Indodian.com – Ketika berbicara politik perempuan di Indonesia, maka kita disuguhkan dengan beberapa persoalan yang selalu berkutat pada tempat yang sama. Pertama menguatnya budaya patriarki, kedua doktrin agama yang masih konservatif, ketiga, hegemoni Negara yang hingga kini masih dipandang sebagai negara kaum laki-laki (Raharjo, 2014).
Penyakit kronis ini, telah menghadirkan penindasan pada perempuan selama ini, dan sudah pasti, reproduksi dari penindasan tersebut menampar wajah perempuan dalam berbagai bentuk hal seperti, eskplotasi, marjinalisasi, ketakberdayaan, imperialisme kultural dan kekerasan, (Young, 1990).
Faktum persoalan yang menghimpit perempuan misalnya muncul beberapa simptom aneh pada beberapa warsa belakangan. Sebut saja penolakan perempuan dalam berpolitik melalui tagar #Indonesiatanpafeminis. Selain itu juga gejala yang yang sedang viral saat ini yakni beredarnya poster-poster diskusi online via zoom meeting tanpa keterlibatan perempuan sebagai pembicara โ hingga kekerasan seksual pada perempuan.
Kondisi ini setidaknya mendorong kita, betapa penting melakukan penelusuran terhadap jejak-jejak historis politik perempuan di Indonesia. Rute ini ditempuh sebagai cara untuk mengetahui tentang kontribusi perempuan dalam sejarah besar bangsa. Selain itu juga untuk membentuk kembali (meresaphing) politik perempuan pada masa depan yang lebih baik.
Konsep ini semacam analogi busur panah. Kita memegang batang yang melengkung (limb) dan menarik tali busur dengan kuat sehingga daya pegasnya bisa menempuh jarak yang sangat jauh ke depan.
๐๐๐ฃ๐๐ค ๐๐จ๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ค ๐๐๐ซ๐๐ฆ๐ฉ๐ฎ๐๐ง ๐๐ง๐๐จ๐ง๐๐ฌ๐ข๐
Jejak politik perempuan di masa kolonialisme dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sangat signifikan. Kita disuguhkan dengan tokoh seperti Kartini yang berjuang demi melawan ketidakadilan. Dalam pemikiran Kartini bahwa lautan yang menenggelamkan itu adalah lautan diskriminasi seksual, dimana kaum perempuan ditindas oleh lelaki, manipulasi ekonomi, candu yang mempertebal kantung pemerintah namun merubuhkan moral masyarakat, (Dhakidae, 2003).
Kartini dengan cerdas mendeteksi bahwa kolonialisme merupakan bentuk kejahatan yang besar pada perempuan. Penjajahan terhadap bangsa Indonesia telah terjadi; kekerasan seksual pada perempuan, sulitnya mendapat akses ekonomi yang baik dan tentu merusak kemanusiaan bangsa Indonesia.
Mengatasi keterpurukan ini, maka manifesto dari gerakan perempuan masa kolonialisme dengan dibentuknya suatu organisasi perempuan yang dinamakan Puteri Mardika. Organisasi Puteri Mardika ini telah melahirkan pejuang-pejuang perempuan yang besar. Baik melalui perang gagasan pun juga melalui tindakan untuk menyadarkan masyarakat secara umum.
Lanskap historis ini setidaknya menegaskan bahwa gerakan perempuan pada masa kolonialisme sangat masif dan hegemonik. Sehingga beragam prespektif dalam merumuskan kemerdekaan Indonesia akhirnya tercapai. Satu hal yang kita petik dan reproduksi ke depannya adalah โnegara Indonesia bukan hanya dibentuk oleh laki-laki saja.โ
Kemerdekaan menjadi ajimat baru membangun semangat bersama. Apalagi ketika Soekarno naik sebagai Presiden pertama Republik Indonesia. Pada masa Soekarno, diskursus politik perempuan di Indonesia sangat radikal dan progres dengan munculnya diskursus politik Gerakan Wanita (Gerwani). Di sisi lain, muncul beberapa nama perempuan yang berkiprah dalam bidang politik, antara lain Kartini Kartaradjasa dan Supeni, dua nama yang terkenal dari Partai Nasional Indonesia (PNI) di Partai Nadhlatul Ulama juga ada nama Mahmuda Mawardi dan HAS Wachid Hasyim dan Salawati Daud merupakan tokoh perempuan terkenal dari Partai Komunis Indonesia (PKI) โ serta berbagai perempuan yang terlibat penuh dalam membangun Indonesia.
Kuatnya gerakan politik perempuan masa Orla akhirnya mesin politik membangun bangsa bekerja dengan baik. Dalam konteks demokrasi Orla, perempuan ditempatkan pada posisi yang sama dengan laki-laki dengan misi membangun mesin politik Indonesia yang lebih revolusioner dan progresif. Diskursus kesetaraan diartikulasikan dalam bentuk-bentuk kebijakan yang keluar oleh rezim Soekarno.
Kendati demikian, ketika Orde Baru terbentuk di bawah tampuk kekuasaan Soeharto, diskursus perempuan mengalami persoalan yang sebenarnya bersifat ambivalen. Dikatakan demikian, karena rezim Orba memberhanguskan gerakan perempuan yang sangat subversif bahkan dalam bahasa (Wirienga, 1999) terbilang mati.
Tetapi sebenarnya bukan berarti mati total seperti yang dijelaskan oleh Wirienga. Sebab, manifestasi perjuangan perempuan pada masa Soeharto muncul dalam bentuk diratifikasinya The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Ratifikasi CEDAW dilaksanakan pada 24 Juli, 1984, melalui Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Meskipun rezim otoriter Orba, namun perempuan tetap terlibat dengan mendorong ratifikasinya CEDAW di Indonesia. Lalu, kekuatan gerakan perempuan mencapai titik kulminasi dalam misi menjatuhkan rezim Soeharto. Sehingga reformasi tidak bisa terjadi, tanpa keterlibatan perempuan dari berbagai front perjuangan.
Paska reformasi, berbagai perjuangan politik perempuan muncul dalam berbagai aktivitas politik, seperti pendampingan untuk meningkatkan pendapatan perempuan miskin, pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan seksual, pendidikan politik dan advokasi hak-hak perempuan, peningkatan kesadaran gender, serta upaya-upaya menjembatani terwujudnya rekonsiliasi nasional atas dasar kemanusiaan (Wulan, 2008).
Hingga saat ini, bangsa Indonesia telah menikmati perjuangan-perjuangan dari perempuan melalui beragam kebijakan di tingkat suprastruktur politik dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya yang dilakukan oleh pejuang-pejuang perempuan.
๐ ๐๐ฆ๐ข๐ง๐ข๐ฌ ๐๐๐๐๐ ๐๐ข ๐๐๐๐๐ข๐ฅ๐๐ง
Apa yang menjadi penjelasan tentang jejak keterlibatan perempuan membangun bangsa adalah fakta, bukan karangan. Napak tilas jejak politik perempuan di Indonesia dalam setiap periodesasi waktu sebenarnya sedang menceritakan kepada kita tentang suatu gerakan yang besar. Bahkan pelacakan mundur terhadap politik perempuan telah memberi kita suatu bentangan historis yang luas, bahwa perempuan di Indonesia sudah menata jalan keadilan jauh sebelum negara ini merdeka.
Sehingga fenomena yang kurang elok dan mendidik selama ini, seperti menguatnya penyakit akut misogini yang tumbuh subur di beberapa kalangan, segera dan harus diakhiri. Karena jejak bangsa Indonesia dibangun di atas telapak kaki, tangan dan lintas pikiran dari para perempuan yang kritis pada setiap masanya.
Untuk itu, mendorong gerakan perempuan secara kritis merupakan upaya meneruskan dan menciptakan jalan keadilan bagi generasi bangsa. Dengan demikian keterlibatan semua elemen dalam gerakan politik perempuan adalah gerakan untuk emansipasi โ memotong rantai ketidakadilan, meruntuhkan relasi subordinasi dan membentuk jalan pembebasan. Dan itulah gerakan feminis sebagai jalan keadilan.
๐๐ฆ๐ญ๐ข๐ฎ๐ข๐ต ๐๐ข๐ณ๐ช ๐๐ข๐ณ๐ต๐ช๐ฏ๐ช! ๐๐ช๐ฅ๐ถ๐ฑ๐ญ๐ข๐ฉ ๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ฎ ๐ฌ๐ข๐ด๐ช๐ฉ ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ด๐ข๐ฎ๐ข๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฆ๐ญ๐ข๐ญ๐ถ๐ช ๐ด๐ข๐ญ๐ช๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ฉ๐ข๐ณ๐จ๐ข ๐ข๐ฏ๐ต๐ข๐ณ๐ข ๐ฎ๐ข๐ฏ๐ถ๐ด๐ช๐ข ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฏ๐ข๐ฎ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ถ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ญ๐ข๐ฌ๐ช-๐ญ๐ข๐ฌ๐ช.