Pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang berkaitan dengan urusan domestik seperti mencuci, memasak, dan membersihkan rumah. Sejak dahulu, pekerjaan ini dianggap sebagai penunjang, alamiah dan bersifat pelengkap. Pekerjaan rumah tangga banyak dilakukan oleh perempuan sebagai ibu rumah tangga, gadis, dan remaja wanita. Seiring dengan kebutuhan dan permintaan yang bersamaan dengan lajunya arus ekonomi masyarakat, pekerjaan rumah tangga menjadi pekerjaan sektor jasa berbayar. Namun, persepsi tentang pekerjaan rumah tangga ini tidak berubah, apalagi berkaitan dengan perlindungan bagi pekerjanya.
Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 tahun 2015 tentang perlindungan pekerja rumah tangga (PRT) adalah orang yang bekerja pada orang perseorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima upah dan atau imbalan dalam bentuk lain. Ruang lingkup pekerjaan rumah tangga ini mencakup pekerjaan sebagai pengasuh anak, perawat keluarga yang sakit, lanjut usia, tukang kebun, dan pengamanan rumah tangga termasuk dalam pekerja rumah tangga.
Dalam banyak peristiwa, PRT seringkali mengalami hubungan kerja yang tidak jelas, aturan kerja yang tidak adil, upah yang minim dan jam kerja yang melebihi batas kewajaran. Meskipun unsur kerja telah diatur dalam aturan pemerintah tentang ketenagakerjaan yakni adanya upah dan adanya pemberi kerja yang jelas terpenuhi, tetapi hingga kini masih mengalami hal yang sama. Pada umumnya, Permenaker belum memperhatikan secara serius mengenai hak-hak mereka. Banyak pekerja rumah tangga menjadi tenaga kerja wanita (TKW) dan memutuskan pergi menjadi pekerja rumah tangga di negara lain seperti Malaysia, Hongkong, dan masih banyak negara lain.
Sebagian besar pekerja rumah tangga tersebut didominasi oleh perempuan yang berasal dari keluarga ekonomi kurang mampu. Dalam kondisi tersebut, mereka dituntut untuk menjadi tulang punggung keluarga, membantu keluarga di kampung, membiayai sekolah anak, dan urusan keluarga lainnya. Tingginya kebutuhan keluarga membuat mereka memilih untuk merantau ke luar negeri. Rendahnya sumber daya manusia dan pelbagai tawaran iming-iming gaji di luar negeri membuat mereka seringkali terjebak sebagai pekerja ilegal. Konsekuensinya, mereka rentan mendapat kekerasan fisik bahkan meninggal dunia di luar negeri.
Di Indonesia sendiri, pekerja rumah tangga masih dikecualikan dari perlindungan yang sama sebagaimana pekerjaan lain pada umumnya. Akibatnya posisi pekerja rumah tangga ini rentan mengalami diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, perbudakan dan penyiksaan. Perlindungan yang diberikan pun masih sangat minim. Melihat banyaknya ketidakadilan kepada PRT, beberapa organisasi masyarakat sipil menginisiasi perumusan RUU PPRT ini. Data dari WWW.dpr.go.id tahun 2004, RUU ini telah diakui sebagai RUU inisiatif DPR RI. Sejak saat itu RUU PPRT masuk dalam daftar Program Legislatif Nasional (Prolegnas) yang akan dibahas bersama.
Pada tanggal 28 Agustus 2023 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas) Perempuan melakukan siaran pers mendorong pengesahan RUU PPRT (https://Komnasperempuan.go.id). “Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga: Penting dan Mendesak”, demikian bunyi siaran pers Komnas Perempuan. Dalam siaran pers tersebut Komnas Perempuan juga menanggapi aksi Aliansi Mogok Makan untuk RUU PPRT di depan gedung DPR RI tertanggal 14 Agustus 2023 sebagai bentuk tuntutan yang patut diapresiasi agar DPR RI segera melanjutkan pembahasan mengenai RUU PPRT ini.
Namun, hingga kini RUU PPRT belum menjadi undang-undang. Sudah 20 tahun RUU PPRT menjadi hiasan meja kerja DPR. Hal ini menimbulkan beragam pertanyaan yang muncul. Mengapa RUU PPRT belum menjadi UU? Apakah negara dalam hal ini DPR hanya memberi harapan palsu selama 20 tahun kepada PRT? Kapan Dewan Perwakilan Rakyat RI bangun dari ‘tidur’ yang lelap?
Semakin ‘lamban’ DPR, dalam mengesahkannya, maka semakin lama RUU PPRT tersebut menjadi undang-undang dan semakin banyaknya kasus ketidakadilan serta penyiksaan kepada pekerja rumah tangga. Baru-baru ini, tepatnya pada 12 Februari 2024, lima PRT yang bekerja di Jalan Jatinegara Timur II, Jakarta Timur dipaksa bekerja di luar batas oleh majikannya tanpa diberi makanan yang layak. Kelima korban seluruhnya perempuan berusia di bawah 18 tahun dan mengalami kekerasan fisik. Kasus ini belum usai diproses secara hukum, muncul kasus serupa PRT asal NTT berusia 20 tahun, melarikan diri karena tak tahan disiksa majikannya (https://jakarta.tribunnews.com).
Kasus-kasus tersebut adalah dua dari sekian banyak kasus penyiksaan yang terjadi pada perempuan PRT. Mirisnya kasus-kasus tersebut terjadi di dalam negara kita sendiri. Hal ini menunjukkan rendahnya kepeduliaan dan rasa hormat terhadap sesama sebagai warga negara. Apalagi, RUU PRT belum mendapat status hukum yang legal. Lalu apa yang membedakan perlakuan majikan-majikan di Indonesia dengan majikan-majikan yang berada di negara lain saat PRT dan TKW/TKI bekerja pada mereka?
Berbagai kasus yang dialami PRT kini menjadi fenomena sosial. Di satu sisi dapat menjadi pekerjaan bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan pendidikan, tetapi jika dilihat dari sisi lain PRT rawan mendapatkan perlakuan yang kurang baik, karena salah satu faktornya ialah belum adanya regulasi yang menjadi payung hukum bagi PRT.
Rancangan undang-undang PRT penting disahkan menjadi UU agar memberikan perlindungan hukum bagi mereka secara khusus berkaitan dengan hubungan kerja yang mencakup perintah, upah, waktu kerja, dan perlindungan lainnya. Maka harapan saat ini ialah mendorong Komnas Perempuan, masyarakat sipil dan media massa agar terus memperjuangkan hak-hak PRT dengan terus menerus menyuarakan RUU PPRT tersebut. Hal ini penting agar DPR segera bangun dari ‘tidur’ yang lelap untuk membahas dan mengesahkan RUU tersebut.
Penulis : Sr. Herdiana Randut, SSpS