Mungkinkah Neoliberalisme Ambruk?

- Admin

Senin, 7 Februari 2022 - 20:42 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

(Komentar atas Opini Rilus A Kinseng)

Indodian.com – Pada 13 Desember 2021 Kompas menerbitkan tulisan Rilus A Kinseng berjudul “Covid-19 dan Ambruknya Neoliberalisme”. Kinseng menulis “Pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa aliran neoliberalisme yang menghendaki peranan pemerintah seminimal mungkin tidak dapat dipertahankan. Terbukti, negara memegang peranan sangat penting dalam mengatasi pandemi.”

Kinseng mengutip tidak sedikit pendapat orang untuk mendukung argumentasinya tanpa jeli membaca realitas. Begitu cepat Kinseng menyimpulkan neoliberalisme telah ambruk, dan karena itu, “aliran neoliberalisme, yang menghendaki peranan pemerintah seminimal mungkin, jelas tidak dapat dipertahankan”, tulisnya.

Akan tetapi, akan ambrukkah neoliberalisme, seperti dibayangkan Kinseng? Neoliberalisme tidak hanya soal antagonismenya terhadap negara dengan menjunjung tinggi mekanisme pasar, dan eskpansi kapital saja. Lagi pula, sistem ekonomi neoliberal ini dirancang oleh segelintir orang superkaya yang anonim, transnasional, dan homogen (I. Wibowo, 2006:138).

Dengan kredonya—liberalisasi, deregulasi, kompetisi bebas, globalisasi ekonomi, individualisme, pertumbuhan ekonomi yang stabil, negara minimalis—kaum neolib selalu merekonstruksi, dan mereproduksi sistem ekonomi neoliberalisme ini, meskipun mengangkangi kebijakan politik, hukum, dan geopolitik negara yang didatangi.

Neoliberalisme merupakan bentuk mutakhir dari kapitalisme (Awalil Rizky dan Nasyith Majidi, 2008: 230-258). Menurut Wendy Brown (2015:17), “neoliberalisme, suatu bentuk nalar aneh yang mengonfigurasi semua aspek eksistensi dalam istilah ekonomi, secara diam-diam menghancurkan elemen-elemen dasar demokrasi”. Brown berpendapat,“pasar dan uang merusak atau merendahkan demokrasi, bahwa institusi dan hasil politik semakin didominasi oleh keuangan dan modal perusahaan, atau bahwa demokrasi digantikan oleh plutokrasi—diperintah oleh dan untuk orang kaya”.

Saya tidak sedang memuji keniscayaan neoliberalisme sebagai teori ekonomi global yang tampaknya telah mencapai keberhasilan dalam beberapa dekade terakhir ini. Saya hanya mengkritik kesimpulan Kinseng tersebut. Kinseng gagal paham, kaum neolib selalu mendirikan perlindungan, dan proteksi bagi mereka sendiri dengan mengorbankan orang lain, sitem dan kebijakan politik negara (I. Wibowo, 2006:155).

Kaum neolib akan membuat hukum yang menguntungkan kepentingan mereka tanpa mengindahkan kepentingan buruh, pemeliharaan lingkungan hidup, kesetaraan rasial, hak kaum perempuan, keselamatan masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya (I. Wibowo, 2006:155-156).

Proyek Geothermal di Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu contoh dari sekian banyak kasus yang ditimbulkan oleh agenda neoliberalisme ini di Tanah Air, meskipun mendapat banyak penolakan dari masyarakat adat setempat, LSM, dan organisasi-organisasi pejuang kemanusiaan.

Baca juga :  Urgensi Penelitian Sosial terhadap Pembentukan Kebijakan Publik

Tidak hanya itu, covid-19 yang memusnahkan puluhan juta jiwa manusia, dan terus mengancam keberadaan populasi manusia merupakan akibat langsung dari ekonomi-politik neoliberalisme. Kaum kapitalisme neolib menciptakan bahaya (covid-19), dan membentengi diri dengan melakukan penyangkalan. Kemudian mereka datang alih-alih menangani bahaya (covid-19), justru meningkatan bahaya-bahaya baru di dalam masyarakat.

 Menurut Wallace dalam bukunya Matinya Epidemilog: Ekspansi Modal & Asal-Usul Covid-19, terj. A. Faricha Mantika (Yogyakarta: Penerbit Independen, 2020), struktur politik neoliberalisme menciptakan kedaruratan, dan kemudian menghibur masyarakat dunia dengan retorika kontradiktoris. Hal ini tampak dalam bidang hubungan ekosistem modal, ekspansi dalam industri-industri peternakan dan agrobisnis. Rob Wallace menyebut ini sebagai “teater pandemi”.

Peran Negara & Neoliberalisme

Kinseng membandingkan peranan negara, dan neoliberalisme dalam mengurus keselamatan, kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan sosial masyarakat. Peranan negara dan neoliberalisme tentu saja jauh berbeda. Untuk konteks Indonesia, tujuan bernegara tertera dalam Pembukaan UUD 1945: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaan abadi dan keadilan sosial.

Negara berperan mengatur, memperjuangkan, mengendalikan, melindungi, dan mengembangkan potensi manusiawi seluruh warga negaranya (universalitas), sedangkan neoliberalisme lebih mengutamakan kepentingan kelompok kecil (parsialitas) demi peningkatan profit dengan akumulasi melalui perampasan [accumulation by dispossession] (David Harvey, 2007: 116;159-165;200).

Akumulasi melalui perampasan ini, kata Harvey, terdiri dari empat fitur utama: (1) Privatisasi dan komodifikasi;(2) Finansialisasi; (3) Manajemen dan manipulasi krisis; dan (4) Redistribusi Negara. Dengan demikian demokrasi sewaktu-waktu dapat dibatalkan demi menyelamatkan modal [kapitalisme neoliberal], yang berorientasi kompetisi pasar dan perluasan wilayah produksi dari perusahaan (Alexander Jebadu, 2021:242; I. Wibowo, 2006:156).

Tak terkecuali di tengah pandemi covid-19 ini, masyarakat Indonesia didaruratkan  oleh karena disahkannya UU Ciptaker tanpa intervensi dan partisipasi publik demokratis (bdk. analisis yang dilakukan oleh Astried Permata, 2021; Deda R. Rainditya dan Sandry Saraswati, 2021; dan Gede Ngurah Rsi Suwardana, 2021). UU Ciptaker ini disusun, dan disahkan secara mendadak di tengah masyarakat hiruk pikuk menghadapi pandemi, karena disokong oleh kepentingan pasar bebas (neoliberalisme).

Indonesia Menolak Neoliberalisme?

Indonesia, yang menganut sistem demokrasi (politik dan ekonomi), tentu saja bertolak belakang dengan proyek neoliberalisme yang bersifat individualisme, perdagangan bebas, pasar bebas, intervensi negara yang terbatas, kesejahteraan universal harus diminimalisasi, dan pengurangan pajak untuk dunia bisnis, dan industri (Georg Ritzer, 2014:1018-1020). Lebih tepatnya, neoliberalisme adalah musuh abadi dari demokrasi. Neoliberalisme terang-terangan sangat anti-demokrasi (Alexander Jebadu, 2021:238-242; dan I. Wibowo, 2006:152-155).

Baca juga :  Reformasi Dikorupsi dan Gerakan Kaum Muda Progresif

Indonesia menolak sistem free fight liberalism yang memungkinkan eksploitasi terhadap hak-hak asasi manusia, melumpuhkan sistem demokrasi, dan bangsa lain; Menolak sistem etatisme, yang lebih mementingkan negara daripada rakyatnya; dan model pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat (T. Gilarso, 1986:173).

Meskipun demikian, Indonesia sesungguhnya tidak bebas dari pengaruh kapitalisme neoliberal. Perkembangan kapitalisme neoliberal di Indonesia dapat dibaca pada buku-buku, seperti I. Wibowo dan Francis Wahono (Ed.), Neoliberalisme (Jakarta: Francis Wahono Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas Yogyakarta, 2003); Khudori, Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan (Yogyakarta: Resist Book, 2004); Goen Husain Pontoh, Malapetaka Demokrasi Pasar (Yogyakarta: Resist Book, 2005); Awalil Rizky dan Nasyith Majidi, Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia (Jakarta: EPublishing, 2008); Syafaruddin Usman dan Isnawati, Neoliberalisme Mengguncang Indonesia (Jakarta: Penerbit Narasi, 2009); Ferdi Hasiman, Monster Tambang Gerus Ruang Hidup Warga Nusa Tenggara Timur (Jakarta: JPIX-OFM Indonesia, 2014); Dr. Alexander Jebadu, SVD, Drakula Abad 21 (Maumere: Penerbit Ledalero, 2021); Dr. Alexander Jebadu, Dalam Moncong Neoliberalisme (Maumere: Penerbit Ledalero, 2021), dan masih ada begitu banyak publikasi lainnya baik dalam bentuk buku, jurnal, artikel maupun berita-berita pada media massa. Kesemuanya itu menggambarkan sistem ekonomi neoliberalisme telah beroperasi, dan terus berkembang di Indonesia.

Akan Ambrukkah Neoliberalisme?

Ada drakula yang sedang menghantui, dan merusak dunia abad ke-21 ini. Menurut Alexander Jebadu (2021:126-299) drakula itu tampak dalam sistem ekonomi neoliberal. Jauh sebelum Alexander Jebadu, Karl Marx dalam Capital: A Critique of Political Economy Volume I (1867, 1887, 1992:233) memberi julukan metaforis, yakni vampir kepada sistem ekonomi yang menjunjung tinggi kapital dengan merusak bumi, dan mayoritas masyarakat miskin melalui eksploitasi tanpa kendali, meski dengan mengangkangi klaim-klaim hak-hak asasi manusia, penjajahan kultural, hegemonisasi, dan manipulasi kesadaran.

Pandemi covid-19, pelanggaran hak asasi manusia, pembabatan hutan, proyek geothermal, dan pelbagai proyek lainnya yang mengancam keberlangsungan hidup umat manusia merupakan akibat langsung dari agenda ekonomi-politik neoliberlisme ini. di tengan pandemi covid-19 pun sistem ekonomi-politik neoliberalisme tidak pernah gagal, apalagi disimpulkan sudah mati.

Baca juga :  Colin Crouch tentang Post-Demokrasi

 Neoliberalisme tetap langgeng dengan cara kerjanya, yang tidak hanya mencekik, mencengkeram, dan mengancam keberadaan masyarakat, tetapi juga memusnahkan manusia. Mengutip Sam Gindin (2021), Coen Husain Pontoh (2021) menulis, “kegagalan ini bukan karena kapitalisme tidak bisa mengakumulasi profit sebesar-besarnya bagi para kapitalis dan para stakeholder-nya, atau karena kapitalisme tidak mampu berpenetrasi hingga ke sudut-sudut terpencil di seluruh belahan bumi, tapi kegagalan dalam menghadapi pandemi ini justru akibat dari kesuksesan kapitalisme itu sendiri”.

Neoliberalisme menegakkan liberalisasi dan/atau globalisasi ekonomi segelintir orang superkaya (ingat beberapa kredo dasar sistem ekonomi neoliberal di atas), namun ia juga menelikung kebebasan masyarakat pada umumnya, dan menyumbat demokratisasi.

 Seperti vampir, drakula (neoliberalisme) hidup hanya dengan mengisap darah manusia dan planet bumi ini, dan drakula (neoliberalisme) semakin hidup bila ia semakin banyak manusia dan planet bumi ini yang dilumpuhkan, diisap, dan dirusakkannya.

Wallace ketika diwawancarai oleh Ashley Smith (2020) berkomentar, “that such outbreaks are not an accident but the result of a capitalist system that puts profit before the environment, human beings, and public health. What a radical notion: that our social systems impact our epidemiologies!” Justru karena kekuasaan neoliberalisme, kaum kapitalis neoliberal semakin mudah memperluas ekspansi kapital, dan melancarkan agendanya.

Orang-orang, seperti juga Kinseng, yang menyimpulkan neoliberalisme sudah ambruk di tengah pandemi covid-19 terobsesi dengan realitas yang dimanipulasi ini. Ramalan akan ambruknya neoliberalisme ini pernah dibuat oleh Marx. Marx meramalkan akan adanya suatu konflik yang semakin sengit antara kaum proletar dan kapitalis, yang berakhir dengan kemenangan tak terelakkan oleh kaum proletar, dan sistem kapitalis pasti runtuh.

Apa yang terjadi? Kaum kapitalis dengan semangat fundamentalisme pasar bangkit kembali dengan kemenangan yang gemilang sampai saat ini. Demikian neoliberalisme tidak akan ambruk, justru muncul dalam bentuk baru ke permukaan (Todung Mulya Lubis, “Kapitalisme Kebablasan”,Kompas, 9/11/2021)

Bagaimana pun, saya mengapresiasi Kinseng atas usaha intelektualnya mengangkat kembali ke ruang publik terkait dengan neoliberalisme. Indonesia sedang tidak baik-baik saja, justru ketika pasar menjadi prefrensi kebijakan publik, ekonomi, dan politik negara.


Melki Deni

Mahasiswa STFK Ledalero-Maumere-NTT

Komentar

Berita Terkait

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?
DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?
Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Berita ini 388 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA