Bisa disaksikan bersama, beberapa tahun belakangan ini, pantun kembali hadir cukup marak di ruang-ruang publik. Di acara-acara seremonial, banyak yang merasa perlu “mendapatkan keakraban dan keramahan” dengan menghadirkan pantun.
Cukup banyak pula komunitas-komunitas yang mulai menselebrasi pantun. Bahkan pantun telah banyak mendapat perhatian akademik. Pantun dikaji dalam berbagai perspektif. Kini, rasanya, kalau tidak akrab dengan pantun, seperti kurang beradat dan kurang beradab.
Memang banyak kelebihan pantun. Pantun, bukan saja lebih ramah dan lebih akrab, tetapi secara kultural, politik, dan psikologis, pantun itu menghibur dan melegitimasi. Menghibur karena asosiasi yang dibangun pantun itu seperti kontradiktif dan mengada-ada. Karena kontradiktif dan mengada-ada, pantun hadir menjadi segar dan kadang lucu.
Tetapi, pantun juga melegitimasi. Pantun itu melegitimasi kebudayaan dominan terkait dengan etik kesopanan dan keadaban. Pantun juga melegitimasi kenyamanan.
Memang, tentu banyak pantun yang mencoba mengkritik keadaan sosial yang timpang, mengkritik ketidakadilan. Akan tetapi, pantun tidak mampu dan tidak memberikan pengalaman baru. Saya ambil sebuah pantun dalam https://www.bola.com/ragam/read/5348903/16-contoh-pantun-politik-yang-menarik-disimak?page=3
Di atas lutut berpakaian batik
Warnanya merah berbintik-bintik
Kalau ikut ajang politik
Harus siap menerima kritik.
Spongebob pergi bersama Petrik
Terjun melompat tak bisa naik
Walaupun politik penuh intrik
Masih banyak politisi baik.
Belajar teknik haruslah fokus
Bapak gurunya bernama Markus
Jika berkarier jadi politikus
Janganlah rakus seperti tikus.
Pandawa lima membawa kereta
Panji dilipat di tengah kota
Pemilu bergema di depan mata
Janji terucap seindah permata.
Pantun tidak menyusun ulang pengalaman baru yang berbeda dengan pengalaman pada umumnya. Semua hal yang dikatakan pantun sudah diketahui semua sebagai pengalaman umum/kolektif. Karena tidak ada susunan naratif yang baru, pantun tidak mampu mengganggu/mengintervensi pengalaman atau kesadaran dominan.
Itulah sebabnya, tentu pantun sangat disukai kekuasaan. Kekuasaan tidak terganggu dengan pantun-pantun yang seolah kriitis. Bahkan kekuasaan seperti diajak guyon-guyon. Memang ada sindiran di dalamnya, tetapi hal itu menjadi bahan segar dan lucu-lucuan karena tetap menjadi bagian dari pengalaman bersama. Pantun hanya mendokumentasikan realitas.
Hal pantun yang menghibur dan melegitimasi itu membuat pantun berbeda bahkan berlawanan dengan puisi. Tentu, puisi yang dimaksud di sini puisi yang serius, yang reflektif, yang dibuat dengan pemikiran dan pikiran kritis.
Puisi tidak hanya mendokumentasikan realitas, tetapi juga menciptakan kemungkinan baru bagi cara kita memahami dan merasakan dunia. Fungsi kritik sosial dalam sastra, khususnya puisi, bukan hanya mengungkap kondisi ketimpangan sosial, melainkan juga mendekonstruksi cara-cara dominan dalam memandang dunia.
Puisi sebagai salah satu bentuk seni, memiliki kekuatan politik bukan hanya karena membicarakan ketimpangan, tetapi karena mampu menciptakan pengalaman estetis yang menyusun ulang cara kita memahami realitas. Puisi bekerja dengan bahasa yang padat dan intens. Sejarah juga menunjukkan bahwa puisi telah lama menjadi senjata wacana yang kuat dalam berbagai gerakan sosial.
Saya ambil puisi “Aku” Chairil Anwar sebagai berikut.
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Tak perlu lagilah saya jelaskan apa isi dan maksud puisi ini. Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana puisi Aku memberi semangat dan kesadaran baru bahwa ada hal yang dominan yang menindas kemanusiaan. Tentu ada yang tidak sepakat dengan filosofi-ideologis puisi Chairil itu. Sepakat atau tidak sepakat, itulah puisi.
Dapat dibayangkan, akan terasa sangat tidak nyaman jika puisi yang keren dibacakan dalam ruang-ruang publik yang menuntut ketertiban. Apalagi di ruang-ruang seremonial yang aroma kekuasaan dominan terlihat intens. Puisi itu akan mengganggu.
Sebaliknya, mungkin pantun juga menjadi kurang pas kalau dibacakan di ruang-ruang demonstrasi yang serius. Pantun akan menjadi sesuai dalam demonstrasi abal-abal dan bayaran. Demonstrasi lucu-lucuan.
Itulah sebabnya, tidak mengherankan jika pantun mendapat dorongan revitalisasi berjamaah. Tentu ada situasi politik dominan yang ikut mengondisikan situasi tersebut. Bisa jadi kemungkinan lain karena tumpulnya kesadaran untuk terus menerus melawan kezaliman yang menyebabkan dunia berjalan tidak adil.
Begitulah. Akhirnya, akan ada juga yang berpendapat. Puisi ya puisi, pantun ya pantun. Memang berbeda maksud dan fungsinya. Ya, bukan hanya berbeda, tapi juga berlawanan.
Penulis : Aprinus Salam






