Pantun Berlawanan dengan Puisi

- Admin

Sabtu, 25 Oktober 2025 - 16:31 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bisa disaksikan bersama, beberapa tahun belakangan ini, pantun kembali hadir cukup marak di ruang-ruang publik. Di acara-acara seremonial, banyak yang merasa perlu “mendapatkan keakraban dan keramahan” dengan menghadirkan pantun.

Cukup banyak pula komunitas-komunitas yang mulai menselebrasi pantun. Bahkan pantun telah banyak mendapat perhatian akademik. Pantun dikaji dalam berbagai perspektif. Kini, rasanya, kalau tidak akrab dengan pantun, seperti kurang beradat dan kurang beradab.

Memang banyak kelebihan pantun. Pantun, bukan saja lebih ramah dan lebih akrab, tetapi secara kultural, politik, dan psikologis, pantun itu menghibur dan melegitimasi. Menghibur karena asosiasi yang dibangun pantun itu seperti kontradiktif dan mengada-ada. Karena kontradiktif dan mengada-ada, pantun hadir menjadi segar dan kadang lucu.

Tetapi, pantun juga melegitimasi. Pantun itu melegitimasi kebudayaan dominan terkait dengan etik kesopanan dan keadaban. Pantun juga melegitimasi kenyamanan.

Memang, tentu banyak pantun yang mencoba mengkritik keadaan sosial yang timpang, mengkritik ketidakadilan. Akan tetapi, pantun tidak mampu dan tidak memberikan pengalaman baru. Saya ambil sebuah pantun dalam https://www.bola.com/ragam/read/5348903/16-contoh-pantun-politik-yang-menarik-disimak?page=3

Di atas lutut berpakaian batik

Warnanya merah berbintik-bintik

Kalau ikut ajang politik

Harus siap menerima kritik.

Spongebob pergi bersama Petrik

Terjun melompat tak bisa naik

Walaupun politik penuh intrik

Masih banyak politisi baik.

Belajar teknik haruslah fokus

Bapak gurunya bernama Markus

Jika berkarier jadi politikus

Janganlah rakus seperti tikus.

Pandawa lima membawa kereta

Panji dilipat di tengah kota

Pemilu bergema di depan mata

Janji terucap seindah permata.

Pantun tidak menyusun ulang pengalaman baru yang berbeda dengan pengalaman pada umumnya. Semua hal yang dikatakan pantun sudah diketahui semua sebagai pengalaman umum/kolektif. Karena tidak ada susunan naratif yang baru, pantun tidak mampu mengganggu/mengintervensi pengalaman atau kesadaran dominan.

Itulah sebabnya, tentu pantun sangat disukai kekuasaan. Kekuasaan tidak terganggu dengan pantun-pantun yang seolah kriitis. Bahkan kekuasaan seperti diajak guyon-guyon. Memang ada sindiran di dalamnya, tetapi hal itu menjadi bahan segar dan lucu-lucuan karena tetap menjadi bagian dari pengalaman bersama. Pantun hanya mendokumentasikan realitas.

Hal pantun yang menghibur dan melegitimasi itu membuat pantun berbeda bahkan berlawanan dengan puisi. Tentu, puisi yang dimaksud di sini puisi yang serius, yang reflektif, yang dibuat dengan pemikiran dan pikiran kritis.

Puisi tidak hanya mendokumentasikan realitas, tetapi juga menciptakan kemungkinan baru bagi cara kita memahami dan merasakan dunia. Fungsi kritik sosial dalam sastra, khususnya puisi, bukan hanya mengungkap kondisi ketimpangan sosial, melainkan juga mendekonstruksi cara-cara dominan dalam memandang dunia.

Puisi sebagai salah satu bentuk seni, memiliki kekuatan politik bukan hanya karena membicarakan ketimpangan, tetapi karena mampu menciptakan pengalaman estetis yang menyusun ulang cara kita memahami realitas. Puisi bekerja dengan bahasa yang padat dan intens. Sejarah juga menunjukkan bahwa puisi telah lama menjadi senjata wacana yang kuat dalam berbagai gerakan sosial.

Saya ambil puisi “Aku” Chairil Anwar sebagai berikut.

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Tak perlu lagilah saya jelaskan apa isi dan maksud puisi ini. Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana puisi Aku memberi semangat dan kesadaran baru bahwa ada hal yang dominan yang menindas kemanusiaan. Tentu ada yang tidak sepakat dengan filosofi-ideologis puisi Chairil itu. Sepakat atau tidak sepakat, itulah puisi.

Dapat dibayangkan, akan terasa sangat tidak nyaman jika  puisi yang keren dibacakan dalam ruang-ruang publik yang menuntut ketertiban. Apalagi di ruang-ruang seremonial yang aroma kekuasaan dominan terlihat intens. Puisi itu akan mengganggu.

Sebaliknya, mungkin pantun juga menjadi kurang pas kalau dibacakan di ruang-ruang demonstrasi yang serius. Pantun akan menjadi sesuai dalam demonstrasi abal-abal dan bayaran. Demonstrasi lucu-lucuan.

Itulah sebabnya, tidak mengherankan jika pantun mendapat dorongan revitalisasi berjamaah. Tentu ada situasi politik dominan yang ikut mengondisikan situasi tersebut. Bisa jadi kemungkinan lain karena tumpulnya kesadaran untuk terus menerus melawan kezaliman yang menyebabkan dunia berjalan tidak adil.

Begitulah. Akhirnya, akan ada juga yang berpendapat. Puisi ya puisi, pantun ya pantun. Memang berbeda maksud dan fungsinya. Ya, bukan hanya berbeda, tapi juga berlawanan.

Komentar

Penulis : Aprinus Salam

Berita ini 23 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Senin, 11 Desember 2023 - 17:44 WITA

Pemimpin: Integritas, bukan Popularitas

Jumat, 8 Desember 2023 - 17:01 WITA

Politik dan Hukum Suatu Keniscayaan

Jumat, 24 November 2023 - 15:03 WITA

Ketua KPK Memimpin Dengan Contoh; Contoh Korupsi

Berita Terbaru

Sastra

Pantun Berlawanan dengan Puisi

Sabtu, 25 Okt 2025 - 16:31 WITA

Pendidikan

Kaum Muda dan Budaya Lokal

Jumat, 15 Mar 2024 - 19:27 WITA

Politik

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Rabu, 21 Feb 2024 - 19:07 WITA