๐ฃ๐ฒ๐น๐๐ฎ๐ป๐ด ๐๐ป๐ฑ๐ผ๐ป๐ฒ๐๐ถ๐ฎ ๐ฑ๐ฎ๐น๐ฎ๐บ ๐ฃ๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐ฑ๐ผ๐ธ๐ ๐๐ต๐ถ๐ป๐ฎ
Peluang terpenting bagi aksi geopolitik Indonesia ditemukan dalam paradoks China. Paradoks ini jauh lebih serius dari narasi anti-China yang diproduksi think tanks Amerika Serikat seperti โdebt trapโ dan stagnasi ekonomi karena adanya โmiddle income trapโ. Paradoks pertama adalah proyeksi hubungan Beijing dan Kremlin di masa depan. Rusia dapat mengubah konstelasi multipolar dengan mengutak-atik aliansi atau membuat China rentan di Asia Tengah sebagai koridor darat utama BRI ke Eropa.
Manuver Rusia dapat memperkuat posisi tawar India terhadap China yang makin kompak dengan Pakistan dari segi keamanan kawasan Asia Timur. Konsekuensinya adalah kemitraan pertahanan Indonesia-Rusia mendesak dilakukan sembari menjajaki kemitraan industri pertahanan dengan sistem pertahanan udara Rusia terbaik di dunia dan relatif murah dibandingkan produksi Amerika Serikat. Dengan manuver itu dapat menaikkan posisi tawar Indonesia yang sangat strategis dalam konfrontasi berkelanjutannya dengan China-Rusia. India melakukan manuver ini tetapi Indonesia sebagai kekuatan utama ASEAN jauh lebih strategis bagi pertarungan superpower di Indo-Pasifik.
Hal ini memberi ruang Indonesia untuk meningkatkan kemitraan dengan Rusia dan India sebagaimana manuver Brazil dan Pakistan saat ini. Selain itu supaya bisa mendapatkan gas murah Rusia dan kolaborasi untuk energi terbarukan sembari tetap berhitung dengan negara-negara pengekspor LNG-LPG ke Indonesia dalam negosiasi perdagangan barang baku dan barang modal lainnya untuk neraca ekspor-impor bilateral. Termasuk ekspor otomotif Indonesia ke pasar konsumsi kelas menengah yang sedang bertumbuh di Asia Tengah dan Indochina.
Masih butuh waktu lama Indonesia bisa keluar dari ketergantungan impor untuk separuh dari total kebutuhan konsumsi migas domestik. Sementara gasifikasi batu bara dan instalasi LNG di Papua dan Papua Barat masih butuh waktu. Kerentanan sektor energi diperparah oleh tata kelola BUMN termasuk Pertamina yang lambat sehat, korupsi dan kolusi lingkaran oligarki bisinis-politik di dalamnya.
Paradoks China terbesar yang bisa dimanfaatkan Indonesia adalah kapasitasnya yang terbatas mengelola blok-blok perdagangan yang memusat pada Beijing. Di Indo-Pasifik Xi Jinping sangat membutuhkan mitra dagang yang kuat, terukur dan berkelanjutan di luar Korsel dan Jepang yang butuh waktu lama bisa keluar dari kendali Washington. Kedua negara tersebut bisa menjadi titik rentan ekonomi China khususnya suplai semikonduktor dan komponen elektronik lainnya.
Potensi kerentanan China sebagai Economic Power House dengan sendirinya memberi insentif bagi manuver cerdas Indonesia dalam kompetisi makin sengit dengan negara lain dalam orbit utama investasi dan perdagangan China. Diketahui selama ini Indonesia bukan satu-satunya target kemitraan investasi dan perdagangan Beijing di Asia Tenggara. Diplomasi politik yang cerdas harus membawa kepentingan investasi dan perdagangan Indonesia dengan harapan meningkatkan volume ekspor bersama produk nilai tambah serta impor bahan baku/penolong yang stabil untuk akselerasi industri dalam negeri.
Paradoks China sekaligus memberi sinyal bagi Indonesia bahwa ekonomi kawasan Indo-Pasifik semakin ketat dengan persaingan ekspor-impor antarnegara. Perhatian kebijakan industri pada added-value harus disertai dengan skenario diversifikasi mitra dagang untuk ekspor dan konsesi impor dalam kerangka kesepakatan kawasan bebas tarif seperti RCEP terkini. Negosiasi dagang akhirnya tidak hanya dua arah tetapi disertai kalkulasi berkelanjutan terhadap kapasitas dan kebutuhan ekspor-impor negara-negara lain untuk jenis komoditas dan bahan baku/penolong yang ditargetkan.
Indonesia berada dalam tren ekonomi global yang semakin memusat di kawasan. Blok-blok ekonomi memberi peluang dan tantangan. Defisit neraca perdagangan dan rendahnya mutu investasi muncul sebagai konsekuensi hilangnya aksi geopolitik dalam proyeksi ekonomi nasional dalam kawasan perdagangan. Diperparah lagi oleh analisis dan kalkulasi keamanan yang keliru dan tak sambung dengan proyeksi ekonomi.
๐ ๐ฒ๐ป๐ฐ๐ฒ๐ฟ๐บ๐ฎ๐๐ถ ๐ฆ๐๐ฟ๐ฎ๐๐ฒ๐ด๐ถ ๐๐ธ๐ผ๐ป๐ผ๐บ๐ถ ๐๐ต๐ถ๐ป๐ฎ
Indonesia harus belajar dari skenario China mengatasi paradoks multipolar bagi dirinya sendiri. Beijing, sebagai penggerak utama tata dunia multipolar, menggerakkan ekonomi nasional dengan strategi sirkulasi gandaโDual Circulation Strategy. Strategi ini dijalankan dengan dua taktik, penguatan ke dalam dan penguncian ke luar dengan blok-blok ekonomi kawasan melalui akselerasi Belt & Road Initiative di enam kawasan strategis yang digerakkan Beijing sebagai simpul jangka pendek.
Taktik pertama, ekonomi dalam negeri diperkuat dengan sinergi terukur antar pembangunan pusat-daerah, antarwilayah dan antarsektor. Seluruhnya dirancang, diterapkan dan dievaluasi untuk daya tahan terhadap krisis akibat disrupsi non-ekonomi dan disrupsi rantai-pasok serta memastikan bisa memenuhi kebutuhan pasar produksi dan pasar konsumsi dalam negeri dengan 1,4 milyar penduduk. Semuanya dibungkus Xi Jinping dalam istilah pembangunan mutuโQuality Development. Kualitas manusia, kecanggihan teknologi dan mutu barang menjadi output prioritas dari taktik ini.
Sebagai mitra terbesar ekspor-impor, Indonesia harus mencermati dengan saksama dinamika ekspor-impor dan investasi domestik China dalam taktik pertama ini. Indonesia tidak boleh lengah dan mengandalkan reaksi semata karena negara-negara dengan volume dan nilai ekspor-impor terbesar dengan China sedang melakukan proaksi dengan Beijing untuk mengamankan komoditas ekspor andalan dan komoditas impor yang sangat dibutuhkan industri dalam negeri masing-masing.
Dengan mendeteksi pembangunan domestik China, Indonesia makin paham dengan proyeksi ekonomi Beijing ke dalam blok-blok ekonomi. Pertama melacak neraca perdagangan dan kemitraan investasi China pertama-tama dengan negara-negara di Indo-Pasifik lalu pemeriksaan diteruskan ke kawasan lain dengan negara-negara yang menunjukkan proksimasi jenis dan volume ekspor-impor dengan Indonesia terhadap China.
Tujuan mendeteksi dua taktik dari strategi nasional China ini adalah untuk melayani dua hal mendasar bagi ekonomi makro Indonesia. Pertama, tujuan minimal untuk mengamankan dan meningkatkan volume ekspor-impor dengan China sebagai mitra dagang terbesar Indonesia. Dalam kompetisi yang makin ketat, sanggup menjaga surplus perdagangan saja sudah merupakan garis batas terbawah yang mengamankan ekonomi nasional.
Tujuan kedua adalah tujuan maksimal yaitu proyeksi pertumbuhan ekonomi sebagai hasil analisis dan antisipasi terhadap dinamika perdagangan dan investasi di Indo-Pasifik dan kawasan lain yang telah terbangun hubungan ekspor-impor. Pilihan kebijakan ekonomi melalui program strategis nasional mengacu pada pertumbuhan ekonomi dari basis dinamika pasar kawasan dan pasar global yang terdeteksi dan fundamen ekonomi nasional yang sedang digarap. Karena itu cara berpikir kebijakan ekonomi makro harus keluar dari jebakan nalar surplus dan defisit perdagangan dan investasi jangka pendek sarat spekulasi dan menimbulkan kerentanan pada sektor lain.
๐ ๐ฒ๐ป๐ฎ๐๐ฎ ๐๐ฒ๐บ๐ฏ๐ฎ๐น๐ถ ๐ง๐ถ๐ด๐ฎ ๐๐ฎ๐ป๐ฑ๐ฎ๐๐ฎ๐ป
Menjadi superpower adalah impian besar Indonesia yang mensyaratkan otak kebijakan sebesar impian itu untuk menjalankan kerja keras menuju seratus tahun kemerdekaan bangsa. Geopolitik sebagai parameter mengajak Indonesia memeriksa kapasitas, potensi dan hambatan di dalam dirinya sekaligus memeriksa tantangan dan peluang yang diberikan tata dunia multipolar.
Sejalan dengan kebutuhan menjadi superpower dalam dunia multipolar parameter baru ini mengajak kita memeriksa 3 masalah pokok dalam fundamen ekonomi-politik dan keamanan nasional terkini. Ketiga masalah pokok ini saling berhubungan sekaligus sebagai 3 landasan utama melayani tujuan besar tersebut.
๐๐ผ๐ฟ๐ฒ๐ธ๐๐ถ ๐๐ธ๐ผ๐ป๐ผ๐บ๐ถ ๐ ๐ฎ๐ธ๐ฟ๐ผ ๐๐ป๐ฑ๐ผ๐ป๐ฒ๐๐ถ๐ฎ
Koreksi ekonomi makro tidak berarti kita menolak atau mempertanyakan sejumlah indikator penting ekonomi makro. PDB, inflasi, hutang pemerintah dan kurs sangat penting sebagai alat ukur. Demikian halnya dengan suku bunga dan neraca transaksi berjalan penting adanya termasuk penduduk, kemiskinan, pengangguran dan cadangan devisa. Ditampilkan dalam angka, kurva dan persentase bisa meyakinkan rakyat tentang kinerja pemerintah dan pertumbuhan ekonomi dalam setahun atau jangka pendek.
Dalam parameter geopolitik, indikator-indikator di atas bisa menyesatkan jika tidak bisa mengukur dan menjelaskan fundamen ekonomi nasional dalam kaitan dengan dinamika ekonomi kawasan dan ekonomi global. Bagian penting ini selalu diabaikan teknokrasi kebijakan ekonomi Indonesia sejak Orde Baru sampai periode Jokowi II. Sebab utama adalah aliran berpikir yang dipakai, school of thought, yang berakibat pada kepercayaan pada arahan IMF, Bank Dunia dan Think Tanks kapitalisme finansial-manajerial. Dalam teknokrasi, indikator ekonomi makro menjadi perkakas ideologi neoliberal tata dunia unipolarโekonomi ketergantungan dan ekonomi kerentanan.
Ambisi menjadi superpower dalam tata dunia multipolar mendorong analisis ekonomi makro ke tingkat berikutnya. Yaitu melakukan proyeksi ganda, dari dalam ke luar dan dari luar ke dalam, dalam satu sapuan analisis dan rekomendasi kebijakan. Analisis tren dan kompetisi ekonomi kawasan tidak bisa dilakukan di atas kertas semata tetapi berjalan bersama proaksi geopolitik untuk mengubah atau mempengaruhi tren ekspor-impor dan investasi yang melayani kebijakan ekonomi strategis dalam negeri.
Demikian sebaliknya, analisis dan rekomendasi kebijakan ekonomi strategis dalam negeri dipengaruhi oleh capaian-capaian negosiasi perdagangan luar negeri. Negosiasi perdagangan mencakup pertama negosiasi untuk ekspor-impor yang mendesak untuk pertumbuhan ekonomi tahun berjalan dan kedua negosiasi yang bersifat antisipasi terhadap tren ekonomi kawasan atau ekonomi global dalam jangka menengah dan panjang. Yang terakhir memiliki dimensi geopolitik yang kuat karena mendasarkan pada hasil agregasi indikatif sejumlah negara mitra dagang dan maupun dalam hubungannya dengan China sebagai penggerak ekonomi lintas kawasan.
Kecakapan geopolitik menjadi taruhan masa depan ekonomi rakyat Indonesia. Sejarah ekonomi kita sejak Orde Baru menunjukkan dengan jelas absennya langkah strategis ini. Akibatnya sangat serius, yaitu Indonesia dibuat lambat bergerak menjadi masyarakat Industri maju dengan teknologi tinggi. Repelita Suharto dalam tata ekonomi unipolar menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang rentan fluktuasi rupiah, industri melayani konsumsi dalam negeri dan tidak memiliki daya saing ekspor dan berpengaruh secara fundamental pada kekuatan ekonomi periode pasca-Reformasi.
Terburuk dari semua kejahatan teknokrasi kebijakan, ekonomi nasional selalu terjebak dalam sindrom ketergantungan pada sumber daya alamโDutch Desease. Dibuka dengan ledakan harga minyak berujung pada ekonomi proteksi yang rentan dan berisiko dalam periode liberalisasi ekonomi (1970-1997), ketergantungan terus menerus pada ekonomi ekstraksi (2000-sekarang), sampai pada kondisi ekonomi hari ini yang digerakkan terbitan surat hutang dan pinjaman luar negeri. Prestasi semu swasembada beras tahun 1980an misalnya berakhir impor beras dari Thailand dan kedelai dari Amerika Serikat untuk konsumsi rumah tangga dan industri kecil sekarang ini.
Proyeksi ekonomi nasional tanpa proaksi geopolitik menjadi garapan oligarki nasional dengan monopoli impor dan preferensi ekspor. Tidak hanya memainkan harga dan merugikan rakyat, kelompok bisnis-politik ini semakin kompak menggarap tawaran investasi Beijing tanpa membuka ruang diskusi publik dan analisis dampak dan keberlanjutan termasuk tidak menghitung risiko sosial-budaya dan urbanisasi tak terkendali ke sentra-sentra ekonomi baru. Dua kebijakan super penting bagi rakyat, UU Cipta Kerja dan IKN, dibuat dalam situasi darurat melayani konspirasi oligarki menyambut BRI China dan Private-Public Partnership WEF Davos.
Belum terhitung absennya kalkulasi strategis terkait korelasi pembangunan kawasan strategis dan sebaran ratusan proyek-program strategis nasional dengan pembangunan daerah kabupaten. Konsentrasi modal, teknologi dan serapan tenaga kerja akan semakin memperlebar jurang pertumbuhan ekonomi dan kemajuan antara kabupaten dalam satu wilayah provinsi. Mimpi Indonesia menjadi superpower tidak terbaca dalam terjemahan kebijakan APBN untuk belanja pusat, belanja kabupaten dan belanja desa.
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya