Dua Ciri Cendekiawan Milenial yang Ideal
Dewasa ini, seorang cendekiawan milenial yang terlibat perlu mengintegrasikan dua ciri utamanya, yaitu keberakaran dalam budaya dan bijak memanfaatkan sarana teknologi dan komunikasi.
Pertama, keberakaran dalam budaya. Kebudayaan merupakan kekuatan yang pertama dan utama penyokong kehidupan setiap masyarakat. Seorang cendekiawan tidak boleh melupakan akar budaya dan kearifan lokal yang menjadi identitas asalinya. Di tengah peradaban dunia modern ini seringkali identitas budaya tersebut terkikis oleh pelbagai pengaruh negatif seperti mental instant, konsumerisme, individualisme, dsb.
Para cendekiawan harus berjuang menjaga warisan budaya dari nenek moyangnya. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang harus dikesampingkan, tetapi disatukan dalam jati diri kehidupan cendekiawan.
Dalam konteks kita di Indonesia keberakaran dalam budaya juga berguna untuk bersosialisasi di tengah realitas keberagaman budaya. Pluralisme tersebut perlu didukung dengan kecakapan budaya. Dr. Hubertus Muda, SVD menyebutkan kecakapan ini sebagai Cultural Inteligence atau kecerdasan kultural. Ia berpendapat bahwa kecerdasan kultural dipahami sebagai sebuah keterampilan mengolah relasi antar-budaya yang umumnya diyakini mengusung sifat bebas, setara, hormat terhadap budaya lainnya.8 Kemampuan ini wajib dihayati oleh setiap cendekiawan milenial dalam dialog antar budaya untuk saling memperkaya.
Kita menjadikan Dicky Senda sebagai teladan dalam Cultural Inteligence, sebab melalui kemampuan ini, ia tak hanya melestarikan kebudayaannya, tetapi juga membuka dialog dengan budaya lain di tanah air kita. Selain itu, keberakaran dalam budaya juga merupakan salah satu karakteristik generasi milenial yaitu, customization.
Kedua, bijak memanfaatkan sarana teknologi dan komunikasi. Sisi positif dari perkembangan di era digital ialah kemudahan dalam menjalin relasi, komunikasi dan jejaring di dunia virtual. Segala jarak dan batas geografi telah ditiadakan sehingga kita bisa berkomunikasi dengan setiap orang di belahan benua lain. Alat teknologi modern juga bermanfaat untuk menyempurnakan pekerjaan sehingga lebih efektif dan efisien. Cendekiawan milenial yang bijak memakai sarana tersebut akan dipermudah dalam memperluas koneksi, seperti salah satu karakteristik milenial yaitu, connected.
Seorang cendekiawan harus bijak menyikapi tanda-tanda perubahan zaman, maka ia berwawasan global dan bertindak lokal. Ia harus terampil dan cakap menggunakan alat-alat modern untuk mengaktualisasikan pemikirannya bagi pelayanan terhadap masyarakatnya. Ia tidak boleh terjerumus dalam penyalahgunaan teknologi tersebut. Cendekiawan yang sejati adalah pemikir yang kritis dan tidak mudah terbawa arus isu radikalisme, hoaks dan fake news yang kerap bermunculan dalam media komunikasi dan informasi.
F. Budi Hardiman, seorang pengajar filsafat di STF Driyarkara berpendapat bahwa homo digitalis adalah makhluk moral yang mencari kebenaran dan keadilan lewat komunikasi digital.9 Senada dengan ciri yang kedua, seorang cendekiawan ideal haruslah seorang homo digitalis yang sejati demi perjuangan keadilan dan kemanusiaan. Dicky Senda telah menunjukkan keteladanan seorang homo digitalis yang sejati kepada kita. Oleh karena itu, kita patut menirunya dalam aktivitas hidup kita sehari-hari.
Dicky Senda adalah salah seorang cendekiawan milenial yang ideal karena seimbang mengolah keberakarannya dalam budaya, serta bijak menggunakan sarana teknologi dan komunikasi demi kebaikan hidup bersama. Pendiri komunitas Lakoat Kujawas ini telah membuahkan cara pandang dan gebrakan baru penuh optimisme yang pastinya akan menginspirasi banyak kaum intelektual muda lainnya.“Saya punya mimpi yang besar bagaimana generasi muda Mollo saat ini bisa hidup lebih baik bisa mandiri di tanah sendiri, bisa mandiri di kampung sendiri. Paling tidak dimulai dari bagaimana generasi muda Mollo melihat identitas diri mereka dan melihat tradisi mereka sebagai suatu kekuatan”, pesannya merendah.
Footnote
1 Amandus Klau, “Menyoal Keterlibatan Kaum Intelektual” , dalam Vox Seri 52/02/2006, hlm. 16.
2 Tajuk rencana,”Generasi Muda Menjaga Bangsa”, Kompas, Sabtu 28 Oktober 2017. hlm. 6.
3 Yoris Sebastian, Dilan Amran dan Youth Lab, Generasi Langgas Millenials Indonesia (Jakarta: Gagas Media, 2017), hlm. 5.
4 Ibid, hlm. 33-43.
5 Bdk. https://balebengong.id/fiksi/dicky-senda-dan-tanggung-jawab-sosial-orang-mollo.html?lang=id, diakses pada 01 Maret 2018.
6 Dicky Senda, “Orang Muda dan Ketahanan Pangan: Sebuah Cara Pandang Terkait Ekosistem dan Identitas Diri”, http://lakoatkujawas.blogspot.co.id, diakses pada 22 Februari 2018.
7 Ibid.
8 Dr. Hubertus Muda, SVD, “Kecerdasan Kultural (CI): Membangun Pendidikan Bermutu Total”, dalam Jurnal Alternatif Vol. 2. No. 1 Januari 2013, Narasi Kultural (Ruteng: 2013), hlm. 44.
9 F. Budi Hardiman, “Homo Digitalis”, Kompas, Kamis 1 Maret 2018, hlm. 6.
10 https://netz.id/news/2018/02/20/00316/1009190218/dicky-senda-anak-jaman-now-yang-peduli-suku-primitif-di-ntt, diakses pada 01 Maret 2018.
Halaman : 1 2