Dalam lanskap demokrasi, politik identitas, sebagaimana dikatakan oleh Francis Fukuyama bukan lagi fenomena minor, melainkan sudah menjadi konsep utama untuk menjelaskan masalah-masalah demokrasi. Kompetisi, rekam jejak dan personifikasi calon bukan menjadi konten utama untuk memikat pemilih. Terkadang pemilih memilih kandidat yang punya kesamaan sosio-demografis, ideologi, agama, dan identifikasi partisan lainnnya dengan dirinya (Marland, 2013).
Praksis politik identitas dalam perhelatan pemilu di Indonesia ternyata bukan suatu hal yang baru dalam politik internasional. Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara demokrasi dalam praksisnya mereproduksi politik identitas dalam pemilihan Presiden. Lawan politik Barrack Obama menyoalkan identitas kultural seperti tempat kelahiran, warna kulit dan agama. Obama pada akhirnya memperoleh kemenangan menjadi Presiden, tetapi politik identitas masih menjadi jalan merebut kekuasaan. Hal ini bisa kita amati dalam gaya politik Donald Trump. Selama masa kampanye Trump menyokong politik identitas dengan mempersoal masalah ras, agama dan gender. Jurus ini terbukti ampuh mengantar Trump menjadi pemimpin tertinggi Amerika Serikat.
Baca Juga : Perempuan, Iklan dan Logika Properti
Baca Juga : “Utang Budi” Pater Thomas Krump, SVD
Politik identitas mengedepankan sentimentalitas. Propaganda melalui kampanye mereproduksi isu-isu agama, etnis dan identitas kolektif lainnya untuk merebut simpati rakyat. Paket dramaturgi politis seperti ini melibatkan massa dalam jumlah yang besar meskipun atas nama demokrasi, tentunya menjadi lonceng kematian demokrasi. ‘
Politik identitas menjadi suatu kendala bagi demokrasi. Demokrasi adalah suatu proses rasionalisasi. Salah satu hasil rasionalisasi adalah keberhasilan suatu masyarakat majemuk untuk melampaui loyalitas-loyalitas primordial di dalamnya. Lewat demokrasi bukan hanya kekuasaan politis, melainkan loyalitas-loyalitas primordial terkait agama dan etnisitas dikontrol oleh penalaran publik (F. Budi Hardiman, 2018). Sementara politik identitas mengendap dalam sisi-sisi gelap yang ingin diatas oleh rasionalitas seperti prasangka-prasangka dan stigmatisasi. Demikian melalui politik identitas orang memutuskan untuk membenci, mengintimidasi pihak lain.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya