Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

- Admin

Jumat, 6 September 2024 - 23:37 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Sri Paus Fransiskus telah telah menyelesaikan kunjungan apostoliknya di Indonesia. Kunjungan ini bukan atas nama kepentingan ekonomi politik, melainkan kemanusiaan. Sri Paus tidak hanya mengunjungi Indonesia, tetapi juga membawa terang pengharapan bagi masa depan seluruh masyarakat Indonesia. Kita semua percaya Spes non confundit, “Pengharapan tidak Mengecewakan” (Rm. 5:5).

Paus Fransiskus menetapkan tema Yubilium 2025 yakni Peregrinos de Esperanza, “Para Peziarah Berpengharapan”. Paus Fransiskus memilih teks Rm. 5:5 untuk menjadi dasar teologis merefleksikannya. Roh pengharapan menggerakan Rasul Paulus menuju jemaat di Roma. Bagi Rasul Paulus, pengharapan adalah hasil pembenaran iman, karena “kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus” (Rm. 5:1).

Pembenaran iman Rasul Paulus ini meyakini bahwa Yesus Kristus adalah pintu keselamatan (Yoh. 10:7-9), dan karena Dia “kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah” (Rm. 5:2).

Ada tiga inti dari penjelasan di atas yakni iman, kasih, dan pengharapan. Namun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa kesengsaraan tidak bisa terhindarkan dalam menghayati iman, kasih, dan pengharapan. Itulah sebabnya Rasul Paulus mengemukakan bahwa “kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan” (Rm. 5:3-5).

Tantangan pengharapan

Namun apakah pengharapan masih ada di tengah peperangan, drama kemiskinan, imigran, perdagangan manusia, kejahatan seksual, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, aborsi, eutanasia, bunuh diri, penolakan terhadap orang-orang yang berkebutuhan khusus, teori peralihan kecenderungan seks, kekerasan digital, dan kejahatan lainnya? Inilah soalnya. Bagi orang yang tidak mengalami langsung amat mudah menjelaskan pentingnya pengharapan. Namun bagi orang yang sedang mengalaminya tentu sangat sulit, juga ketika hidup di bawah tekanan, dan ketidakpastian.

Bagaimana kita berdiri tegak di bawah pengharapan ketika kita terus ditindas, direpresi, dan diakumulasi? Ketidakpastian menghambat tumbuhnya pengharapan. Ketidakpastian bertolak belakang dengan iman dan kasih. Ketidakpastian diciptakan secara sistematis oleh penguasa ekonomi dan politik. Ketidakpastian tidak memungkinkan kebebasan dan keadilan. Ketidakpastian menormalisasi kejahatan dan kekerasan. Ketidakpastian adalah musuh terkuat kebenaran.

Ketidakpastian mengacaubalaukan sistem sosial kemasyarakatan yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan kedaulatan. Ketidakpastian diperkenalkan dan diabadikan oleh  rezim neoliberal. Ketidakpastian tampak ketika masyarakat harus buru-buru mengejar waktu yang hilang di tempat kerja dan ruang yang tak terbatas lagi di media sosial—ruang abstrak yang dimanfaatkan sebagai pasar baru. Masyarakat dibuat buru-buru oleh sistem kerja dan upah di bawah rezim neoliberal. Semakin tepat waktu masuk dan keluar kerja, upah semakin naik dengan presentasi tertentu. Semakin tidak tepat waktu masuk dan keluar kerja, semakin dekat terima surat PHK.

Lagi pula, tiap hari begitu banyak pelamar kerja melamar pekerjaan atau rezim sudah menyiapkan tenaga kerja cadangan yang abstrak. Pemilik pekerjaan tidak akan mengalami kerugian apabila banyak pekerja di-PHK, karena mereka tidak melihat kemanusian pekerja, tetapi tenaganya. Tenaga pekerja dilihat sebagai modal yang bisa dibeli dengan uang untuk mendapatkan uang lebih banyak.

Baca juga :  Masyarakat Telanjang

Masyarakat buru-buru yang dikendalikan oleh rezim neoliberal sulit mencari waktu untuk bertemu, berkumpul dan bersenda gurau dengan keluarga. Masyarakat buru-buru sulit menemukan waktu hening, merefleksikan, mengontemplasi, dan mempertimbangkan pilihan bijak untuk kehidupan selanjutnya. Masyarakat buru-buru tidak punya waktu mendengarkan suara hatinya, dan panggilan nurani kemanusiaan dari kaum tertindas, para korban kebijakan rezim politik, dan mereka yang hasrat seksualnya diperdagangkan.

Masyarakat buru-buru dilatih untuk menormalisasikan kejahatan, hoaks, dan peperangan. Masyarakat buru-buru tidak memiliki kesabaran, keuletan dan kemurahan hati. Masyarakat buru-buru “diajarkan” untuk mendewakan pekerjaan daripada beriman kepada Tuhan dan percaya kepada agama.

Ketika nilai-nilai luhur keagamaan, norma-norma sosial, kebutuhan-kebutuhan metafisis, estetika, demokrasi, dan penghayatan keimanan kepada Tuhan dikosongkan dari batok kepala masyarakat buru-buru, di sanalah kejahatan terhadap kemanusiaan sangat rentan, dan penghancuran ekologi makin membrutal. Masyarakat buru-buru, seperti zombi, hidup hanya dengan “mengisap” darah (upah) pekerjaaan; ia makin hidup kalau makin banyak darah/upah yang di-“isapkan”-nya. Akan tetapi, berbeda dengan zombi sesungguhnya, masyarakat buru-buru masih mempunyai secercah pengharapan akan hidup yang lebih baik lewat pekerjaan-pekerjaan yang lebih manusiawi.

Alih-alih menanam dan merawat pengharapan, rezim ketakutan-lah yang mendominasi. Paus Fransiskus mengutarakan beberapa kejahatan serius dalam Declaración del Dicasterio para la Doctrina de la Fe “Dignitas infinita sobre la dignidad humana” pada 8 April 2024. Sebab pokok adalah tekanan dan tuntutan rezim neoliberal. Byung-Chul Han dalam bukunya El Espiritu de la Esperanza (2024) mengatakan bahwa “rezim neoliberal adalah sebuah rezim ketakutan”.

Ketakutan timbul ketika pengharapan tidak terwujud, dan rezim neoliberal semakin mengontrol roda kehidupan. Byung-Chul Han menjelaskan bahwa rezim neoliberal “mengisolasi orang-orang, mengubahnya menjadi pengusaha dirinya sendiri”. Hal ini disebabkan oleh “kompetensi sembarangan dan desakan untuk membayar kadang-kadang melemahkan masyarakat”.

Pengusaha diri sendiri membuat orang terisolasi dengan orang lain. Kalau pun ia berkontak dengan yang lain, itu karena didesak oleh kepentingan. Tanpa kepentingan, ia tidak punya kesabaran untuk ada-bersama dan membangun relasi kesalingan-setimpal dengan yang lain. Ini makin menguatnya kebebasan pribadi yang narsistik.

Bagi Byung-Chul Han, “kebebasan pribadi yang narsistik menimbulkan kesendirian dan ketakutan”. Apabila kesendirian dipupuk terus-menerus, maka ketakutan tidak lagi dimunculkan dari luar, tetapi dari dalam diri sendiri. Tingkah laku kadang-kadang ditandai oleh ketakutan: “ketakutan akan gagal, ketakutan akan tidak hidup sesuai dengan yang diharapkannya, ketakutan akan tidak mampu menjaga ritme atau ketakutan akan ditinggalkan”. Ketakutan dan keputusasaan adalah pasangan sejati.

Ketakutan dan keputusasaan selalu melahirkan kecapaian dan keletihan. Kecapaian memukul fisik dan mental, tetapi keletihan menyerang psikis, rasionalitas, emosional, dan spiritualitas. Pada rezim neoliberal ini, masyarakat tidak hanya mengeluh kecapaian karena pekerjaan, tekanan kebudayaan, adat-istiadat, kebijakan ekonomi politik, pendidikan, hukum, dan keagamaan, tetapi juga keletihan disebabkan oleh pasangan, keluarga, orang-orang yang dikasihi, dan kehilangan orientasi hidup dalam diri sendiri. Kehilangan orientasi hidup dalam diri sendiri mempersulit menentukan arah petualangan dan tujuan perziarahan hidup.

Baca juga :  Apakah Aku Selfi Maka Aku Ada?

Ketika spiritualitas redup, pengharapan enggan menampakkan auranya, dan di situlah keletihan eksistensial menyiksa seseorang. Keletihan eksistensial menutup pintu refleksi diri: “siapakah aku ini?”, “dari manakah aku berasal?”, “mengapa aku harus hidup?”, “mengapa dan untuk apa aku ada di sini”, dan “ke manakah aku harus melangkah?”. Keletihan spiritual memblokir permenungan: “Siapakah Tuhan bagiku?”, “apakah Tuhan ada untukku?”, “mengapa dan untuk apa aku butuh Tuhan?”, “dapatkah aku bayangkan aku hidup di luar Tuhan?”, “untuk apakah aku diciptakan Tuhan dan ke manakah kakiku harus melangkah?”.

Keletihan eksistensial dan keletihan spiritual dapat mengebalkan egosentrisme dan individualisme. Keduanya menolak motivasi, inspirasi, dan nasihat-nasihat dari orang lain, dan menghindari campur tangan dari Tuhan. Tuhan sangat enggan masuk dan berdialog dengan orang yang egosentrisme dan individualismenya akut. Makin hari, ia makin mengeluh tentang dirinya sendiri, dan menyalahkan orang-orang dan keadaan di luar dirinya.

Iman: Pengharapan sudah ada

Bertolak dari Rasul Paulus, Paus Fransiskus dalam Spes non Confudit (4) mengajak semua manusia untuk menemukan kembali pengharapan yang sempat dikekang oleh egoisentrisme, individualisme, dan tekanan rezim neoliberal. Paus Fransiskus mengimbau agar semua manusia membangun kembali “kesabaran untuk mengutamakan pentingnya ketekunan dan kepercayaan yang di dalamnya Allah yang telah berjanji kepada kita, yang di atas semuanya tentang kesaksian bahwa Allah adalah Dia yang sabar dengan kita, karena Dia adalah ´sumber ketekunan dan penghiburan´ (Roma, 15:5)”.

Bagi Paus Fransiskus, “kesabaran, yang juga merupakan buah Roh Kudus, menjaga pengharapan tetap hidup dan memperkuatnya sebagai keutamaan dan corak hidup”. “Jalinan kesabaran dan pengharapan”, kata Paus Fransiskus, “menunjukkan secara jelas bagaimana kehidupan kristiani adalah sebuah jalan, yang juga membutuhkan saat-saat yang kuat untuk memupuk dan memperkuat pengharapan, pendamping yang tak tergantikan yang memungkinkan untuk melihat tujuan: pertemuan dengan Tuhan Yesus” (5). Paus Fransiskus menekankan pentingya “menetapkan jalan adalah langkah khas dari mereka yang mencari makna hidup”.

Para peziarah yang mencari makna hidup senantiasa melihat masa depan dengan penuh pengharapan. Kita menyaksikan begitu banyak orang yang lebih suka tenggelam dalam penderitaan dan kesengsangsaraannya daripada menemukan kembali pengharapan. Hal ini menimbulkan apa yang dikatakan oleh Paus Fransiskus dengan hilangya kerinduan untuk mengubah hidup (9).

Masyarakat buru-buru sibuk mengubah diri agar sesuai dengan sistem kerja saat ini dan kini. Masyarakat buru-buru adalah masyarakat konsumtif yang tidak bisa melihat masa depan. Menurut Byung-Chul Han, “para konsumer tidak mempunyai pengharapan. Satu-satunya yang mereka miliki adalah keinginan dan kebutuhan. Mereka tidak membutuhkan masa depan. Ketika konsumsi diabsolutkan, waktu direduksi menejadi kekininan yang tetap dari kebutuhan dan kecukupan”.

Baca juga :  Penyakit Era Digital Menurut Jürgen Habermas

Bagi Byung-Chul Han, “kemewaktuan pengharapan adalah yang masih tidak ada. Dia terbuka bagi yang akan datang, kepada yang masih tidak ada. Dia adalah suatu sikap spiritual, sebuah temperamen kesabaran yang mengangkat kita di atas apa yang sudah diberikan, terhadap apa yang sudah ada.”

Dari refleksi filosofis Byung-Chul Han, bila dilihat dari perspektif iman kristiani, Yesus-lah pengharapan, karena Dia adalah “yang datang dalam nama Tuhan” (Mzm. 118:26; Mat. 21:9.23_39; Mrk. 11:9; Luk.13:35; 19:38; dan Yoh.12:13). Untuk membuktikan itu, Yesus sendiri berkata: “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10). Di bawah terang pengharapan itu, Rasul Paulus mewartakan: “Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa! Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus, dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberi tumpangan!” (Rm. 12:12-13). Pengharapan, iman dan amal kasih adalah tiga keutamaan teologis yang harus dilaksanakan oleh umat kristiani.

Yesus mati dan bangkit adalah inti iman umat kristiani. Santo Paulus mewartakan empat kata inti dalam pengharapan umat kristiani: “Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, Ia dikuburkan, Ia telah dibangkitkan pada hari yang ketiga, dan Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kedua belas murid-Nya” (1Kor.15.3-5).

Kalau Yesus adalah sumber dan tujuan pengharapan, umat kristiani dan semua manusia hendaknya tidak kehilangan kerinduan untuk mengubah hidup, tetapi sebaliknya berdao kepada Allah, sumber pengharapan memenuhinya dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam imannya, dan supaya oleh kekuatan Roh Kudus kita berlimpah-limpah dalam pengharapan (Rm. 15:13).

Semua manusia seharusnya tidak perlu lagi menunggu Sang Pengharapan Baru datang dari masa depan (adventus) untuk menyelamatkannya dan memberikan kebebasan baru karena Yesus, yang datang dalam nama Tuhan sudah datang. Rasul Paulus mengungkapkannya dengan sangat jelas: “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya?” (Rm. 8:24).

Paus Fransiskus mengajak, dengan pengharapan yang berlimpah-limpah, “kita dapat memberi kesaksian yang menarik dan dapat dipercaya iman dan kasih yang kita bawa dalam hati; agar iman menjadi sukacita dan amal kasih bertekun; agar setiap orang mampu memberikan walaupun sekadar seuatas senyuman, sebuah gerakan keramahtamaan, tatapan persaudaraan, pendengaran yang tulus, pelayanan gratis, yang di dalam Roh Yesus, ini dapat berubah menjadi benih yang subur dalam pengharapan bagi dia yang menerimanya.” Kelimpahan pengharapan tampak dalam sikap hidup selalu memberi tumpangan. Dan pengharapan memang tidak mengecewakan!

Komentar

Penulis : Melki Deni (Universidad Pontifica Comillas, Madrid, Spanyol)

Editor : Rio Nanto

Berita Terkait

Tolong, Dengarkan Suara Hati! (Subjek Cinta dan Seni Mendengarkan)
Apakah Aku Selfi Maka Aku Ada?
Autoeksploitasi: Siapa yang Membunuh Sang Aku?
Masyarakat yang Terburu-buru
Masyarakat Smombi
Masyarakat Telanjang
G.W.F. Hegel: Negara dan Sittlichkeit
Emotikon, Krisis Perhatian dan Filsafat Teknologi
Berita ini 148 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA