Calo Ilmu Pengetahuan
Perguruan tinggi tempat dosen menimba ilmu, kemudian ilmu yang diperolehnya itu, akan ditransfer kembali kepada mahasiswa. Jika dalam tugas menyelenggarakan ilmu pengetahuan itu dosen hanya sekadar membagikan apa yang pernah diajarkan dosen-dosen mereka terdahulu atau hanya memindahkan catatan kuliahnya saja, tanpa mengubah sedikitpun apalagi dengan menambah dengan pendapatnya sendiri, ini sama halnya dosen sebagai “calo ilmu pengetahuan”.
Tipe dosen seperti ini adalah sungguh mematikan kreativitas mahasiswa, memanipulasi aspirasi mahasiswa. Mahasiswa yang daya analitis dan daya kritisnya rendah, mahasiswa yang minder ketika diajak berdiskusi dengan mahasiswa lainnya dari perguruan tinggi besar,misalnya, adalah mahasiswa yang diajarkan oleh dosen sebagai calo ilmu pengetahuan. Yang jelas sesuatu akibat adalah sebab dari suatu sebab.
Tipe lain dosen sebagai calo ilmu pengetahuan ialah tidak berani mengambil resiko menyampaikan gagasan. Dengan kata lain “cari selamat tetapi gaji jalan terus”. Ketika bimbingan skripsi, tesis, atau disertasi, dosen sering memperhambat, dengan alasan sibuk. Saya mengakui, ada mahasiswa yang pintar. Ketika dia menyusun skripsi, tesis atau disertasi, narasi dan argumentasinya bisa saja melebihi kemampuan dosennya. Namun karena dosen merasa ilmu mahasiswa tadi lebih tinggi dari pada dosennya, lalu dosennya mengatakan, bahasamu tidak beraturan. Dosen kadang tidak paham apa yang ditulis mahasiswa. Itulah sebabnya sistem pendidikan itu harus jujur. Dosen harus mengakui kepintaran mahasiswa.
Saat ini masyarakat (termasuk mahasiswa) sudah semakin kritis, untuk menerima mana yang baik dan mana yang jelek. Tanpa dipastikan kalau cara membagi ilmu pengetahuan masih memakai pola pikir sebagai “calo”, dapat dibayangkan kualitas mahasiswa kita pasti rendah.
Di sisi lain pun banyak dosen kita yang mengajar di sejumlah universitas atau “nyambi” di perusahaan atau instansi di luar universitas. Dengan demikian banyaklah dosen kita terpecah konsentrasinya jika memberikan kuliah, soalnya ia tidak siap menghadapi mahasiswanya, maka timbullah pikiran untuk mentransfer ilmu yang diperolehnya ketika ia dapat pada saat kuliah, tanpa menambah atau mengubah sedikipun yang sudah usang, meminjang kata-kata Prof. Mansyuri (1985), “dapat mentah jual mentah, dapat matang jual matang”. Dengan cara membagi ilmunya ketika ia pernah didapatnya dibangku kuliah, tanpa mengubah atau menambah dengan ide-ide baru.
Menurut Prof. Mansyuri, kesulitan perguruan tinggi di dunia ketiga, termasuk Indonesia, terlampau banyaknya memiliki dosen-dosen yang kurang baik, yang mengajar para mahasiswa yang kurang baik pula persiapannya. Hal ini menyangkut raw in put (SMA atau sederajat), yang kurang baik pula. Masalahnya amat kompleks.
Mahasiswa yang selalu rajin menghafal apa yang keluar dari mulut dosenya, mahasiswa yang tahu letak tanda seru, tanda koma yang persis apa yang diucapkan oleh dosennya, itulah mahasiswa yang diinabobokan oleh dosen. Apakah dengan demikian, mahasiswa yang tidak kritis adalah merupakan hasil sistem pendidikan kita selama ini? Ataukah ada kaitannya dengan sistem pendidikan yang dianut perguruan tinggi selama ini?
Bagamana supaya sistem pendidikan kita mampu menghasilkan manusia yang kritis, inovatif, dan kreatif? Atau masih adakah niat kita untuk menciptakan manusia yang kritis, inovatif, dan kreatif? Untuk mencapai ke sana rasanya tidak sulit. Yang terpenting asalkan harus dicegah dosen sebagai calo ilmu pengetahuan, dan perlu ada penelitian sistem pendidikan yang menghasilkan dosen-dosen yang mengajar di perguruan tinggi. Termasuk juga penelatian ijazah tamatan luar negeri.
Kalau niat ini kita sudah laksanakan, PT pasti menghasilkan manusia-manusia yang kritis, kreatif, dan inovatif dan sewajarnyalah pendidikan kita berorientasi ke sana. Dampak negatif dosen sebagai calo ilmu pengetahuan, dan dosen sebagai transfer of knowledge, dalam pengertian “membagi”, dapat mentah jual mentah, dapat matang jual matang, mahasiswa kita kurang kritis, inovatif, dan kreatif. Mahasiswa akan tetap malas membaca, malas belajar keras dan lebih banyak santai. Mereka menghafalkan pelajaran hanya sekadar untuk mendapatkan nilai, gelar, dan ijazah. Selebihnya tidak.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya