Judul : Perempuan di Titik Nol
Penulis : Nawal El-Saadawi
Penerjemah : Amir Sutaarga
Penerbit : Obor
Tahun terbit : 2002
Tebal : 175 halaman
Indodian.com-Hari itu 02 Oktober 2022, tepat hari Minggu menjadi momen yang tepat untuk beristirahat sejenak melepas kepenatan akibat kesibukan kuliah. Sebuah novel dengan sampul merah, setebal 175 halaman karya Nawal El-Saadawi kutarik dari tumpukan buku-buku. Entah mengapa dua hari sebelumnya ketika menelusuri rak-rak buku perpustakaan sekolah, novel yang lebih tepat untuk dikatakan sebagai diary (karena tipis) itu menarik perhatian. Mungkin karena penulisnya adalah seorang wanita Mesir, yang nekat meramu kisah tentang emansipasi perempuan di tengah hegemoni kaum lelaki Mesir yang sarkas dan arkais. “Wah, hebat benar orang ini. Mendaftar jadi mayat”, gumam-ku dalam hati.
Sebelum membaca novel itu, aku menelusuri beberapa informasi tentang Nawal yang rupanya adalah seorang dokter di Mesir dan sempat menjabat sebagai direktur kesehatan di sana. Kritiknya terhadap hegemoni patriarkal telah membuat dia harus lengser dari jabatan itu. Akibat peristiwa tersebut, Nawal kemudian semakin tergugah dan teguh untuk menjadi aktivis perempuan yang terus-menerus menyerukan perlawanan terhadap dominasi kaum pria lewat karya-karyanya, termasuk novel Perempuan di Titik Nol.
Novel ini diangkat dari kisah nyata seorang narapidana perempuan yang hendak dihukum mati (namun tetap ditaburi “bumbu” fiksi). Ketika mengetahui informasi itu, aku mulai menduga “apakah kisah ini akan sama dengan perjuangan Max Havelaar karya Douwes Dekker? Tetapi barangkali bakal lebih rumit, karena Max Havelaar ditulis bukan dalam situasi konflik diri tingkat akut seperti yang dialami Nawal; ditulis oleh seorang wanita yang berada di tengah dominasi kaum pria, di antara pilihan pekerjaan dan harga diri, di antara nyawa dan revolusi.”
Meski ada banyak hal menakjubkan yang telah kutemukan dalam praduga-praduga awal atas buku itu, tetap ada kesangsian akan seberapa kuatnya kisah yang bakal diciptakan. Tentang tokohnya, tentang suasananya, tentang alur, tentang penokohan, tentang penyingkapan judul yang “wow” pada tubuh tulisan, dan terutama tentang revolusi yang hendak dicapai hanya dalam 175 halaman saja. Bagi anda yang sudah membaca Max Havelaar, Tetralogi Pulau Buru, serta Sophismata yang ditulis lebih dari 200 halaman tentu bakal tersenyum geli melihat Novel Perempuan di Titik Nol. Jangan-jangan Nawal hanya akan menjadikan tokoh utamanya sebagai lelucon seperti yang dibuat Cervantes pada Don Quixotte. Namun, tangguhkan dulu asumsi itu, karena semuanya akan terhempas ketika anda mulai membaca Perempuan di Titik Nol.
Mochtar Lubis dalam pengantarnya menulis bahwa Novel Perempuan di Titik Nol adalah sebuah novel yang ditulis dengan bahasa yang keras dan pedas. Nawal nampaknya memang sengaja untuk menyampaikan pesan novel itu dengan gaya bahasa yang lugas dan sarkas. Baginya dengan sesuatu yang blak-blakan, akan mampu menyadarkan dunia betapa menderitanya perempuan Mesir pada masa ketika novel itu ditulis.
Firdaus adalah tokoh utama novel ini. Saya sendiri menduga pemilihan nama Firdaus sengaja diangkat Nawal untuk membahasakan ironisnya menjadi perempuan; dianggap sebagai surga yang mampu melahirkan kehidupan, tetapi tidak diharapkan untuk hidup.
Firdaus adalah seorang wanita cantik yang hidup di tengah sisi gelap inferiornya perempuan dunia Arab yang kental dengan budaya patriarki. Sejak kecil Firdaus harus hidup di tengah keluarga kecilnya yang sangat patriarkat. “Jika salah satu anak perempuan mati, ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperit itu ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul ibu kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur” (hlm. 26).
Setiap hari Firdaus diperlakukan layaknya budak, meski dalam keluarganya sendiri, sebab dia adalah seorang perempuan. Perlakuan ini dialami Firdaus bukan hanya dalam keluarga kecilnya. Ketika beranjak remaja, Firdaus ingin sekali menuntut ilmu ke Kairo mengikuti jejak pamannya, tetapi tidak diperbolehkan hanya karena dia seorang perempuan. “El Azhar di Kairo merupakan suatu dunia yang mengagumkan dan hanya dihuni oleh laki-laki saja, dan paman merupakan salah seorang dari mereka. Dan dia adalah seorang laki-laki” (hlm. 30). Dari penggalan ini kita dapat membaca tentang nasib naas Firdaus yang telah terintimidasi sejak dalam pikiran.
Penderitaan sepertinya memang adalah takdir Firdaus. Ketika dewasa, Firdaus mengalami penyiksaan yang lebih berat dalam kekerasan seksual yang dialami dalam petualangan hidupnya. Berkali-kali dia diperkosa, dijual sebagai budak, hingga dipaksa menjadi istri orang yang tak dicintainya. Menariknya Nawal menyajikan kesengsaraan ini sebegitu detail mulai dari perjumpaan di jalan hingga hubungan intim di kamar.
Semuanya digambarkan tanpa terlewatkan sedikitpun, tentang niat para lelaki ketika pertama berjumpa Firdaus, tentang kekerasan dari pintu kamar hingga ke atas tempat tidur sebelum berhubungan intim, hingga tawaran bantuan yang tetap juga menyertakan kalimat pelecehan di dalamnya. Coba pikirkan betapa naasnya perempuan itu, bahkan untuk suatu tawaran bantuan, dia tetap harus mengalami pelecehan seksual.
Firdaus selalu mengalami pelecehan seksual lewat kata, pikiran, sentuhan fisik, hingga lewat tatapan mata. “Saya melihat mata paman melirik isi rok saya. Tangannya lalu bergerak-gerak dibalik buku yang sedang ia baca, menyentuh kaki saya. Saat berikutnya saya merasakan tangan itu menjelajahi paha saya.”(hlm.20). Hal yang semakin menyedihkan adalah meski sadar dirinya kerap dilecehkan oleh pamannya, Firdaus tetap menggantung harapan akan bantuan dari pamannya itu.
Bukan karena dia orang yang dapat dipercaya, tetapi paling tidak pelecehan yang dilakukan pamannya tidak seburuk yang dialaminya ketika berjumpa orang lain. “Pada suatu peristiwa ia (suami) memukul badan saya dengan sepatunya. Suami saya memukul muka dan badan saya sehingga menjadi bengkak dan memar. Lalu saya pergi dari rumah dan kembali ke rumah paman.” (hlm.63). Betapa mencengangkan keputusan itu, mengingat pamannya sendiri yang demi uang rela menjual dan memaksa Firdaus menikah dengan seorang lelaki tua dan kikir yang berperingai kasar bernama Syekh Mahmoud.
Menjadi pelacur “yang bebas” adalah sebuah solusi bagi Firdaus agar dapat sedikit memperoleh kehormatan. “Saya tahu bahwa saya menjadi pelacur karena seorang laki-laki. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih suka menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi istri yang diperbudak.” (h.133). Ya, baginya seorang pelacur tidak dieksploitasi begitu saja, tetapi ada harga yang dibayar sesuai permintaannya.
“Ketika saya menjadi pelacur, saya tidak pernah memberikan sesuatu secara cuma-cuma, tetapi saya selalu mengambil sesuatu sebagai imbalan.” (hlm.140). Dan itu adalah satu-satunya cara mendapatkan kehormatan.
Bagi anda yang sudah terbiasa membaca novel bergenre heroik atau inspiratif, proses menuju kematangan hidup adalah hal yang biasa. Dari pengalaman buruk seseorang akan belajar untuk mengarahkan pilihan hidup kepada hal yang baik. Namun, Nawal menyajikan hal berbeda; dari pengalaman buruk, seorang perempuan mengarahkan pilihan hidup kepada hal yang buruk, hanya agar dapat mengangkat martabatnya ke tingkat yang lebih baik. Setidaknya itu yang dialami Firdaus.
Tak ada pilihan bagi Firdaus yang dapat membantunya mendapatkan rasa hormat sebagai manusia. Dalam situasi itu, dia terpaksa menjadi pelacur, suatu pekerjaan yang menjual kehormatan diri, hanya agar dapat menetapkan harga untuk dirinya. Itulah sebuah kehormatan dan prestasi bagi Firdaus; mampu mengendalikan dan mengatur pria yang hendak memakai jasanya. Suatu kehormatan yang ironis.
Secara umum novel ini boleh dikatakan phobia lelaki. Tidak ada satupun yang baik dari seorang lelaki, bahkan juga mereka yang menawarkan bantuan, “Lelaki revolusioner yang berpegang pada prinsip-prinsip sebenarnya tidak banyak berbeda dari lelaki lainnya.” (hlm.145). Pengalaman akan ketertindasan wanita Mesir saat itu sepertinya benar-benar telah menjadi roh bagi isi novel ini. Semakin menarik karena Nawal menulis novel Perempuan di Titik Nol, tanpa terikat akan kebiasaan, adat istiadat dan hal-hal yang dianggap tabu dalam etiket masyarakat setempat.
Bahasanya sangat tajam, juga terkadang agak menjijikan seperti kutipan berikut: “Lubang pada bisulnya sedang mengeluarkan tetesan nanah yang baunya bukan kepalang. Saya tidak memalingkan muka kali ini. Saya menyerahkan muka saya ke muka tubuhnya, pasif tanpa perlawanan tanpa suatu gerakan, seperti tidak bernyawa seperti batang kayu mati” (hlm. 71-72). Di balik itu semua Nawal ingin menggugah siapa saja untuk peduli pada ketertindasan wanita Mesir saat itu.
Membaca buku ini akan menambah wawasan kita akan situasi sosial masyarakat Mesir saat itu. Namun lebih jauh, novel ini juga akan menyadarkan kita tentang hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari yang cenderung melecehkan perempuan. Barangkali hal-hal seperti praduga, lelucon-lelucon seksis, atau tentang body shaming yang secara laten melahirkan budaya misoginis kerap luput dari pandangan kita. Membaca buku ini akan mampu menyadarkan kita tentang betapa menderitanya wanita oleh hal-hal yang mungkin kita anggap “sepele” itu.
Setelah membaca sepenggal resensi tak berharga ini, bagi anda yang kemudian berminat membacanya, selamat berpetualang dalam kubangan kata-kata dan peristiwa yang begitu menjijikan, ironis, dan sarkas.