Penulis : Maria Goreti Ana Kaka
Indodian.com – Korupsi tidak hanya terkait dengan uang, seperti yang selama ini banyak dipahami. Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, apa pun bentuknya. Ada keterbatasan dalam hukum pidana karena tidak semua tindak korupsi bisa dibawa ke meja hukum. Oleh sebab itu, aturan hukum saja tidak cukup kalau pendidikan nilai-nilai dan etika yang ditanamkan kepada individu sejak kecil di dalam ruang personal (rumah), luput dari perhatian.
Disadari atau tidak, korupsi merampas martabat anak perempuan dan perempuan, menghalangi akses penuh mereka ke kesehatan publik, pendidikan, dan peluang pembangunan, dan dalam banyak kasus mengancam kehidupan mereka. Dalam konteks besar, hal ini merupakan hambatan utama keberlanjutan pembangunan selain membahayakan demokrasi (yang mensyaratkan kesetaraan relasi kuasa), supremasi hukum, nilai-nilai etika, moral dan keadilan. Karena demokrasi mensyaratkan kesetaraan, maka ketidaksetaraan, khususnya relasi kuasa yang timpang atas dasar gender) berkaitan erat dengan tingkat korupsi.
Baca Juga : Milenial dan Pendidikan Vokasi
Baca Juga : Kemenangan Barcelona di Mata Seorang Madridista Setengah Moderat
Korupsi yang merambah seluruh sektor kehidupan, baik di ruang domestik maupun publik (segala sesuatu yang terjadi di ruang publik merupakan ekstensi dari ruang domestik) memperburuk dinamika kekuasaan ini. Perempuan memandang dan mengalami korupsi secara berbeda dari laki-laki. Mereka lebih menderita akibat korupsi karena hubungan kekuasaan yang tidak setara. Dalam berbagai budaya, laki-laki adalah ‘raja’ di rumah. Dia boleh melakukan sesukanya, membelanjakan uang untuk rokok, minum dan hiburan lain, sementara uang belanja dikurangi. Di meja makan, laki-laki atau suami mendapat potongan daging yang besar, anak perempuan dan istri mendapat sisanya. Bayangkan kalau ibunya sedang hamil. Di dalam rumah, masih banyak perempuan tidak memiliki hak dalam pengambilan keputusan terhadap keluarga dan dirinya.
Baca Juga : Perjalanan Panjang El Barca Sebelum Buka Puasa di La Cartuja
Baca Juga : Catatan Pendek Pasca Pekan Berat Real Madrid
Di tingkat warga, korupsi ini berkaitan dengan penyuapan atau “uang jasa” atau ‘pungutan liar’ dalam pelayanan birokrasi. Di Indonesia, survey Lembaga Survei Indonesia- Indonesian Corruption Watch (LSI-ICW) tahun 2018 menunjukkan bahwa potensi pungli tertinggi ada di kepolisian. Dalam pengurusan kelengkapan administrasi warganegara, dari 2.000 responden, 46 di antaranya mengaku memberi uang saat mengurus KTP, KK, Akta Kelahiran dan lain-lain. Alasannya agar urusannya cepat selesai (61%), tidak dipersulit (14%), menganggap petugas biasa meminta dan warga biasa memberi (10%), sedekah (8%), dan uang yang diminta tidak seberapa jumlahnya (4%). Perempuan menanggung pengeluaran tak terduga yang mengacaukan anggaran rumah tangganya, tanpa menyadari bahwa memberi ‘uang jasa’ itu merusak integritas kedua pihak.
Baca Juga : Masyarakat Risiko, Terorisme, dan Kemanusiaan Kita
Baca Juga : Colin Crouch tentang Post-Demokrasi
Ada bentuk korupsi yang tak banyak dipahami, seperti pemerasan untuk mendapatkan pelayanan seks. Kekerasan seksual berbasis gender ini terjadi di mana-mana, di lembaga-lembaga terhormat. Ada banyak contohnya. Misalnya, kasus di DPR, BPJS, universitas dan lain-lain, di Lombok antara kepala sekolah dan guru. Yang pasti, dilakukan oleh orang yang posisinya lebih kuat. Terakhir kasus di Lampung, anak usia 14 tahun yang diperkosa pamannya, dititipkan di Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), malah kembali diperkosa oleh Kepala P2TP2A. Belum lama ini juga ada berita mengenai anak laki-laki yang mengalami pelecehan seksual di panti asuhan di Depok, juga di lingkungan gereja di Depok. Kalau kasusnya terbuka, ‘mantra’ pelaku adalah ‘mau sama mau’. Di sini kita lihat relasi kekuasaan yang sangat timpang, yang membuat korban bungkam, sama sekali tidak berdaya.
Berdasarkan hasil penelitian Transparency Internatonal dalam Global Corruption Barometer 2020, Indonesia merupakan negara dengan tingkat sekstorsi tertinggi di Asia (18%) diikuti Sri Lanka (17%) dan Thailand (15%), dua kali lipat di atas rerata Asia (8%). Sekstorsi atau sextortion merupakan penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan seksual dan seringkali terjadi sebagai imbalan atas layanan publik, seperti layanan kesehatan atau pendidikan. Lebih dari setengah korban pemerasan seksual adalah perempuan pengakses layanan publik.
Baca Juga : Merawat Simpul Empati
Hal sama terjadi di hampir semua negara. Di Botswana misalnya, 67% dari 560 siswi pernah mengalami pelecehan seksual oleh seorang guru. Di Amerika Latin, Peru, murid melaporkan 169 guru yang dituduh melakukan pelecehan seksual. Di universitas-universitas di Amerika dan Inggris juga di Indonesia, hal yang sama terjadi. Universitas adalah rumah yang aman bagi para predator seks. Bentuknya macam-macam, dari meraba sampai memperkosa, juga melalui pesan-pesan bernada godaan seksual. Universitas merupakan lembaga terhormat yang menyimpan begitu banyak pelaku kejahatan seksual.
Pemerasan seksual atau sexual extortion merupakan salah satu bentuk korupsi berbasis gender yang mengerikan, dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan seksual. Fenomena ini merupakan ancaman bagi perempuan dan anak perempuan di mana pun. Ironisnya, pemerasan seksual jarang dimasukkan dalam definisi korupsi, meskipun dokumentasi bukti-bukti menunjukkan bahwa perempuan dan anak perempuan rentan dipaksa memberikan pelayanan seksual dalam upaya memperoleh haknya atas pengetahuan, pendapatan, karier di ruang publik.
Di lain sisi, hubungan antara korupsi dan angka kematian ibu melahirkan (AKI) yang lebih tinggi juga telah didokumentasikan dengan baik. Penelitian oleh Transparency International pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa AKI meningkat secara eksponensial di negara-negara dengan tingkat penyuapan yang lebih tinggi.
Korupsi memperburuk dinamika kekuasaan, membatasi akses perempuan ke sumber daya publik, informasi dan pengambilan keputusan, sehingga memperkuat diskriminasi sosial, budaya, dan politik. Proses dari berbagai strategi penanggulangan kemiskinan juga meninggalkan perempuan. Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Nasional (SPKN) atau Poverty Reduction Strategy Papers (PRSP) di Jakarta pada awal bulan April tahun 2003 misalnya, mengabaikan keberadaan perempuan, dengan penegasikan pengalamannya. Definisi kemiskinan dalam rancangan-rancangan kebijakan penghapusan kemiskinan dan berbagai kebijakan lain juga tidak mengintegrasikan situasi khusus perempuan dan hanya mencapai tingkat rumah tangga, tetapi tidak merefleksikan pola di dalam rumah tangga atas dasar relasi kuasa berbasis gender.
Dalam soal data saja, misalnya, statistik resmi jumlah perempuan kepala keluarga (Pekka) adalah 13%, tetapi data Pekka dari lapangan adalah 25%. Jadi, ada yang tersembunyi dan luput dari perhatian kita semua sebenarnya. Pemerintah menggunakan definisi ‘rumah tangga’, sementara Pekka memakai definisi ‘keluarga’. Dalam satu rumah tangga di Indonesia, terutama rumah tangga miskin, seringnya terdapat lebih dari satu keluarga. Ada yang sampai tiga keluarga dalam satu rumah tangga dan perempuan yang menjadi kepala keluarga biasanya tinggal dalam satu rumah tangga bersama kerabat atau orangtuanya. Mereka ini tidak dihitung. Ini fatal sekali.
Contoh lain, waktu terjadi gempa di Lombok, ibu-ibu Pekka bercerita ada satu rumah tangga dimana bapaknya masih hidup dan punya tiga anak perempuan dan satu anak lelaki. Tiga anak perempuan itu cerai semua dan kembali tinggal bersama bapaknya. Anak yang lelaki bangun rumah sendiri di pekarangan rumah bapaknya. Gempa menyebabkan rumah itu roboh. Lalu ada bantuan tanggap darurat. Seluruh keluarga itu dihitung hanya satu dan mendapat satu jatah bantuan. Janda dan anak-anaknya tidak mendapat jatah bantuan, padahal mereka adalah perempuan kepala keluarga. Ibu-ibu Pekka inilah yang berani menolak pemotongan dana operasional 25% oleh petugas Penanggungjawab Operasional Kegiatan di Kecamatan, ketika dana hendak dicairkan. Keberanian untuk mempertahankan integritas itu didapat dan dikuatkan melalui pendampingan dan advokasi panjang.
Kalau rancangan-rancangan kebijakan terkait diloloskan dan ditetapkan sebagai dokumen negara, yang akan terjadi adalah malpraktik pembangunan. Ini adalah kultur yang menghancurkan. Harus ada perubahan radikal berfokus pada perspektif dan analisis gender. Selain itu, hak-hak sipil perempuan seringkali tidak terlindungi. Perempuan diperlakukan tidak setara di hadapan hukum. Dalam masyarakat di mana sistem penegakan hukumnya korup, maka anak perempuan, perempuan, dan minoritas lainnya sangat terdampak ketika berurusan dengan masalah pernikahan, perceraian, hak asuh anak, kebebasan finansial, akses kepada hak atas tanah dan properti, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan manusia, tuduhan perzinahan dan pemerkosaan, antara lain.
Kesetaraan gender merupakan syarat penting untuk pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif. Hal tersebut hanya bisa dicapai kalau ada jaminan kesetaraan hak dan peluang. Selama korupsi masih ada — baik dalam bentuk distorsi fiskal atau manajemen yang buruk atau keduanya — ketidaksetaraan akan terus merusak konstruksi kekokohan dan kesejahteraan masyarakat. Terlepas dari bukti korelasi antara korupsi dan ketidaksetaraan gender, sebagian besar kebijakan gagal menekankan dan mengatasi keterkaitan tersebut. Perspektif gender atau kesetaraan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki dan dengan ragam gender lainnya, sangat penting untuk terus memerangi korupsi. Strategi dan pembuatan kebijakan yang efektif membutuhkan analisis yang berbeda tentang dampak korupsi terhadap laki-laki dan perempuan.
Menurut penelitian Iris Center di University of Maryland, parlemen dengan lebih banyak anggota perempuan berkorelasi dengan tingkat korupsi yang lebih rendah. Penelitian juga menunjukkan bahwa perempuan anggota parlemen cenderung berbicara lebih banyak untuk kepentingan komunitas dan mempromosikan undang-undang hak perempuan serta hak anak. Meski demikian hal itu memang tak bisa diandaikan.
Klaim bahwa perempuan kurang rentan terhadap korupsi dibandingkan laki-laki masih selalu diperdebatkan. Kita punya banyak contoh. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa peningkatan keterlibatan perempuan di dalam pengambilan keputusan publik — bukan sebagai pelaku tetapi sebagai agen perubahan — sangat penting untuk menyelesaikan berbagai masalah. Kaitan antara kesetaraan gender dan korupsi menjadi perhatian utama dalam pembuatan kebijakan, peraturan dan praktik untuk memberantas korupsi endemik di berbagai negara. Dengan kata lain, memberantas korupsi berarti mengadopsi pendekatan interdisipliner, pendekatan holistik yang berperspektif relasi kuasa atas dasar gender.
Praktik politik di ruang publik, khususnya di dalam legislatif, saat ini bisa dihubungkan dengan power over. Kekuasaan sebagai power to yang merupakan kekuatan positif (dari kekuasaan) untuk mencapai keutamaan dalam berpolitik seperti yang ditawarkan pakar etika politik dari AS, Jean Bethke Elshtain, belum menyentuh banyak politisi. Di Indonesia, hal itu lebih banyak dipraktikkan oleh perempuan anggota legislatif lintas partai yang tergabung dalam Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia (KPPI) atau perempuan-perempuan yang tergabung dalam Maju Perempuan Indonesia (MPI).
Media Sebagai Wadah Advokasi
Tak banyak pekerja media paham bahwa perempuan tidak monolitik. Mindset tentang kedudukan perempuan, ditambah kepentingan modal (dalam upaya perebutan audiens), berpotensi membuat mundur perjuangan merebut kesetaraan kedudukan perempuan di bidang politik. Semua ini masih ditambah dengan beberapa rancangan UU yang memicu polarisasi antara perempuan, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang memicu polarisasi antara yang menerima dan menolak di antara perempuan tokoh. Semua memiliki alasan, termasuk yang keras menyuarakan alasannya atas nama agama.
Namun pencitraan antara perempuan ’baik-baik’ dan ’tidak baik, liar’ terus menghuni ruang bawah sadar banyak orang. Maka, ketika seorang politisi perempuan tersangkut dalam tindak pidana, termasuk korupsi, dia dilihat sebagai ’double evil’. Pertama, karena dalam pandangan banyak orang, perempuan masih dianggap sebagai ’evil’, sebagai pengganggu, sebagai perempuan liar. Dengan melakukan tindak pidana, mereka dianggap sebagai ’double evil’. Seluruh wilayah pribadinya dijadikan milik publik. Memang beberapa media kemudian mencoba mengangkat persoalan itu dengan memperlihatkan sisi lain perempuan yang bersangkutan; sebagai ibu yang baik, pandangan anak-anak yang orang sekitar, dan lain-lain, dan lain-lain. Kedua cara itu sebenarnya sama-sama tidak dianjurkan dalam praktik jurnalistik, dan bisa disebut sebagai ’bad taste journalism’. Ironisnya, inilah yang paling banyak dipraktikkan.
Dalam kajian kontemporer tentang perempuan, media dan politik memberikan perhatian pada ’penghancuran simbolik’ atau symbolic annihilation (Tuchman, 1978) untuk menjelaskan bagaimana media mendukung stereotip perempuan, dengan menyepelekan, menegasikan dan memarjinalkan pengalaman perempuan, baik dalam kualitas mau pun jumlah, tidak memahami bahwa perempuan bukan kelompok monolitik.
Di luar karut-marut yang terjadi, media sebenarnya mitra yang paling potensial untuk memperjuangkan demokrasi (substansial), kalau kebebasan pers terus dijamin. Salah satu peran penting dari media dalam isu keterwakilan perempuan adalah bagaimana media dapat mengubah sikap publik terkait kesetaraan gender dan meningkatkan kesadaran tentang isu gender; khususnya kesadaran tentang relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, juga di antara publik perempuan.
Yang paling penting terkait target keterwakilan perempuan, khususnya di lembaga pelayanan publik atau public service, adalah reformasi sistem kepartaian agar sistemnya menjadi lebih bersih, transparan, bebas nepotisme dan tanpa politik uang mulai dari proses perekrutan. Integritas pribadi dan politik, harus dibangun bersama oleh perempuan dan laki-laki. Hanya dengan itulah, korupsi bisa dihambat, atau bahkan mungkin bisa dihapus dari sejarah.