Strategi Politik Populis dan Stagnasi Demokratisasi di Indonesia

- Admin

Rabu, 20 Oktober 2021 - 17:07 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Strategi Politik Populis di Indonesia

Dalam Pilpres 2014 dan 2019, Aksi Bela Islam 212 pada 2 Desember 2016, dan Pilkada DKI pada 2017, strategi populis terepresentasi melalui beberapa hal.

Pertama, politisasi agama dan identitas. Dalam kampanye Pilpres pada 2014 dan 2019, Prabowo menyelenggarakan ijtimak ulama demi mencitrakan dirinya sebagai presiden pilihan umat Islam Indonesia.7 Dalam Pilkada DKI pada 2017, kubu Baswedan-Sandiaga mengkapitalisasi identitas Ahok sebagai representasi kekuatan minoritas yang berpotensi mendominasi kelompok mayoritas.

Selain itu, tuduhan penistaan agama dan kebencian mayoritas umat Islam terhadap Ahok dimanfaatkan kubu Baswedan-Sandiaga untuk menjegal karir politik Ahok. Bahkan Aksi Bela Islam 212 merupakan aksi kolaboratif antara kelompok Islam konservatif dan elit politik yang menghendaki kemenangan dalam kontestasi politik di Indonesia baik pada tingkat nasional maupun lokal.

Dalam rentetan kasus ini, isu nativisme dan etnis juga diangkat dan dimanfaatkan untuk merebut suara pemilih yang kental dengan sentimen identitas. Identitas Ahok sebagai keturunan Tionghoa dimanfaatkan oleh lawan politiknya untuk mengaduk emosi massa pemilih yang cenderung anti-Tionghoa dan yang menganggap Tionghoa sebagai kelas kapitalis yang menghegemoni perekonomian Indonesia sejak era Soeharto.

Kedua, retorika nasionalisme dan ekonomi kerakyatan. Dalam berbagai kesempatan kampanye Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo menginstrumentalisasi wacana nasionalisme sebagai antitesis terhadap hegemoni kekuatan asing dan ekonomi kerakyatan sebagai antitesis terhadap ekonomi neoliberal.

Hal ini misalnya, tergambar melalui misi Prabowo untuk memberdayakan masyarakat miskin dan perusahaan domestik untuk mengurangi ketergantungan terhadap kekuatan asing. Ia juga mengeritik kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai tidak konstruktif bagi bangsa Indonesia, sebab tidak ada accumulation of national wealth di Indonesia.8

Di pihak lain, retorika nasionalisme Jokowi tertuang dalam agenda akuisisi saham Freeport sebelum Pilpres 2019. Ia juga menggalakan pembangunan bercorak Indonesia-sentris sebagai substitusi atas pembangunan bercorak Jawa-sentris yang telah menimbulkan ketimpangan kesejahteraan baik fisik/material maupun nonmaterial antara Indonesia bagian barat dan timur. Hal ini menstimulasi pergerakan dukungan mayoritas masyarakat Indonesia bagian timur yang telah dicekam kekecewaan dan ketidakpuasaan mereka atas pembangunan yang tidak merata selama berdekade sejak era Soeharto.

Ketiga, kapitalisasi sentimentalitas massa rakyat. Menurut Budi Hardiman, sentimentalitas atau ‘rasa persekutuan’ (agama, suku, atau ras) yang melahirkan intoleransi atau radikalisme agama merupakan ancaman bagi fairness dalam tatanan demokratis.9 Namun, di mata para elit populis, sentimentalitas adalah komoditas politik dalam sistem demokratis.

Dengan demikian, sentimentalitas bukan lagi sebagai sesuatu yang perlu ditransformasi, melainkan modal yang diintrumentalisasi demi memenangkan kontestasi politik. Cita rasa iman umat Islam yang diklaim telah tercoreng oleh pidato Ahok merupakan prakondisi ideal bagi kontestan Pilkada DKI pada 2017 untuk mendulang dukungan pemilih Islam konservatif-radikal. Alhasil, elit politik populis dengan mudah memobilisasi mereka untuk menggalakan Aksi Bela Islam.

Dengan mengkapitalisasi sentimentalitas massa rakyat atas kasus Ahok dan dengan memanfaatkan pesona Rizieg Shihab, pemimpin Front Pembela Islam (FPI) dan pendukung Prabowo dan Baswedan, elit populis berhasil menyatukan pemilih Islam yang berhaluan konsesrvatif-radikal di Indonesia.

Baca juga :  Menyoal Populisme Teknokratis

Sementara itu, Jokowi memanfaatkan sentimen kedaerahan dari masyarakat Indonesia bagian timur yang merasa termarjinalisasi melalui program pembangunan yang tidak merata. ‘Pembangunan mulai dari pinggir’ adalah bahasa politik Jokowi untuk menyatukan masyarakat yang mendaulat dirinya sebagai ‘orang pinggiran’ dalam skema pembangunan di Indonesia.

Strategi Politik Populis dan Stagnasi Demokratisasi

Dalam realitas politik Indonesia selama beberapa tahun terakhir, populisme lebih sering muncul sebagai strategi memperebutkan kekuasaan politik daripada sebagai perjuangan politik yang berkeadilan, sebab orientasi politik dari elit politik cenderung didasarkan pada kepentingan pragmatis-oportunistik. Hal ini tergambar secara jelas melalui Pilpres 2014 dan 2019, Aksi Bela Islam 212, dan Pilkada DKI pada 2017 yang lalu serta sejumlah pilkada lainnya yang tidak terdeteksi secara komprehensif.

Strategi politik populis ini merupakan salah satu faktor pemicu bagi melambatnya proyek demokratisasi di Indonesia sejak Reformasi 1998. Survei Demos (Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi) pada tahun 2007 dan survei PWD (Power, Welfare, and Democracy) UGM pada 2013 menegaskan temuan yang sama, yaitu pragmatisme politik sebagai ancaman nyata terhadap proyek demokratisasi Indonesia selama masa Reformasi.

PWD secara eksplisit menyebutkan populisme sebagai satu dari lima faktor yang mengganjal demokratisasi di Indonesia.10 Dalam konteks ini, stagnasi demokratisasi berkelindan erat dengan akibat-akibat destruktif yang ditimbulkan oleh strategi politik populis, yaitu pertama, polarisasi dan fragmentasi massa rakyat. Sistem demokrasi liberal memang mengandaikan antagonisme.

Namun, antagonisme dalam populisme (terutama populisme kanan) berujung pada polarisasi, bahkan massa rakyat terfragmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang saling bertikai satu sama lain. Karena itu, dalam strategi politik populis, antagonisme politik ditransformasi menjadi antagonisme horizontal, yaitu pertentangan antara rakyat sendiri sebagai demos. Konflik horizontal seperti ini dapat mengakibatkan lumpuhnya kontrol rakyat atas praksis kekuasaan politik, sebab rakyat sendiri tidak memiliki kesatuan sikap terhadap kehidupan politik di negaranya.

Kedua, pluralisme minus toleransi. Demonisasi kelompok minoritas dan glorifikasi kelompok mayoritas merupakan elemen utama dari retorika populis yang bercorak Manikhean. Dengan mendefinisikan kelompok minoritas sebagai ‘hantu’ yang mengancam identitas mayoritas, seorang aktor populis membawa kedua kelompok tersebut ke dalam arena perseteruan dan kebencian yang irasional.

Hal ini berujung pada absennya toleransi sebagai syarat mutlak dalam kehidupan yang bercorak plural. Hal ini mengakibatkan dekadensi pada proyek demokratisasi, sebab jaminan kesetaraan dan kebebasan politik hanya dialami oleh kelompok mayoritas. Hal ini juga berujung pada hegemoni atau tirani mayoritas atas minoritas. Hegemoni mayoritas tidak hanya berekspansi pada level ekspresi politk, melainkan juga pada produk hukum, kebijakan sosial, ekonomi, religus, dan kultural.

Ketiga, tendensi mobokratis dan massa yang anarkis. Mobilisasi massa sebagai bagian integral dari strategi politik populis membidani lahirnya mobokrasi dan anarkisme. Mobilisasi dan provokasi massa rakyat untuk mengadakan demonstrasi jalanan semata-mata bertujuan sebagai alat pencitraan politik.

Baca juga :  Media Harus Bersuara Kuat

Di pihak lain, militansi massa pendukung justru diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk yang irasional dan anarkis. Hal ini pernah menggejala di Indonesia ketika ribuan massa demonstran menyulitkan negara untuk melakukan pengawasan dan pengamanan, sehingga aksi ‘demonstrasi damai’ berujung pada ‘aksi anarkis.’

Ulah massa demonstran dalam aksi menolak pengumuman hasil pilpres pada 22 Mei 2019 merepresentasi wajah ganas populisme yang bersembunyi di balik identitas agama. Fasilitas publik, seperti lampu lalu lintas, angkutan publik, dan gedung-gendung pemerintahan, sengaja dilempari batu bahkan dibakar tanpa alasan yang rasional.

Memang, mobokrasi dan anarkisme dapat diinterpretasi sebagai cermin kelemahan negara. Namun demikian, kedua hal ini juga sebenarnya lebih bersifat politis, sebab massa demonstran adalah komoditas politik demi memperebutkan pengaruh dan kekuasaan.

Keempat, defektivitas mekanisme representatif. Klaim elit populis sebagai representasi legitim atas the people merupakan ancaman terhadap mekanisme representasi. Absolutisasi kehendak politik yang homogen berujung pada terabaikannya kehendak atau ekspresi politik dari masyarakat yang plural. Dalam sistem demokrasi, pluralitas ekspresi politik merupakan suatu keniscayaan.

Namun, keniscayaan pluralitas ekspresi politik tersebut luput dari perhatian elit populis, sebab mereka berorientasi pada konsolidasi kekuasaan politik melalui taktik politik yang cenderung problematis. Dengan dalih semi-rasional dan sugestif secara emosional, elit populis beserta kaki tangannya menghomogenisasi massa rakyat sebagai sekelompok manusia yang berkehendak sama dan identik dengan kemauan elit politik, vice versa.

Populisme Kiri

Rentetan konsekuensi destruktif di balik strategi politik populis, sebagaimana diuraikan di atas, merupakan ancaman nyata terhadap demokratisasi sebagai salah satu agenda sentral dari Reformasi 1998. Masyarakat Indonesia sendiri menghendaki laju demokratisasi itu berjalan mulus. Di sisi lain, populisme justru terus menguat karena memudahkan para elit politik untuk memenangkan kontestasi politik di tanah air. Quo vadis demokrasi Indonesia?

Hemat saya, demokrasi Indonesia tidak akan berjalan maju jika praksis politik hanya berorientasi pada antagonisme horizontal demi keuntungan-keuntungan pragmatis. Tentu, ini merupakan karakteristik dasariah dari strategi politik populisme kanan, sebagaimana tergambar jelas melalui populisme Islam.

Untuk itu, dengan meminjam gagasan politik Chantal Mouffe,11 demokrasi antagonistik merupakan kebutuhan urgen bagi Indonesia yang tengah mengupayakan demokratisasi. Namun, demokrasi antagonistik tidak dapat terjadi tanpa gerakan populisme kiri. Inilah yang terjadi dalam praksis politik Indonesia yang hanya berpusat pada populisme kanan.

Untuk itu, demi mempercepat laju demokratisasi, diperlukan hadirnya gerakan populisme kiri sebagai antitesis bagi populisme kanan yang cenderung berorientasi pada pemantapan identitas agama, kultural, dan nativisme dari kelompok mayoritas. 

Menurut Chantal Mouffe, populisme kiri merupakan suatu strategi radikalisasi prinsip konstitutif demokrasi, yakni kebebasan dan kesetaraan untuk semua. Gerakan populisme kiri, demikian Mouffe, disatukan oleh tuntutan-tuntutan politik (political demand) yang ekuivalen antara kelompok yang satu terhadap kelompok lainnya. Misalnya, di hadapan kekangan kultur-religius terhadap kebebasan gender, kelompok-kelompok pejuang mesti merumuskannya sebagai tuntutan HAM.

Baca juga :  Kebangkitan Orang Miskin Lawan Mafia Tanah (2)

Hal ini dengan sendirinya menggerakan kelompok pejuang lainnya yang memiliki atensi serius pada persoalan HAM. Inilah yang bagi Mouffe disebut dengan istilah rantai ekuivalensi (chain of equivalences).12 Untuk konteks Indonesia, perjuangan populisme kiri mampu menjadi perekat bagi agama-agama minoritas, organisasi buruh, dan LSM yang selama ini bergerak secara fragmentaris.

Footnote

1 Bertrand Russel, Pergolakan Pemikiran, Kumpulan Karangan, penterj. Mochtar Pabottingi (Yayasan Obor Indonesia dan Gramedia: Jakarta, 1988), hlm. 166-167. 

2 “Populisme Mewabah di Eropa,” https://www.pinterpolitik.com/populisme-mewabah-di-eropa/, diakses pada Rabu, 22 April 2020.

3 Cas Mude, “Populism: An Ideational Approach,” dalam Kaltwasser, dkk (eds.), The Oxford Handbook of Populism (New York: Oxford University Press, 2018), hlm. 1

4 Carlos de la Torre, Populist Seduction in Latin America: The Ecuadorian Experience (Athens: Ohio University Press, 2000), hlm. 4

5 Kurt Weylalnd, “Populism: A Political-Strategic Approach,” dalam Cristobal Rovira Kaltwasser, dkk (eds.). The Oxford Handbook of Populism (New York: Oxford  University Press, 2018), hlm. 49-73.

6 Bdk. Anisa Nur Nia Rahmah, Pasang Surut Populisme: Satu Dekade Populisme Basyir Ahmad di Pekalongan (Yogyakarta: Penerbit PolGov, 2019), hlm. 3-4, dan  Defbry Margiansyah, “Populisme di Indonesia Kontemporer: Transformasi Persaingan Populisme dan Konsekuensinya dalam Dinamika Kontestasi Politik Menjelang Pemilu 2019,” dalam Jurnal Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P Politik-LIPI),  Vol. 16, No. 1, Juni 2019. 

7“PSI: Sejak Awal Prabowo Sudah Politisasi Agama,” https://www.beritasatu.com/politik/547317-psi-sejak-awal-prabowo-sudah-politisasi-agama, diakses pada  Rabu, 29 April 2020.

8“Retorika Kampanye Prabowo Tidak Berkembang sejak Pemilu 2009,” https://tirto.id/retorika-kampanye-prabowo-tidak-berkembang-sejak-pemilu-2009-dhnq, diakses  pada Kamis, 30 April 2020.

9 F. Budi Hardiman, Demokrasi dan Sentimentalitas (Yogyakarta: Kanisius, 2018), hlm. 9.

10 Bdk. Tim Demos, “Rangkuman dan Kesimpulan,” dalam Willy Purna Samadhi dan Nicolaas Warouw (eds.), Demokrasi di Atas Pasir: Kemajuan dan Kemunduran Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: PCD Press dan Demos, 2009), hlm. 163-171., dan Amalinda Savirani, dkk, Demokrasi Indonesia: antara Patronase dan Populisme – Ringkasan Eksekutif Power, Welfare, and Democracy (Yogyakarta: PWD, 2015), hlm. 4. Adapun empat (4) temuan lainnya, yaitu pertama, menguatnya institusi sipil dan melemahnya institusi tata pemerintahan demokratis; kedua, menguatnya politik berbasis ketokohan; ketiga, aktor politik utama (elit partai) mengontrol jalannya demokrasi; dan keempat, pelayanan terhadap kebutuhan publik tidak ditangani dengan baik, sehingga membidani lahirnya gagasan Negara Kesejahteraan (Welfare State).

11 Bdk. Otto Gusti Madung, “Populisme, Demokrasi Disensus, dan Relevansi untuk Indonesia,” dalam Mathias Daven dan Georg Kirchberger (eds.), Hidup: Sebuah  Pertanyaan, Kenangan 50 Tahun STFK Ledalero (Maumere: Penerbit Ledalero, 2019), hlm. 142-163.

12 Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy (London-New York: Verso, 1985), hlm. 177.

Komentar

Berita Terkait

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?
DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?
Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Berita ini 36 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA