(Catatan atas Kenaikan Tarif Masuk ke TNK Komodo)
Indodian.com – Belakangan ini publik Flores digegerkan oleh wacana kebijakan ‘kenaikan tarif masuk ke Taman Nasional Komodo’. Sebagaimana beredar dalam ruang publik, kebijakan ini berisi regulasi baru bahwa mulai 1 Agustus 2022 mendatang tarif masuk ke taman nasional tersebut meningkat secara drastis: dari 150 ribu hingga menjadi 3,75 juta. Tak pelak, wacana kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi NTT ini justru menaruh protes publik. Banyak pihak mengecam dan terkini melakukan aksi demonstrasi penolakan.
Tentu aksi penolakan ini beralasan mengingat kebijakan ini dinilai amat merugikan banyak pihak, terutama para pelaku wisata dan masyarakat lokal yang bergantung pada sektor pariwisata. Selain itu, kebijakan yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi NTT dengan dalil konservasi ini juga dinilai miskin koordinasi dan surplus sesat pengelolaan (bdk. www.floresa.com, diakses 18 Juli 2022).
Lantas, mengapa pemerintah tetap getol menginisiasi hal ini? Mengapa pula negara tetap bersikukuh mencanangkan regulasi teknokratis-elitis di tengah situasi ekonomi masyarakat yang masih tercekik karena pandemi?
Neoliberalisme dan Pretelisasi Negara
Wendy Brown, seorang filsuf berkebangsaan Amerika Serikat, mentematisasi neoliberalisme dengan sangat khas dan menarik. Menurut Brown neoliberalisme mesti dilihat sebagai rasionalitas politik: yang tatkala menyebar ia mampu memperluas formulasi nilai, praktik, ataupun jangkauan ekonomis ke dalam setiap dimensi hidup manusia.
Baginya, neoliberalisme adalah rasionalitas politik yang mendiseminasi kekuataan pasar ke dalam seluruh ruang lingkup kehidupan. Sehingga, dengan itu segala situasi terkondisi secara ekonomis. Demikian pula, manusia dan seluruh tata ruang keberadaanya dibentuk dan dinilai seturut primat kebenaran pasar (Brown, 2015:10).
Bertolak dari pengertian ini, Brown menyadari bahwa sejauh ini neoliberalisme beroperasi secara halus dengan seperangkat jejaring dan teknik kendali yang sangat canggih. Selain merekonstruksi subjek, rasionalitas politik neoliberali mampu mekonfigurasi negara dengan teknik kuasa pengendalian yang dahsyat.
Negara diatur dan ditahta dengan teknik yang sedemikian canggih hingga ia pun menjadi agen legitimasi pasar. Sehingga demikianlah menurut Brown bahwa negara yang direkonstruksi dalam rasionalitas politik neoliberal akan menempatkan pasar sebagai basis utama. Ia akan terbuka pada tuntutan pasar. Selain itu, ia akan bertindak secara kalkulatif-ekonomis dan menjadikan kriterium pasar sebagai rujukan dalam setiap penerapan kebijakan (Brown, 2005:41-42).
Tampaknya peringatan Brown amat relevan saat ini. Menurut penulis, seraya mengacu pada Brown, wacana kebijakan kenaikan tarif masuk ke kawasan TNK Komodo adalah representasi rekonfigurasi negara di dalam kuasa rasionalitas politik pasar (neoliberalisme). Kebijakan kontroversial yang direstui oleh pihak pemerintah provinsi NTT ini adalah sinyalemen dari kedigdayaan kuasa neoliberalisme yang menginstrumentalisasi negara. Dalam kuasa rasionalitas politik neoliberal seperti ini, negara dipretelisasi, dibentuk sedemikian rupa untuk menjadi abdi pasar.
Karena itu, negara yang sedang direcoki logika neoliberal ini amat ‘berhasrat’ untuk menempatkan pasar sebagai ‘panglima keputusan’. Ia akan menjadikan pasar sebagai rujukan kebenaran dalam setiap pengambilan kebijakan. Selain itu, ia juga melegitimasi pasar dengan berupaya mendiseminasi sekaligus memfasilitasi radikalisasi nilai-nilai ekonomis secara praksis.
Karena itu, amat boleh jadi, alih-alih mengatasnamakan dalil konservasi, regulasi yang dicanangkan oleh pemerintah provinsi NTT adalah penanda (signifier) konkret bagaimana negara sesungguhnya didikte pasar. Negara sebetulnya sedang dikuasai oleh logika neoliberal, sehingga amat mahfum ia secara ambisius merestui kebijakan legitim pasar (perusahaan).
Dikte Pasar dan Erosi Kedaulatan Diri
Lantas, apa konsekuensi dari pretelisasi negara di dalam kuasa rasionalitas politik neoliberal seperti itu? Apa risiko konkret dari pengoperasian kuasa rasionalitas politik neoliberal dalam lanskap bernegara? Menurut penulis, negara yang direkonstruksi dalam rasionalitas politik neoliberal seperti itu akan mengalami erosi kedaulatan diri. Ia akan menanggalkan kesejatiannya sebagai agen pelindung warga negara.
Demikian pun, ia akan mengangkangi otentisitas dirinya sebagai abdi rakyat. Sebab yang terjadi ia justru diarahkan untuk menjadi abdi pasar. Ia lebih cenderung memfasilitasi kepentingan hak-hak milik pribadi (privatisasi), memberlakukan deregulasi, dan memproduksi keputusan yang anti-demokratis.
Tentu, hemat penulis, kesan yang sama juga terjadi dalam kontroversi seputar regulasi kenaikan tariff masuk ke TNK Komodo. Negara yang disesaki hasrat pasar semacam itu sebetulnya sedang mengalami ‘erosi keutamaan’. Ia mengalami penjungkirbalikan identitas: ‘dari pelayan rakyat menjadi hamba pasar’. Demikian pula, ia mengalami distorsi otentisitas diri, sebab alih-alih dianggap sebagai institusi penjamin hak-hak positif dan kesejahteraan masyarakat, negara justru bertindak dengan mengangkangi kepentingan rakyat (Madung, 2013:85) .
Hal ini tentu beralasan. Sebab kebijakan kenaikan tarif masuk tersebut adalah ekspresi penuh pengabaian negara terhadap masyarakat lokal. Alih-alih hadir sebagai agen legitim demos, melalui rangkaian kebijakan tersebut, negara sebetulnya sedang mengucilkan usaha ‘rakyat kecil’ yang amat bergantung pada sektor pariwisata. Sehingga, hemat penulis, negara sebetulnya sedang mengalami erosi kedaulatan diri. Ia mengalami krisis imajinasi politis: sebab ia lebih nyaman untuk tunduk sujud di bawah langit pasar, sembari menjarak dari kepentingan rakyat.
Selain itu, erosi kedaulatan negara itu juga diafirmasi dalam model mekanisme produksi kebijakan yang tidak akomodatif. Dalam kebijakan tersebut, negara lebih gemar, memberlakukan kebijakan yang diskriminatif dan miskin koordinasi. Ia lebih gemar merujuk pada tuntutan pasar, sembari abai terhadap prinsi-prinsip demokratis. Ia lebih suka berjibaku dengan perusahaan, sembari mengangkangi kekuataan dasariah demokrasi. Sehingga, menyitir Noam Chomsky, kebijakan tersebut adalah sinyalemen minimalisasi keberpihakan negara akibat penerapan skema prinsip-prinsip politik dan ekonomi neoliberal (Chomsky, 2015:88).
Di tengah demonstrasi penolakan rakyat terhadap kebijakan kenaikan tarif masuk ke TNK Komodo, hemat penulis, sudah selayaknya negara untuk kembali ‘meradikalisasi keutamaan diri’. Negara (pemerintah provinsi NTT) mesti melampaui ‘dikte pasar’ dengan sedini mungkin untuk segera membatalkan kebijakan kenaikan tarif masuk ke TNK Komodo. Karena itu, negara harus kembali ‘memeluk kesejatiaan diri’. Sebab kalau tidak demikian, seruan WS Rendra benar:
“Bangsa kita ini seperti dadu,
Terperangkap di dalam kaleng utang,
Yang dikocok-kocok oleh ‘bangsa adikuasa’,
Tanpa kita berdaya melawannya”.