Kebangkitan Orang Miskin Lawan Mafia Tanah (2)

- Admin

Kamis, 2 Desember 2021 - 07:37 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kebangkitan Orang Miskin

Apa yang dilakukan warga masyarakat Kedaluan Boleng ini sebenarnya merupakan satu contoh dari kebangkitan warga masyarakat desa di Indonesia saat ini. Sejak tahun 1908 ratusan suku Kepulauan Nusantara perlahan-lahan sadar akan pahitnya eksploitasi ekonomi mereka oleh Belanda dari tahun 1602 (tahun berdirinya VOC perusahaan Belanda). Mereka bangkit bersatu dan perlahan-lahan menjadi satu saudara, satu bangsa dan satu tanah air karena adanya kepentingan bersama.

Mereka membutuhkan sebuah kekuatan. Untuk itu mereka harus bersekutu sebagai satu keluarga supaya kuat dalam mempertahankan hak-hak mereka atas sumber-sumber ekonomi di tanah mereka sendiri dari exploitasi bangsa lain. Perjuangan ini kemudian membuahkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sederhana saja sebenarnya. Pada tgl 17 Agustus 1945, suku-suku di seluruh Kepulauan Nusantara menyatakan diri untuk tidak membiarkan sumber-sumber ekonomi mereka diexploitasi lagi oleh Belanda maupun bangsa-bangsa asing lainnya. Untuk maksud itu, mereka sepakat untuk bersatu sebagai satu saudara, satu tanah air, satu bangsa dan satu negara dari Sabang sampaiMaurauke.

Roh perjuangan yang sama ini juga telah mendorong warga Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng untuk bangkit bersatu. Mereka mempunyai kebutuhan bersama. Mereka membutuhkan sebuah kekuatan bersama supaya bisa mempertahankan hak-hak mereka atas tanah dari perampasan tanah mereka (land grabbing) oleh para oligarchi dan pebisnis besar yang datang dari pelbagai penjuru dunia. Para oligarchi dan pebisnis besar ini masuk dengan menunggang proyek nasional yakni pembangunan Labuan Bajo menjadi destinasi pariwisata premiumdunia.

Pemerintah Indonesia di Jakarta, pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten Manggarai Barat yang mereka pilih melalui pemilu seharusnya angkat jempol. Mereka seharusnya memuji warga masyarakat desa yang bangkit untuk mempertahankan hak-hak mereka untuk hidup. Perjuangan mereka ini seharusnya didukung. Mereka seharusnya dibantu dan diadvokasi. Karena bantuan pemerintah ini merupakan hakikat dari pemerintah negara itusendiri.

Baca juga :  Urgensi Penelitian Sosial terhadap Pembentukan Kebijakan Publik

Dalam sistem negara demokrasi, pemerintah dan politisi dipilih rakyat untuk mewakili mereka dalam memperjuangkan hak-hak mereka di segala bidang termasuk yang paling utama adalah hak ekonomi. Ini merupakan tugas utama pemerintah dan menjadi hakikatnya yang paling dalam. Betapa sayang dan konyol kalau pemerintah daerah sendiri bersatu dengan para mafia tanah untuk merampas sumber-sumber ekonomi warga masyarakat. Itu ibarat seorang pengawal yang seharusnya melindungi bosnya, ia malah merampoknya. Atau pemerintah malah menjadi seperti pagar makan tanaman yang seharusnya ialindungi.

Tuduhan Palsu

Seperti yang diberitakan media, tidak semua orang menyambut gembira kebangkitan warga masyarakat Boleng untuk mempertahankan tanah sebagai sumber hidup. Menurut informasi yang kami peroleh, setelah Surat Pernyataan ini berjalan kurang lebih satu tahun sejak 29 Maret 2018, ada pihak lain, orang dalam sendiri, yang tidak setuju. Tentu hal ini terjadi setelah disuntik pengaruh dari para mafia tanah – pebisnis besar, politisi, jenderal atau para bule dari luar negeri.

Mereka ini mendekati beberapa dari 22 tu’a golo dari Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng ini untuk membalikkan isi surat ini dan buat surat pernyataan baru. Ada tu’a golo yang mengatakan bahwa dalam sidang itu, hal yang disosialisasikan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pembangunan desa dan penggusuran jalan pantura Flores. Sementara kenyataannya, menurut Bonaventural sebagai Camat Boleng dan salah satu cucu Dalu Boleng di Mbehal, hal yang dibuat adalah sosialisasi Kesepakatan Kesatuan Adat Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng (KAWPGPTB). Sebelum ditandatangani, dokumen kesepatan bersama ini dibacakan dengan lantang.

Baca juga :  Melampaui Dikte Pasar

Akan tetapi namanya setiap penjajah selalu berusaha mencari jalan untuk menjajah korbannya. Mereka mempertanyakan keabsahan KAWPGPTB ini. Mereka, antara lain, mengatakan bahwa di dalam sejarah kebudayaan Manggarai tidak ada tradisi persatuan Gendang. Setiap Gendang bersifat indendepen. Sebuah RAG tidak ada main sekutu-sekutuan dengan RAG-RAG lainnya. Apakah memang benardemikian?

Betul sekali. Seperti diuraikan sebelumnya, dalam sejarah kebudayaan Manggarai hampir tidak biasa ada persekutuan antara beberapa RAG. Setiap RAG itu independen. Ia merdeka dan tidak berada di bawah perintah dari warga RAG lainnya dan juga tidak bersekutu dengan RAG lainnya. Akan tetapi hal ini merupakan realitas zaman dulu yang sudah lalu.

 Kini situasinya sudah lain. Apa yang dilakukan oleh warga masyarakat Boleng dengan Kesatuan Adat Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng (KAWPGPTB) merupakan sebuah tindak sosial, ekonomi dan politis yang benar, sah dan dapat dipertanggungjawabkan dari perspektif ilmu kebudayaan, UUD45 dan hak-hak asasimanusia.

Pertama, menurut ilmu kebudayaan, kebudayaan manusia itu pada hakikatnya bersifat dinamis. Ia bisa berubah seturut situasi dan kebutuhan manusia (human culture is dynamic and subject to change) yang menciptakannya. Pada zaman dulu RAG-RAG di Manggarai hampir tidak biasa membentuk sekutu-sekutuan di antara mereka. Mengapa? Jawabanya: karena mereka waktu itu tidak membutuhkannya.

Mereka tidak memiliki kebutuhan bersama untuk diperjuangkan secara bersama. Sekarang sebaliknya terjadi. Mereka mempunyai kebutuhan dan kepentingan bersama. Mereka membutuhkan kekuatan bersama untuk mempertahankan lahan pertanian mereka dari para mafia tanah yang terdiri atas oligarchi, para pengusaha atau bule dari luar negeri. Mereka ini merampas tanah sebagai sumber hidup mereka dengan menunggang proyek nasional membangun Labuan Bajo menjadi destinasi pariwisata premium dunia. Ini trojan horsemereka.

Baca juga :  Ajaran Gereja Katolik dan Hukuman Mati

Kedua, UUD45 Pasal 28 menetapkan bahwa setiap warga negara mempunyai kebebasan berserikat dan berkumpul untuk mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan. Pasal ini tidak hanya menjamin warga masyarakat modern untuk membentuk organisasi masyarakat seperti tampak dalam bentuk pelbagai organisasi masyarakat (ormas) dan partai-partai politik. Ia juga menjadi dasar bagi setiap organisasi masyarakat tradisional yang disebut masyarakat adat untuk berserikat dan berkumpul seperti yang telah dilakukan oleh KAWPGPTB.

Partai-partai politik, oleh karena ada kepentingan bersama, setiap kali helatan pemilu sudah berakhir, biasanya mulai merapat ke sana dan merapat ke mari untuk membangun koalisi. Mengapa koalisi alias perserikatan macam ini hanya menjadi milik partai politik? Koalisi alias persekutuan seperti ini, yang dijamin oleh UUD 45 Pasal 28, juga merupakan hak warga masyarakat adat Gendang Manggarai yang terancam kehilangan tanahnya di era reformasi ini di mana pemerintahnya telah menganut pembangunan model kapitalistik.

Mereka bersekutu karena ada kebutuhan bersama yaitu membangun kekuatan untuk mempertahankan tanah sebagai sumber hidup dari segelintir orang yang ingin merampas hak hidup mereka. Hak untuk bersekutu ini sangat konstitusional yang tidak bisa dilanggar oleh siapapun. Warga masyarakat pedesaan di seluruh Indonesia, termasuk di Mangggarai Barat-Flores, mesti sadar dan tahu hal ini dan harus bersatu bangkit mempertahankan sumber-sumber hidup seperti yang telah dicontohkan oleh warga masyarakat Boleng yang telah membentuk Kesatuan Adat Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng


Dr Alexander Jebadu SVD

Dosen Sistem Ekonomi Pasar Bebas Tanpa Kendali sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere-Flores-NTT.

Komentar

Penulis : Dr. Alexander Jebadu

Berita Terkait

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?
DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?
Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Berita ini 39 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA