Yosef Freinademetz Menantang Kita

- Admin

Minggu, 29 Januari 2023 - 10:23 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com– Yosfrei, begitu para biarawan SVD (Societas Verbi Divini/Serikat Sabda Allah) sering menyebut (menyingkat) nama Yosef Freinademetz, seorang misionaris ulung dalam kongregasi Sabda Allah. Yosfrei dikenal sebagai misionaris perdana dalam SVD, dengan upaya meletakkan fondasi yang mengagumkan bagi karya misi Gereja di Cina. Ia lahir di Oies – Tyrol Selatan, bagian utara Italia – pada 15 April 1852, tetapi bertekad dan memilih tinggal, menyatu, sampai mati di tanah misi Cina.

Sebagai misionaris baru di tanah asing, dengan kultur, bahasa, kebiasaan, adat istiadat, cara berpakaian, yang secara signifikan berbeda dengan tempat kelahirannya, Yosfrei pertama-tama menjiwai dirinya dengan satu bahasa universal, bahasa yang menerobos sekat-sekat partikular, bahasa tiada batas material, ialah bahasa cinta (language of love).

Bahasa cinta, baginya, paling dapat dimengerti oleh semua bahasa manusia dari berbagai kalangan dan latar belakang berbeda sekalipun. Bahasa itu pula yang menjadi moto penggerak misi pelayanan Yosfrei selama di tanah misi: ”Love is the only language that everyone understands”.

Mempersiapkan perjalanan misionernya di Cina, Yosfrei mulai belajar bahasa Mandarin dan dialek Hakka – sebuah bahasa yang dituturkan orang Hakka, suku Han yang tersebar di kawasan pegunungan provinsi Guangdong, Fujian dan Guangxi di China – mengenakan pakaian Cina, dan kemudian menulis katekismus dalam bahasa Cina. Track record-nya di Cina menampilkan sejumlah gambaran yang, hemat saya, murni sebagai pelayan sederhana dan rendah hati.

Pada peringatan kematiannya yang ke-50 tahun 1959, Kardinal Thomas Tien, SVD, yang di masa kecilnya sudah mengenal Yosfrei, memberi kesaksian, “Semua orang Kristen memandang Yosef sebagai seorang kudus yang masih hidup. Ia sangat ramah, sederhana dan rendah hati. Ia berbicara Bahasa Cina dengan baik. Semua yang bergaul dengannya sungguh mengaguminya dan merasa damai dengan kehadirannya. Seorang katekis, yang tidak terlalu suka dengan misionaris asing, berkata, ‘Fu Shen Fu (sebutan kehormatan untuk Yosfrei dalam bahasa setempat) sungguh seorang kudus (bdk. http://www.svdbiblecentre.org/svdsaints/jfreinademetz_mujizat.php). Yosfrei digelari kudus pada 5 Oktober 2003 oleh Paus Yohanes Paulus II.

Baca juga :  Uskup Sederhana dan Rendah Hati

Yosfrei tetap menjadi sederhana dengan kemewahan batinnya. Ia bahkan tidak memilih menjadi imam materialistis-superfisial; imam yang enggan “melipat jubah” seusai misa dan khotbah, yang memilih berdebu di pasar ketimbang necis di altar; imam yang, mengutip Paus Fransiskus, menjadi “gembala berbau domba”, mengakar dalam situasi umat dan hidup, tertawa, serta menangis bersama umat.

Yosfrei sudah membuktikan kualitas itu dengan mumpuni. Ia memberi teladan untuk karya misi Gereja universal, para misionaris di seluruh dunia, terutama misionaris dan calon misionaris SVD sejagat. Sekarang ini, di tengah zaman kian modern, model-model misi mungkin saja sudah berbeda. Namun, hemat saya, perubahan zaman tidak serta merta menggantikan spirit misioner, seperti telah dibangun Yosfrei di Cina.

Zaman boleh berubah, tetapi komitmen misi, spiritualitas pelayanan tetap serupa dan mengarah kepada Allah dengan cara-cara “mengumat” dan berkarakter dengan situasi umat, sebagaimana Yosfrei buktikan di medan asing. Yosfrei sedang menantang kita di zaman yang memang terlihat muda dijelajah, tetapi sebetulnya sukar ketika di lapangan. Sekali lagi, Yosfrei sedang menantang kita.

Baca juga :  Puan Maharani dan Warisan Kebajikan tentang Lingkungan Hidup

Identitas Gembala

Saat bertemu dengan sekelompok imam asal Prancis yang sedang belajar di Roma, Paus Fransiskus memperingatkan para imam agar tidak menempatkan identitas sebagai “intelektual” di atas identitas sebagai “gembala”. Awasan Paus Fransiskus cukup berdasar. Rupanya gejala penegasan diri secara akademis ini sudah menjadi fenomena yang kian akrab untuk kalangan imam cum intelektual saat ini.

Boleh jadi Paus menaruh curiga, ada imam yang karena mengejar titel atau identitas intelektual, akhirnya lupa tugas utama sebagai gembala. Alhasil, domba zero (prestasi) akademik melarat, menganga tak paham, sementara imam bersangkutan berleha-leha dengan identitas barunya.

Tentu saja, imam intelektual sama sekali bukan hal tabu. Bagi kebanyakan imam yang saya kenal, intelektualitas justru membantu misi pelayanan dalam ragam segi. Para pujangga dan bapa-bapa Gereja yang memformulasi sekian banyak model misi dalam Gereja, ialah juga para imam cum intelektual. Namun, ada pula para imam yang menjadikan identitas intelektual di atas identitas gembala. Inilah yang menghambat karya pelayanannya di tengah umat. Artinya, awasan Paus benar dan mesti ditanggapi secara serius.

Re-imagine dan Re-action

Bagi saya, spirit Yosfrei perlu diimajinasikan kembali (re-imagine) agar menjadi daya yang mampu mendorong setiap pelayan Sabda, para misionaris dan para calon misionaris, untuk menjalankan kembali (re-action) roda misi, karya pelayanan yang sempat tercemar oleh aksi-aksi di lapangan yang kurang suportif untuk karya misi Gereja universal.

Dua fase ini, hemat saya, tidak boleh terabaikan. Bagaimanapun juga, pada titik di mana model karya misi menemui situasi sulit, entah disebabkan oleh perubahan zaman yang radikal atau oleh karena kelambanan dan ketidakmampuan aktor-aktor misi (misionaris) di medan karya, pengimajinasian kembali serentak pendalaman spiritualitas pelayanan mesti menjadi agenda penting. Dari fase ini (re-imagine), para misionaris dan calon misionaris akan lebih mampu melihat dengan jernih dan memutuskan tindakan (action) apa yang harus diambil.

Baca juga :  Selamat Jalan 'Sang Pengganggu' (Eulogi P. George Kirchberger, SVD)

Dalam konteks ini, Yosef Freinademetz, yang menjadi figur misionaris dalam SVD, ialah contoh, inspirator, sekaligus buku sumber bagi imajinasi dan aksi untuk karya misi Gereja pada umumnya dan SVD pada khusunya. Pada peringatannya tahun ini, yang dalam tradisi SVD dirayakan setiap 29 Januari, misionaris dan calon misionaris mesti (kembali) menjadi figur-figur “Yosfreitis” dengan menggali kebijaksanaan misioner seorang Yosfrei: menjadi gembala yang berbau domba, mematahkan sekat-sekat partikular dengan satu mantra, yakni bahasa cinta, memilih berdebu di pasar ketimbang necis di altar, dan lain sebagainya.

Yosfrei menantang kita, para pelayan Sabda, misionaris, biarawan-biarawati, imam cum intelektual. Gereja saat ini butuh Yosfrei-Yosfrei baru, yang berani meninggalkan kesenangan duniawi, rela berpisah sampai mati dengan keluarga dan negara asal, lekas menjadi kecil di tengah umat. Para pelayan, seperti ditantang Paus Fransiskus, mesti membebaskan diri dari ide-ide yang terbentuk sebelumnya, mimpi akan kebesaran, penegasan atas diri. Sebaliknya, Paus mengingatkan, Tuhan dan orang lain (terutama yang miskin dan tertindas) mesti menjadi pusat perhatian setiap hari dalam karya pelayanan

Komentar

Berita Terkait

Selamat Jalan ‘Sang Pengganggu’ (Eulogi P. George Kirchberger, SVD)
Membaca Jejak Politik Perempuan Sebagai Jalan Keadilan
Puan Maharani dan Warisan Kebajikan tentang Lingkungan Hidup
Pater Gallus, SVD: Misionaris untuk Orang Sakit   
Uskup Sederhana dan Rendah Hati
Berita ini 90 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA