Uskup Sederhana dan Rendah Hati

- Admin

Rabu, 9 Maret 2022 - 16:44 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Mgr. Michael Cosmas Angkur OFM

Mgr. Michael Cosmas Angkur OFM

Indodian.com – Mgr. Michael Cosmas Angkur OFM adalah uskup Emeritus Keuskupan Bogor. Beliau dikenal sebagai seorang uskup yang sederhana dan rendah hati. Kesederhanaan ini tampak dalam cara berpakaian, tutur kata dan kedekatannya kepada semua orang yang ia layani. Kesederhanaan ini menjadi spiritualitas pribadi yang terpancar dari penghayatan hidup  Yesus dan Fransiskus Asisi.  

Mgr. Cosmas lahir di Lewur, Kuwus, Manggarai Barat 4 Januari 1937 sebagai anak 5 dari 8 bersaudara. Pada masa itu masyarakat di kampung belum memiliki tradisi untuk menuliskan tanggal lahir seorang anak.  Menurut catatan perjalanan Pastor Wibring, SVD, seorang imam yang berkarya di Manggarai Barat pada waktu itu, tertulis tanggal babtis Cosmas 11 Januari 1937. Dengan perkiraan bahwa Cosmas lahir seminggu sebelum dibabtis maka disepakati tanggal lahirnya 4 Januari 1937.   

Kedua orang tuanya Yosef Djadu (alm) dan Odilia Djadu (alm) adalah petani miskin dan sederhana. Sehari-hari kedua orang tuanya bekerja di ladang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. “Saya dibesarkan dalam keluarga yang miskin dan sederhana. Setiap hari saya ke kebun membantu orang tua. Saya sudah menghidupi kerja tangan sejak kecil”, kenang Mgr. Emeritus Michael Cosmas Angkur, OFM dalam perbincangan kami di Lewur, tempat kelahirannya beberapa waktu lalu.

Keadaan ekonomi yang sulit adalah tantangan nyata bagi Cosmas. Tetapi karena cinta, kedua orang tuanya mendukung dia bersekolah. Cosmas lalu masuk Sekolah Rakyat (volksschool) selama tiga tahun ketika Jepang menduduki pulau Flores 1 Agustus 1945. Waktu itu usianya 8 tahun.  Pada masa itu belum ada taman kanak-kanak dan sebagai penyesuaian, dia bersama teman-temannya harus mengikuti bimbingan selama 3 bulan sebelum masuk Sekolah Rakyat.

 “Biasanya untuk menentukan anak sudah layak bersekolah atau belum dilakukan dengan cara sederhana. Anak-anak diminta untuk menyilangkan tangan kanannya melewati batas kepala. Bila jari-jari tangan menyentuh daun telinga maka anak tersebut layak untuk bersekolah”, jelas beliau mengenang masa kecilnya 80 tahun yang lalu.  

Baca juga :  Selamat Jalan 'Sang Pengganggu' (Eulogi P. George Kirchberger, SVD)

Kampung Lewur pada awal tahun 1940-an hanya memiliki sekolah rakyat (dorps-school) tiga tahun. Bagi anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi terpaksa sekolah jauh dari kampung. Untuk itu masyarakat meminta Pemerintah membuka Sekolah Standar (vervolgschool) enam tahun di Ranggu. Jaraknya dari Lewur seharian jauh perjalanan dengan berjalan kaki. Cosmas dan teman-temannya melanjutkan sekolah di sana.

Selama masa pendidikan di Ranggu, Cosmas dan teman-temanya mendapat bimbingan dari Pater Nico Bot, SVD, Pastor Paroki Ranggu. Pada tahun 1948 Pater Donatus Djagom, SVD ditahbiskan di Ranggu sebagai imam pertama Manggarai.  Pater Nico mengajak anak didiknya untuk mengikuti jejak Pater Donatus.  Sejak saat itulah Cosmas mendengar tentang Imam dan misionaris.

Berdasarkan informasi dari Pater Yosef da Silva tentang Seminari Mataloko, Cosmas bersama temannya Gabriel Babu mendaftarkan diri untuk masuk Seminari Menengah Mataloko.

”Ketika mengutarakan maksud ini kepada orang tua, mereka sangat keberatan. Biaya sekolah di seminari sangat mahal dan kakaknya yang lain juga ingin bersekolah. Sementara kedua orang tua hanya petani sederhana. Untunglah Ande Apul, kakak sepupu yang telah lama menjadi guru di Ruteng bersedia membantu biaya pendidikan saya”, kisahnya.

Berkat bantuan Bapak Ande Apul, Cosmas menempuh pendidikan di Seminari Menengah Mataloko selama sembilan tahun (1951-1960). Lima tahun di tingkat SMP dan empat tahun di tingkat SMA. Menjelang pendidikan selesai Cosmas memilih untuk melanjutkan panggilan dengan bergabung ke dalam Ordo Saudara-Saudara Dina (Ordo Fratrum Minorum, OFM). “Alasan saya memilih Fransiskan karena di paroki saya bekerja Pastor Fransiskan seperti Patrisio, OFM. Mereka sering makan di rumah orang tua saya karena kakak saya seorang guru agama”.

Baca juga :  Membaca Jejak Politik Perempuan Sebagai Jalan Keadilan

Bagai mimpi yang indah pada 2 Agustus 1964 bersama Alex Lanur mengucapkan Kaul Agung. Tiga tahun kemudian, 18 Maret 1967 keduanya ditahbiskan menjadi diakon di Katedral Bogor oleh Uskup Mgr. N Geise OFM.  Tahbisan Imam bertepatan dengan pesta St. Bonafantura, Uskup dan Pujangga Gereja pada tanggal 14 Juli 1967. “Saya menyadari semua ini karena rahmat Tuhan. Saya keluarga miskin tetapi karena cinta dan rahmat Tuhan saya mendapat begitu banyak bantuan dari Tuhan melalui orang lain”.

Pada bulan Oktober 1967, Cosmas mendapat tugas baru sebagai Pastor Paroki St. Kristoforus, Waning yang berjarak 20 km dari Lewur. Kehadirannya tidak mudah mudah diterima oleh umat. “Dalam injil tertulis tidak ada seorang nabi yang dihargai di daerah asalnya. Meskipun saya bukan nabi, tetapi kehadiran saya ditolak oleh umat. Mereka berharap pastor paroki adalah orang Barat yang selalu memberi pakaian dan makanan kepada mereka. Sedangkan saya hanyalah anak orang miskin dari kampung tetangga”.

Sebagai bagian dari kaul Ketaatan pada tahun 1969, Cosmas kemudian pindah tugas sebagai pastor Paroki Sentani, Irian Barat. Di bumi Cendrawasih ini selain membimbing iman umat untuk mencintai Tuhan, Cosmas aktif memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang politik dan budaya. Cosmas masih dibilang menjadi gembala utama dalam kehidupan orang Papua yang masih terbelakang waktu itu.

Pada tahun 1968 Pemerintah  Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri  No. 12  yang menyatakan bahwa jabatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  (DPRD) tidak lagi dirangkap oleh bupati sebagai kepala daerah. Jabatan itu itu pegang oleh orang lain. ”Tokoh-tokoh politik Papua mendatangi saya dan menanyakan kesediaan saya menjadi Ketua DPRD Kabupaten Jayawijaya. Hal ini karena sumber daya manusia yang mampu mengisi jabatan itu masih terbatas. Akhirnya saya menyuruh mereka meminta persetujuan uskup Jayapura, Mgr. HFM Munnihoff, OFM”.

Baca juga :  Pater Gallus, SVD: Misionaris untuk Orang Sakit   

Atas persetujuan Mgr. HFM Munnihoff, OFM, dia menerima tugas sebagai anggota DPRD. Dengan tugas itu dia memiliki kesibukan baru meskipun dia tidak melupakan tugasnya sebagai imam. Selama duduk di DPRD I dari tahun 1971-1977, Mgr. Cosmas membidangi komisi pendidikan, sosial dan agama. Kesibukannya di kantor DPR tidak mengurangi pelayanannya sebagai Imam Tuhan.

Oleh karena perkembangan misi OFM di Indonesia sangat maju, Cosmas berjuang mengubah status Vicaria  Missionaria Indonesia menjadi Provinsi. Berdasarkan sidang pleno vicaria, Anggota Fransiskan Indonesia memilih Cosmas menjadi Provinsial OFM pertama di Indonesia. Tugas baru ini tidak membuat dia tinggi hati. Dia tetap sederhana. ”Saya menerima tugas ini sebagai hadiah dari Tuhan. Saya tetap menghayati St. Fransiskus yang saya kagumi karena sederhana, miskin, cinta lingkungan dan orang miskin. Saya pun belajar menjadi pemimpin yang sederhana”.

Sungguh, kasih Tuhan selalu mengalir dalam diri Cosmas. Pelbagai tugas dia terima dan dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab. Tepat pada tahun ketika dia sudah 40 tahun menjadi biarawan Fransiskan, pada tahun 17 Juli 1994 Pastor Julio memberikan surat kepada Cosmas dari Takhta suci untuk menjadi Uskup Bogor. “Ini suatu pencapaian yang tidak layak saya terima dari Tuhan. Saya ini orang miskin dan sederhana”, kenang beliau dalam kata-katanya yang teduh. Pada 21 Oktober 1994, Cosmas ditahbiskan menjadi Uskup Bogor. Dia mengambil moto Tabhisan “In Verbo Tuo”.

Komentar

Berita Terkait

Selamat Jalan ‘Sang Pengganggu’ (Eulogi P. George Kirchberger, SVD)
Yosef Freinademetz Menantang Kita
Membaca Jejak Politik Perempuan Sebagai Jalan Keadilan
Puan Maharani dan Warisan Kebajikan tentang Lingkungan Hidup
Pater Gallus, SVD: Misionaris untuk Orang Sakit   
Berita ini 652 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA