Akumulasi Modal dan Pemiskinan Struktural
Seperti ditegaskan sebelumnya, orientasi dan intensi utama kapitalisme neoliberal ini tidak lain hanya untuk mendulang keuntungan material sebesar-besarnya bagi segelintir orang. Kekayaan yang mereka (para kapitalis) miliki yang sering diperoleh secara eksploitatif tidak merambah ke bawah (trickle down effect) ke orang-orang miskin.
Mereka akan tetap menjadi kaya dan yang miskin akan stagnan dalam kemiskinan. Karena memang “pembangunan” melalui beragam model kapitalistik itu tidak dimaksudkan untuk mengubah orang miskin menjadi kaya, tetapi justru membuat yang miskin akan semakin miskin dan tidak berdaya.
Logika kapital akumulatif-eksploitatif ini mewarnai sistem kerja kapitalisme neoliberal. Kapitalisme yang identik dengan globalisasi ekonomi (semacam penanda mutlak) dan bermain melalui bisnis korporasi-korporasi besar yang menyebar di berbagai negara, sebernarnya tidak membuat bangsa-bangsa semakin baik tetapi sebaliknya memperlebar jurang perbedaan antara yang punya (kaya) dan yang tidak punya (miskin). Kenyataan menunjukkan secara kasatmata bahwa negara-negara berkembang yang sangat miskin tetap tidak berkembang.6
Kondisi kemiskinan yang dialami negara berkembang dan serentak orang-orang kecil di dalamnya adalah suatu bentuk pemiskinan yang tersistematisasi. Hal ini tampak dalam pola permainan negara kreditur (kapital) yang menjerat negara berkembang dengan utang (debt). Atas nama rakyat, pemerintah negara berkembang meminjam uang dari negara kaya. Ketika jatuh tempo pengembalian, pemerintah negara berkembang akan meminjam lagi guna menutup utang lama. Demikian hal ini terus terjadi. Inilah model jeratan utang yang sulit dielak negara berkembang, terkhusus Indonesia yang mulai mengutang sejak Orde Baru. Sampai hari ini pun utang-utang itu belum dilunasi sepenuhnya.
Lantas, mengapa negara kaya gampang memimjamkan uang walau mereka tahu negara berkembang sulit melunasi utang? Sederhananya, dalam logika kapitalisme, utang bisa saja diringankan melalui perizinan investasi di negara berkembang. Pemerintah negara berkembang tentu jasa menyambut investasi itu demi peringanan utang luar negeri.
Dari sinilah eksploitasi itu ditargetkan. Kekayaan alam siap dikeruk, manusia kelak dirampas haknya atas perselingkuhan pengusaha (sebagai kaki tangan asing di dalam negeri) dengan penguasa (korporat) atau lazim disebut korporatokrasi. Persis fenomena semacam inilah yang sedang terjadi di Indonesia.
Tentu saja, yang dikorbankan dalam hal ini tidak lain ialah orang-orang miskin. Mereka yang tidak berdaya tidak punya kekuatan melawan sistem yang dari awal tidak memberi atensi kepada kepentingan mereka. Sebut saja eksploitasi tambang mangan di Kecamatan Reok, Manggarai oleh PT. Sumber Jaya Asia pada 2006 dan di Kecamatan Lambaleda oleh PT. Istindo Mitra Perdana pada 2004, yang seluruhnya membawa mudarat bagi masyarakat lingkar tambang.7 Ada pula rencana tambang dan pabrik semen di Kampung Luwuk dan Lingko Lolok Manggarai Timur, yang menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat karena sesungguhnya perizinan itu hanya untuk mengegolkan kepentingan parsial segelintir orang, termasuk pemerintah.
WALHI NTT, dalam webinar bertajuk “Tambang dan Pabrik Semen Manggarai Timur: Siapa Untung Siapa Buntung?” menyampaikan bahwa keberadaan tambang dan pabrik semen ini akan mengancam satu-satunya ekoregion perbukitan karst di Pulau Flores. Karst itu telah disahkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan surat Nomor SK.8/Menlhk/Setjen/PLA/1/2018 tentang Penetapan Wilayah Ekoregion Indonesia. Jika tambang dan pabrik ini dibangun, demikian WALHI, suplai air bersih masyarakat akan terganggu.8
Contoh-contoh di atas hanya mau menggambarkan keterpinggiran masyarakat kecil dalam lingkaran korporatokrasi. Penguasa dan para oligark (kebanyakan pemilik perusahaan eksploitatif) bersekongkol, satunya melanggengkan kekuasaan dan yang lain melanggengkan modal. Sementara rakyat semakin terpuruk dalam kemiskinan.
Dari strukturnya, masyarakat sebenarnya sudah ditempatkan sebagai pihak yang dikorbankan oleh kerakusan segelintir orang. Alih-alih pembangunan dan pemerataan, ternyata jargon belaka. Kemiskinan, dengan demikian adalah suatu upaya struktural atau dengan kata lain masyarakat dirancang untuk tetap miskin. Sementara segelintir orang kaya akan semakin kaya.
Skema “pemiskinan struktural” oleh negara ini sebenarnya teridentifikasi dalam pola marginalisasi seperti digambarkan Maximus Regus dalam artikelnya “Tambang dan Perlawanan Rakyat: Studi Kasus Tambang di Manggarai, NTT” pada Jurnal Sosiologi Universitas Indonesia. Maximus Regus menggambarkan marginalisasi sebagai atribut yang koheren dengan dominasi yang dimiliki negara dan korporasi. Dominasi yang dilakukan negara dan korporasi menciptakan pola marginalisasi terhadap komunitas lokal (masyarakat lingkar tambang). Marginalisasi dilakukan korporasi dan negara agar dominasi keduanya semakin kuat.9
Lebih lanjut, Maximus Regus menguraikan bahwa dalam kerangka hubungan ketika elemen ini, marginalisasi menimbulkan “ketimpangan” hubungan. Ketidakseimbangan ini menjadi basis terjadinya ketidakadilan terhadap komunitas lokal. Skema semacam inilah yang sedang terjadi pada banyak daerah terutama di Flores, NTT dan tentu saja daerah-daerah lain yang potensial kandungan bahan-bahan tambang.
Pada akhirnya kita mesti menyadari bahwa sistem kerja kapitalisme melalui korporasi-korporasi yang sekarang ini menjadi mesin eksploitasi kekayaan alam di sejumlah wilayah, menjadi ancaman serius bagi keselamatan orang-orang kecil. Hal yang ditimbulkan dari sistem kerja kapitalistik-akumulatif ini tentu tidak membawa dampak signifikan bagi kemajuan suatu wilayah, seperti kerap kali terjadi pada sejumlah wilayah di Flores sebagai contoh paling konkret. Dampak yang timbul justru kerusakan di mana-mana, baik alam, sistem budaya setempat, maupun manusia itu sendiri. Hanya demi melanggengkan akumulasi kapital segelintir orang, cara-cara kerja dengan dampak serius seperti disebutkan ini, luput dari perhatian, baik pihak korporat (kapitalis) maupun birokrat (penguasa negara).
Logika pembangunan dalam skema kapitalisme pada akhirnya sulit dipercaya sebagai sebuah komitmen untuk membangun peradaban manusia melalui ragam kemajuan yang ditonjolkan. Kemajuan-kemajuan yang identik dengan pembangunan fisik ini pun hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang, yakni para kapitalis dan penguasa yang meladeni dan berselingkuh dengan para pemodal.
Sementara rakyat kecil di sejumlah wilayah, yang sebenarnya menjadi subjek pembangunan, justru semakin terperosok dalam kemiskinan. Sehabis kekayaan mereka dikeruk, korporat-korporat akan mencari ladang eksploitasi berikutnya. Hasil kerja sama yang baik dengan penguasa tentu memuluskan ekspansi modal mereka melalui kerja eksploitatif.
Sebagai catatan kritis, pemerintah mesti mempertimbangkan secara matang setiap perizinan investasi yang masuk ke negaranya. Kebijakan yang memuluskan investasi korporasi, seperti di Indonesia, justru membuka peluang dimulainya pencaplokan itu. Negara mesti tahu kepentingan apa yang bermain di belakang korporat yang bisa
saja memperalat penguasa demi mewujudkan cita-cita mereka. Atau jika memang negara sangat membutuhkan kehadiran investor-investor dalam rangka mewujudkan pembangunan, korporasi-korporasi perlu dikontrol ketat mulai dari perizinan, selama proses kerja – menjaga kemungkinan penyelewengan dari kesepakatan awal – sampai pada tahap akhir seperti pemulihan lahan, misalnya.
Selain itu, kesepakatan dengan masyarakat setempat di mana area pembangunan (atau pertambangan) dibuat, harus dipenuhi secara baik, proporsional, dan konsekuen. Hal ini penting untuk tetap menjaga dan mempertahankan kadaulatan masyarakat setempat yang notabene terikat dengan alam dan budaya. Jangan sampai atas nama pembangunan struktur dan sistem budaya masyarakat setempat dihancurkan. Oleh karena itu, perlu sinergisitas kepentingan antara masyarakat dan negara dan juga masyarakat dengan korporat.
Footnote
1 Istilah-istilah ini, walaupun secara harafiah berbeda, memunyai arti yang kurang lebih sama dan karena itu dapat digunakan secara bergantian. Beberapa istilah lain dapat pula digunakan, seperti sistem ekonomi neoliberal (neoliberal economic system), ekonomi pasar dan perdagangan bebas tak terkendali dan tak terbatas (unfettered and unconstrained free market and free trade economy). Bdk. Dr. Alex Jebadu, SVD, Drakula 21. Membongkar Kejahatan Sistem Ekonomi Pasar Bebas Tanpa Kendali sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba dan Ancamannya terhadap Sistem Ekonomi Pancasila (Maumere: Penerbit Ledalero, 2020), hlm. 128.
2 Ibid., hlm. 239.
3 Ha-Joon Chang, Bad Samaritans: The Guilty Secrets of Rich Nations and the Threat to Global Prosperity (London: Random House Business Books, 2008), hlm. 172
4 Eric Tousaint dan Damien Millet, Bank Dunia dan IMF: Alat Penjajahan Baru Negara Industri terhadap Negara Berkembang Sejak Akhir Perang Dunia II, penerj. Alexander Jebadu (Maumere: Penerbit Ledalero, 2019), hlm. 7-8.
5 Ibid., hlm. 9.
6 John Madeley, Big Business Poor Peoples: Bisnis Besar Menguasai Masyarakat Miskin, penerj. Alejandro MP Franklin W (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2013), hlm. 35.
7 Maximus Regus, “Tambang dan Perlawanan Rakyat: Studi Kasus Tambang di Manggarai, NTT”, Jurnal Sosiologi, 16:1 (Jakarta: Januari 2016), hlm. 4.
8 https://www.walhi.or.id/tambang-dan-pabrik-semen-manggarai-timur-siapa-untung-siapa-buntung, diakses pada Rabu, 8 Desember 2021.
9 Maximus Regus, op. cit., hlm, 8.