Dicky Senda, Model Cendekiawan Milenial dalam Pembangunan NTT

- Admin

Selasa, 28 September 2021 - 10:00 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Pada masa kini, para cendekiawan mempunyai andil besar dalam pembangunan masyarakat Indonesia. Khususnya, di Nusa Tenggara Timur kehadiran mereka menjadi jawaban solutif atas berbagai persoalan yang marak terjadi di provinsi kita. Persoalan-persoalan, seperti: perdagangan manusia, kemiskinan, pengangguran, pertambangan liar, rendahnya mutu pendidikan, dan lain-lain, bisa segera ditangani bila para cendekiawan turut terlibat menyelesaikannya.

Alasannya, mereka berperan penting menyumbangkan segala ide dan gagasan yang kontekstual demi pembebasan dari segala belenggu yang mengikat dan demi mewujudkan kesejahteraan hidup masyarakat.           

Cendekiawan yang sejati adalah sosok yang tak hanya piawai menyusun ide-idenya, tetapi menerapkannya di lapangan dengan terlibat aktif membangun daerahnya secara kreatif dan inovatif seturut perkembangan zaman. Salah satu model cendekiawan sejati tersebut kita temukan dalam sosok Dicky Senda.

Dicky Senda dan Lakoat Kujawas

Cendekiawan milenial ini bernama lengkap Christianto Dicky Senda. Ia seorang pemuda yang berkarya sebagai wirausahawan sosial (social entrepreneur) di desa Taiftob, Mollo Utara, Timor Tengah Selatan.  Ia lahir di Mollo Utara pada tanggal 22 Desember 1986. Sarjana Psikologi ini berlatar belakang pendidikan, SMAK Syuradikara Ende, Universitas Gadjah Mada (Komunikasi, angkatan 2005), dan Universitas Mercu Buana Yogyakarta (Psikologi, angkatan 2011).

Ia juga seorang penulis sastra yang telah menerbitkan beberapa buku, di antaranya puisi Cerah Hati (2011), kumpulan cerpen Kanuku Leon (2013), Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi (2015), dan yang terbaru Sai Rai (Penerbit Grasindo, 2017). Ia pernah hadir dan memperkenalkan karyanya di Makassar International Writers Festival (2013), Temu I Sastrawan NTT (2013), Asean Literary Festival (2014 dan 2016), Temu II Sastrawan NTT (2015), Festival Sastra Santarang (2015), Bienal Sastra Salihara (2015) dan Literature & Ideas Festival Salihara (2017). Ia pernah mengikuti program residensi seni dan lingkungan di Bumi Pemuda Rahayu Jogjakarta (2015) dan Asean-Japan Residency Program (2016).5

Baca juga :  Menyoal  Pembagian Bibit Kopi di Mano

Pada suatu kesempatan, ia pulang ke kampungnya untuk melakukan sebuah riset. Ketika itu, ia merasa nuraninya tergerak untuk ikut bertanggung jawab atas masa depan kampung kelahirannya, desa Taiftob di Mollo Utara. Desa yang terletak di seputaran lereng Gunung Mutis ini memiliki beberapa kendala seperti akses jalan yang kurang mendukung sehingga mengakibatkan banyak pelajar yang putus sekolah, bahkan rentan terhadap ancaman human trafficking. Kenyataan yang memprihatinkan ini menggugat identitasnya sebagai kaum terpelajar untuk mengatasi masalah-masalah itu.        

Sebelumya, ia aktif bergiat dalam beberapa komunitas seperti, Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Solidaritas Giovanni Paolo dan Forum Soe Peduli. Dengan modal pengalaman tersebut ia berinisiatif menggagas komunitas Lakoat Kujawas yang berdiri sejak tahun 2016. Dicky Senda menuliskan bahwa komunitas ini tumbuh bersama dengan fenomena kerja kolaborasi (co-working), solidaritas warga aktif dan volunterism di kalangan orang muda yang begitu kuat, dipicu oleh berkembang pesatnya penggunaan media sosial di kalangan orang muda itu sendiri.6

Baca juga :  Optimalisasi Layanan Pelabuhan Podor dalam Meningkatkan PADes Desa Lewohedo

Lakoat Kujawas adalah wadah bagi para kaum muda yang sama-sama terpanggil untuk mengolah potensi alam, budaya lokal dan pemberdayaan masyarakat lokal. Komunitas ini menghimpun anak dan orang muda, relawan dari berbagai disiplin ilmu, kelompok perempuan dan para petani, yang mengintegrasikan kewirausahaan sosial dengan komunitas kesenian, perpustakaan warga, ruang kerja kolaborasi, ruang arsip dan homestay.7 

Lakoat Kujawas bergerak dalam tiga bidang utama yaitu kewirausahaan, literasi, dan kesenian. Pada bidang kewirausahaan dipasarkan produk kuliner lokal, pemasaran kain tenun modifikasi secara online, dan usaha homestay yang memakai perumahan warga setempat. Lakoat Kujawas mengoptimalkan potensi-potensi tersebut demi meningkatkan penghasilan ekonomi penduduk Mollo.

Pada bidang literasi ia mendirikan sebuah perpustakaan bagi warga dan melakukan lokakarya teater bagi para anak muda. Ia bersama teman-temannya juga melaksanakan pelatihan penulisan kreatif bagi anak-anak di SMPK St. Yosef Freinademetz. Pelatihan ini telah menghasilkan sebuah buku antologi sastra yang akan diterbitkan pada Mei 2019. Sedangkan di bidang kesenian digalakkan festival-festival budaya, seperti festival seni Mnahat Fe’u, yang mementaskan tradisi panen orang Mollo dengan kesenian serta mendokumentasikan tradisi lisan warga Mollo ke dalam arsip tulisan.

Baca juga :  Bias Urban dan Desa sebagai Subjek Media

Lakoat Kujawas berkarya melalui dua metode. Pertama, melibatkan semua elemen masyarakat, teristimewa kaum muda. Golongan muda adalah energi pendorong yang cepat dalam menularkan semangat karya mereka melalui Website dan Youtube juga media sosial, seperti Facebook, Instagram, dsb. Mereka juga tidak menjadikan masyarakat dan aset budaya sebagai obyek, melainkan subyek dan pelaku utama dalam sistem perekonomian.

Kedua, mereka bukan sekadar memperdagangkan produk alam atau budaya, melainkan mengangkat kisah, mitos, dan seluk-beluk proses pembuatan barang-barang tersebut. Contohnya, dalam penjualan sambal tradisional Timor, sambal Lu’at, diperkenalkan tentang sejarah dan kekayaan tradisi yang menjiwainya. Begitu pula dalam olahan seperti madu, kopi, atau karya tenun ikat selalu dipromosikan tentang spritualitas budaya yang terkandung di dalamnya. Keunikan tersebut adalah daya tarik yang mendatangkan banyak wisatawan domestik maupun manca negara yang sering berkunjung ke desa tersebut. Inilah dua keunggulan dan keunikan dari ekosistem kerja mereka yang membedakannya dari yang lain.

Lakoat Kujawas secara swadaya tentunya memiliki hambatan-hambatan. Hambatan seperti keterbatasan dana adalah tantangan bagi usaha Dicky Senda dan para anggotanya. Meski diliputi banyak keterbatasan lain mereka tidak gampang menyerah. Di sinilah daya tahan para cendekiawan muda dituntut. Berkat ketekunan mereka, banyak donatur yang turun tangan menyumbangkan bantuan demi kelancaran kegiatan dan eksistensi mereka

Komentar

Berita Terkait

Reproduksi Ruang di Kampung Nelayan
Menyoal  Pembagian Bibit Kopi di Mano
Optimalisasi Layanan Pelabuhan Podor dalam Meningkatkan PADes Desa Lewohedo
Bias Urban dan Desa sebagai Subjek Media
Desa: Sentra Budaya dan Peradaban
Berita ini 208 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA