan bagi Kaesang, anak bungsu Presiden Jokowi, agar bisa mencalonkan diri sebagai gubernur.

Baca juga :  Kebangkitan Orang Miskin Lawan Mafia Tanah

Peringatan Darurat Garuda Biru

Keputusan ini memicu gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat. Aksi-aksi demonstrasi yang menuntut keadilan dan penegakan konstitusi berlangsung di berbagai daerah. Salah satu gerakan yang paling menonjol adalah gerakan “Kawal Putusan MK”. Gerakan ini muncul sebagai respon atas viralnya “Peringatan Darurat Garuda Biru,” sebuah video berdurasi kurang dari satu menit di berbagai media sosial. Video ini menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk mengawal Putusan MK dan memastikan jalannya Pilkada 2024 berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Peringatan Darurat Garuda Biru pada hakikatnya bukan sekadar simbol protes; ia adalah refleksi kekecewaan mendalam masyarakat terhadap DPR yang dinilai telah mengkhianati konstitusi. Dalam situasi di mana hukum dan demokrasi dipertaruhkan, aksi ini menjadi simbol perlawanan terhadap segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang berpotensi menghancurkan fondasi demokrasi di Indonesia.

Baca juga :  Pemimpin: Integritas, bukan Popularitas

Apakah Demokrasi Sudah Mati?

Pertanyaan besar yang muncul dari krisis ini adalah: apakah demokrasi di Indonesia telah mati? Pembangkangan DPR terhadap Putusan MK menimbulkan kekhawatiran serius tentang masa depan demokrasi di Indonesia. Ketika lembaga legislatif yang seharusnya menjadi representasi rakyat justru memilih untuk menabrak konstitusi demi kepentingan segelintir elite, maka jelas ada yang salah dalam sistem demokrasi kita.

Jika demokrasi dibiarkan mati, apa yang akan terjadi dengan Indonesia? Demokrasi yang mati akan membuka pintu bagi lahirnya oligarki, di mana kekuasaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang yang berkuasa. Peristiwa ini juga akan mengingatkan kita pada peringatan Hannah Arendt, filsuf yang pernah menjadi korban rezim Nazi di Jerman, tentang bahaya totalitarianisme. Menurutnya, ketika prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti supremasi hukum dan demokrasi terkikis, maka pintu bagi munculnya pemerintahan otoriter terbuka lebar. Hal ini tentu akan mempengaruhi masa depan bangsa, di mana kebebasan akan tercekik, penegakan hukum akan tunduk pada penguasa, dan keadilan sosial akan menjadi mimpi yang tak pernah terwujud.

Mampukah Indonesia Bangkit?

Dari rentetan krisis politik yang telah bergulir sejak awal ia berdiri, Indonesia telah menunjukkan bahwa demokrasi tidak dapat mati dengan mudah. Gelombang aksi demonstrasi yang meluas di seluruh negeri menjadi bukti bahwa rakyat tidak akan diam ketika demokrasi diinjak-injak. Di bawah tekanan kuat dari rakyat yang bersatu dalam aksi-aksi demonstrasi, DPR akhirnya dipaksa untuk membatalkan niat jahatnya kemarin. Ini adalah kemenangan yang tidak hanya menggagalkan upaya melanggengkan dinasti politik, tetapi juga menegaskan bahwa nasib demokrasi ada di tangan rakyat.

Baca juga :  Peredaran Hoaks Pemilu 2024 Masih Besar

Aksi demonstrasi ini membuktikan bahwa ketika rakyat bersatu, kekuatan mereka tak bisa diremehkan. Demokrasi Indonesia telah diuji, dan rakyatlah yang menjadi penentu keberlangsungannya. Dalam momen ini, kita belajar bahwa demokrasi bukan sekadar kata-kata yang tercantum dalam konstitusi; ia hidup dalam tindakan, keberanian, dan suara-suara yang menolak tunduk pada tirani. Masa depan demokrasi Indonesia kini berada di persimpangan yang cerah, bukan gelap. Dengan keberanian yang telah ditunjukkan, rakyat Indonesia telah mengirim pesan yang jelas: demokrasi akan terus hidup selama ada mereka yang berani melawan ketidakadilan. Dan selagi rakyat terus memegang kendali, demokrasi Indonesia akan tetap berdiri kokoh.

Komentar

Penulis : Onessimus Febryan Ambun (Mahasiswa Prodi Magister Teologi IFTK Ledalero)

Editor : Rio Nanto

Berita Terkait

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?
Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024
Berita ini 65 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 13 Juni 2024 - 18:26 WITA

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Jumat, 17 Mei 2024 - 17:05 WITA

Fakultas Filsafat Unwira Menggelar Diskusi AI dan Masa Depan Filsafat

Kamis, 25 April 2024 - 00:16 WITA

Sejumlah Catatan Kritis Pers dan Warganet terhadap Amicus Curiae dan Dissenting Opinion dalam Putusan MK

Selasa, 23 April 2024 - 22:42 WITA

Prodi Ilmu Pemerintahan Unwira Selenggarakan Seminar Hari Kartini

Selasa, 13 Februari 2024 - 13:56 WITA

Peredaran Hoaks Pemilu 2024 Masih Besar

Selasa, 28 November 2023 - 23:35 WITA

Fakultas Filsafat Unwira Adakan Seminar Internasional sebagai Bentuk Tanggapan terhadap Krisis Global    

Sabtu, 11 November 2023 - 11:33 WITA

Tujuan Politik adalah Keadilan bagi Seluruh Rakyat

Jumat, 23 Juni 2023 - 07:01 WITA

Komunitas Circles Indonesia: Pendidikan Bermutu bagi Semua

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA