Kebangkitan Orang Miskin Lawan Mafia Tanah

- Admin

Selasa, 30 November 2021 - 08:07 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Tulisan ini berusaha mempresentasikan fenomena perampasan tanah (land grabbing) warga masyarakat desa di Manggarai Barat-Flores. Perampasnya adalah pemerintah negara sendiri atas nama pembangunan. Nama lain dari pelaku ini adalah para oligarki, pengusaha besar dan bule dari luar negeri yang memboncengi program nasional membangun Labuan Bajo menjadi destinasi pariwisata premium. Masyarakat desa yang terancam akan kehilangan tanah sebagai sumber hidup bangkit membangun persekutuan di antara mereka untuk mempertahankannya. Dalam tulisan ini, kebangkitan masyarakat Boleng untuk membentuk Kesatuan Adat Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng (selanjutnya disingkat KAWPGPTB) dipresentasi sebagai contoh.

Boleng sebagai Bekas Kedaluan
Menurut Bonaventura Abunawan,Boleng, sebagai salah satu dari bekas kurang lebih 39 kedaluan di Manggarai (yang berakhir tahun 1960-an), mempunyai kampung (beo) yang pernah menjadi pusat pemerintah kedaluan, yaitu Beo Mbuit, Beo Mbehal dan Beo Rareng. Oleh karena pada masa tertentu orang yang terpilih dan berkuasa sebagai dalu berasal dan tinggal di Kampung Mbuit maka ia disebut Dalu Mbuit.


Pada masa tertentu orang yang terpilih dan berkuasa sebagai dalu berasal dan tinggal di Mbehal maka ia disebut Dalu Mbehal. Demikian halnya dengan Dalu Rareng karena ia berasal dan tinggal di Kampung Rareng maka dia disebut Dalu Rareng. Walau tinggal di masing-masing kampung ini, ketiga dalu ini tetap merupakan dalu yang memerintah seluruh tanah Boleng pada masalalu.


Sekarang ini Kampung Mbuit telah berkembang menjadi Kampung Bentala di Lando, wilayah Terang. Kampung Mbehal dari dulu hingga sekarang tetap disebut Kampung Mbehal dan Kampung Rareng tetap disebut Kampung Rareng yang terletak di dekat Wae Bobok yang sekarang ini telah dibangun sebuah wisata alam di tengah hutan pada Jalan Provinsi Labuan Bajo-Boleng-Pacar-Rego-Reo.


Di wilayah bekas Kedaluan Boleng yang demikian, dari dulu hingga sekarang ada 7 Rumah Adat Gendang. Artinya, ada 7 kampung utama yang memiliki gendang sebagai simbol yang menandai 7 kampung itu masing-masing: pertama, mengakui diri sebagai penduduk asli wilayah tersebut. Kedua, mengakui berasal dari satu nenek moyang. Ketiga, memiliki hak ulayat atas lahan pertanian dan hutan dengan batas-batasnya sendiri. Kekuasaan atas lahan pertanian dan hutan dengan batas- batasnya masing-masing diakui, ditaati dan dihormati oleh masing-masing Kampung Gendang.

Seperti yang berlaku di seluruh Manggarai, setiap Rumat Adat Gendang (RAG) memiliki sistem sosial dan kepemerintahannya sendiri yang disebut pemerintahan masyarakat tradisional Manggarai. Setiap kampung dengan satu RAG atau lebih bersifat independen. Kampung-kampung dengan RAG ini tidak saling memerintah atau menguasai. Di antara mereka, tidak ada kampung dengan RAG yang kedudukannya lebih tinggi dan tidak ada kampung dengan RAG yang kedudukannya lebih rendah.


Semua kampung dengan RAG di dalamnya mempunyai hak dan kedudukan yang sama tinggi, dan mereka 100% otonom. Artinya mereka 100% mengurus rumah tangganya sendiri dan memerintah diri sendiri entah di bidang sosial, ekonomi, politik atau di bidang keagamaan. Lebih dari itu, dari segi ini sebenarnya, orang Manggarai termasuk masyarakat egaliter. Mereka mengaku bahwa semua orang dilahirkan sama sebagai manusia dengan martabat yang sama. Kategori kelas sosial seperti ata kraeng (bangsawan) dan ata mendi atau ata leke (hamba) merupakan perkembangan kemudian karena pengaruh sistem kepemerintahan kedaluan yang bukan merupakan sistem sosial politik asli dari orang Manggarai.


Tujuh Rumah Adat Gendang Boleng

Khusus untuk Kedaluan Boleng, dari dulu hingga sekarang ada tujuh Rumah Adat Gendang antara lain: 1) Gendang Mbehal di Kampung Mbehal, 2) Gendang Mbehel di Kampung Mbehel, 3) Gendang Lada di Kampung Lada, 4) Gendang Legam di Kampung Legam, 5) Gendang Mbuit di Kampung Mbuit, 6) Gendang Rareng di Kampung Rareng dan 7) Gendang Sepang di Kampung Nggieng di wilayah Terang.
Ulayat Rumah Adat Gendang Mbehal

Baca juga :  Ajaran Gereja Katolik dan Hukuman Mati

Wilayah ulayat Gendang Mbehal meliputi: 1) di bagian timur adalah Laing Bakok Boleng Torong Boleng, Golo Pate Lamba, Golo Tado, Golo Rungkam, Bungki Em Rampas, Lekes Kira, Golo Ruteng, Tonggong Sita-MataWae Bobok, Golo Ngkiong, Golo Kerak, Dencang Pau, Wae Nuwa, 2) di bagian selatan adalah Loleng Wae Nuwa, Sunga Wae Sipi, 3) di bagian barat adalah Sunga Wae Sipi-Loleng Wae Sipi-Mata Wae Wangga-Wase Kimpur-Liang Mbako-Mata Wae Hali-Poco Mawo-Kelumpang Tanda-Watu Kator, dan 4) di bagian utara adalah Watu Katur-menyusuri Laut Flores hingga Liang Bakok Torong Boleng.
Tebedo adalah bagian dari ulayat Gendang Mbehal. Kampung Tebedo tidak memiliki gendang. Ia merupakan uma randang atau lumpung (semacam koloni) dari warga masyarakat Gendang Mbehal. “Ase ka’e Tebedo ata jera pande uma le Gendang Mbehal” (saudara-saudara kami di Tebedo hanya diamanatkan untuk buka kebun di sana oleh warga Gendang Mbehal” kata Bapak Theodorus Turuk (86 tahun) di rumahnya di Menjerite dekat Rangko pada tgl 6 Agustus 2020.
Tebedo itu merupakan mukang (rumah yang dibangun untuk menjadi kebun) dari warga Gendang Mbehal. Nama asli dari kampung ini adalah Tobodo yaitu dari kata tobo dan do. Tobo artinya tubuh atau mayat orang meninggal yang diyakini masih bergelintangan, sedangkan do artinya banyak. Menurut orang Mbehal, dulu di Tebedo ada banyak tubuh orang meninggal yang berserakan atau bergentayangan.

Riang Rangko


Kampung Rangko di tepi pantai Laut Flores, yang terletak hanya sekitar 5 km di sebelah timur Kota Labuan Bajo, merupakan wilayah ulayat Gendang Mbehal. Dari segi hukum Rumah Adat Gendang Manggarai, Rangko merupakan anak kampung dari Gendang Mbehal dan warga Kampung Rangko diberi kuasa dan hak hanya untuk riang yang artinya menjaga tanah ulayat Mbehal yang berada di sekitar Kampung Rangko.
Hampir 100% warga masyarakat Kampung Rangko bekerja sebagai nelayan penangkap ikan. Sedangkan dari segi etnis, mereka adalah orang yang berasal dari Pulau Bonerate di Sulawesi Selatan, suku Bajo dan Bima. Orang Bonerate generasi pertama tiba di Rangko sekitar tahun 1860-an yang dihitung berdasarkan masa hidup orang dari RAG Mbehal yang mengizinkan orang Bonerate untuk tinggal di Rangko.


Sewaktu orang Bonerate tiba di Rangko tahun 1860-an itu, nenek moyang orang Mbehal sebagai penduduk asli mengira bahwa mereka adalah orang-orang Empo Gorak yang datang untuk menculik warga dari penduduk asli yaitu orang Mbehal. Didorong oleh kecurigaan ini, maka nenek moyang warga RAG Mbehal turun dari Kampung Mbehal yang terletak agak di pedalaman dengan membawa persenjataan berupa kope (parang), sola (kapak), kurung (lembing) dan panah untuk membunuh orang Bonerate. Orang-orang Bonerate sangat terkejut dan ketakutan. Menurut ceritera, nenek moyang orang Mbehal dan orang Bonerate tidak bisa berkomunikasi satu sama lain karena tidak ada bahasa pengantar. Mereka berbicara dalam bahasa mereka masing-masing tanpa saling mengerti.


Dalam kesulitan ini, mereka hanya berkomunikasi dengan bahasa tubuh atau bahasa isyarat. Menurut sejarah, orang-orang Bonerate tidak siap untuk berperang melawan nenek moyang warga RAG Mbehal. Mereka hanya meminta belaskasihan. Sebagai tanda bahwa mereka tidak mempunyai niat jahat, sebaliknya minta belas kasihan dan ingin mencari nafkah di laut di sekitar pantai yang sekarang disebut Rangko, orang-orang Bonerate mengumpulkan semua perlengkapan kerja mereka berupa parang dan menyerahkannya kepada nenek moyang warga RAG Mbehal. Melalui bahasa isyarat, orang-orang Bonerate mengatakan: “Kalau kalian orang Mbehal mau membunuh kami semua, inilah saatnya. Kami menyerahkan parang-parang ini kepada kalian dan sekarang kalian bisa menggunakannya untuk membunuh kami sendiri jika kalian mau…”

Baca juga :  Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Janji Wasiat antara Gendang Mbehal dan Orang Rangko


Oleh karena bahasa isyarat dalam bentuk penyerahan parang-parang orang Bonerate ini, nenek moyang warga RAG Mbehal akhirnya mengerti bahwa orang-orang Bonerate ini merupakan orang-orang baik dan tidak bermaksud untuk menyerang atau menduduki tanah ulayat mereka. Merekapun membuat sebuah perjanjian yang isi pokoknya adalah sebagai berikut. Pertama, orang Bonerate sebagai nelayan harus mengakui hak ulayat tanah warga RAG Mbehal hingga wilayah Pantai Rangko. Kedua, orang Bonerate sebagai nelayan akan tinggal di Rangko sebagai penjaga wilayah pantai Rangko dan pemimpin mereka akan disebut Tu’a Riang Rangko yang artinya wali atau wakil dari Tu’a Gendang Mbehal untuk mendiami sambil menjaga wilayah Pantai Rangko dan sekitarnya.
Ketiga, setiap pergantian Tu’a Riang Rangko harus dibuat setelah diketahui dan mendapat pesetujuan Tu’a Gendang Mbehal. Keempat, batas-batas lahan yang dipercayakan untuk didiami, digunakan dan dijaga oleh Tu’a Riang Rangko adalah sebagai berikut: 1) Di sebelah timur adalah Nanga Lumut, 2) di sebelah utara adalah pantai laut Flores, 3) di sebelah barat adalah Wae Nampar dan 4) di sebelah selatan adalah Wae Tiku Timbus.
Perjanjian di atas, dengan batas-batas tanah yang diserahkan untuk didiami, dikelola dan dijaga, dipegang oleh orang-orang Rangko dari dulu hingga orang-orang Rangko sekarang dari keturunan Bapak Semahi. Orang-orang Rangko keturunan dari Bapak Semahi ini yang diberi hak untuk mendiami dan menggarap tanah yang sudah ditetapkan dalam perjanjian antara nenek moyang warga RAG Mbehal dan nenek moyang orang-orang Bonerate yang tiba di Rangko pada tahun 1860-an itu dan secara hukum adat Manggarai, tanah dari orang Rangko dari keturunan Semahi tetap merupakan bagian dari ulayat RAG Mbehal. Hak atas tanah tetap ada pada warga RAG Mbehal dan orang Bonerate-Sulawesi, Bajo dan Bima di Rangko hanya diberi hak untuk menggarap sambil menjaganya.
Konsekuensi lebih lanjut dari hukum adat Gendang ini adalah bahwa kalau orang Rangko ingin menjual tanah yang telah diberikan kepada nenek moyang mereka oleh nenek moyang warga RAG Mbehal tempo dulu itu, maka mereka lakukan itu setelah mendapat persetujuan dari Tu’a Gendang Mbehal sebagai pemangku ulayat atas tanah dan hal itupun akan diperhatikan batas- batasnya yang sudah ditetapkan pada zaman dulu.

Masalah Muncul


Dalam perjalanan waktu, orang-orang Bonerate yang mendiami Rangko sekarang ini terdiri atas dua kelompok. Satu kelompok adalah orang Bonerate dari Sulawesi yang tiba di Rangko pertama kali pada zaman dulu di bawah pimpinan Bapak Pua Mandalay dan Pua Serina (atau Laanca). Mereka ini masih memegang janji wasiat antara nenek moyang mereka Pua Mandalay dan Laanca dan nenek moyang warga RAG Mbehal sebagai penduduk asli yang memegang hak ulayat atas tanah yang meliputi wilayah Rangko dengan batas-batasnya.
Orang Rangko kelompok ini adalah orang-orang Rangko yang berada di bawah pimpinan Bapak Semahi (80-an tahun) sekarang ini. Kelompok yang lain adalah orang-orang Bonerate dari Sulawesi yang tiba kemudian di Rangko. Bisa dikatakan, mereka ini adalah para pendatang baru di Rangko. Orang Rangko kelompok ini berada di bawah pimpinan Bapak Abdullah Duwa (70-an tahun).


Dalam rangka program pembangunan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata premium yang hanya berjarak 5 km dari Rangko, tampaknya banyak orang kaya, pebisnis dan para kapitalis dari pelbagai tempat, seperti Jakarta, Ruteng, Kupang, Surabaya dan bahkan dari luar negeri, ingin melirik tanah-tanah di sekitar Kampung Rangko dengan harga-harga yang menggiurkan. Tanah- tanah orang Rangko yang diserahkan melalui sebuah perjanjian wasiat tempo dulu oleh nenek moyang warga RAG Mbehal mulai dijual oleh orang Rangko dari kelompok Abdullah Duwa sejak tahun 2000-an. Padahal orang Rangko dari kelompok Abdullah Duwa tidak diakui oleh warga RAG Mbehal karena mereka adalah pendatang baru di Rangko.
Orang-orang Rangko dari kelompok Semahi baru tahu hal tersebut di atas setelah banyak tanah dijual oleh orang-orang dari kelompok Abdullah Duwa kepada beberapa orang asing. Menyadari hal ini, orang-orang Rangko dari kelompok Bapak Semahi melaporkan hal ini kepada Tu’a Gendang Mbehal di Mbehal. Warga Mbehal pun turun ke Rangko dan menyatakan bahwa penjualan tanah yang dilakukan oleh orang-orang Rangko dari keturuan Bapak Abdullah Duwa tidak sah.

Baca juga :  Nama-Nama Orang Flores


Menyikapi hal ini, para mafia tanah kemudian membuat sebuah siasat. Dengan memakai orang dalam, mereka secara sepihak menunjuk Bapak Abdullah Duwa sebagai Tu’a Golo Rangko. Para mafia tanah ini lalu mengklaim bahwa mereka membeli tanah di Rangko dari Tu’a Golo Rangko dan karena itu pembelian mereka sah menurut hukum adat tanah Manggarai. Padahal sejarah asal-usul orang Rangko dan segala haknya atas tanah di Rangko tidak demikian.


Orang-orang Rangko adalah suku-suku pendatang. Mereka adalah orang Bonerate di Sulawesi, Bajo dan Bima yang bermigrasi ke Rangko tahun 1860-an silam dan melalui perjanjian dengan nenek moyang warga RAG Mbehal, mereka hanya diberi hak tinggal dan diberi peran sebagai penjaga tanah Rangko dengan batas-batasnya yang jelas. Dari dulu hingga sekarang, pemimpin warga Kampung Rangko disebut Tu’a Riang atau Wali atau Penjaga Wilayah Rangko dan pergantiannya harus selalu sepengetahuan dan setelah mendapat persetujuan dari Tu’a Gendang Mbehal sebagai pemegang ulayat atas tanah. Pemipin Kampung Rangko tidak pernah dan tidak bisa disebut Tu’a Golo atau Tu’a Gendang.
Tu’a Golo atau Tu’a Gendang merupakan bentuk sistem sosial ekonomi dan politik tradisional yang khas suku Manggarai dan hanya bisa dimengerti oleh orang Manggarai sebagai penduduk asli. Suku-suku lain seperti orang Bonerate yang datang ke pesisir pantai Manggarai seperti di Rangko tidak memahami sistem sosial ekonomi dan politik tradisional orang Manggarai dan karena itu pempimpin kampung mereka tidak bisa disebut Tu’a Golo atau Tu’a Gendang. Dengan demikian, pengangkatan Bapak Abdullah Duwa sebagai Tu’a Golo Rangko tidak sah, tidak benar dan tidak dapat diterima dari segi hukum adat Manggarai. Akibat lebih lanjut, semua penjualan tanah kepada orang asing atas persetujuannya menjadi tidak sah.

Mengapa Tergiur


Kampung Rangko hanya berjarak 5 km dari Kota Labuan Bajo yang sedang didesain jadi kota wisata premium berkelas dunia. Para oligarki di Jakarta, dan para pebisnis dari mana-mana, sudah membayangkan dan sekaligus memprediksikan bahwa 10 hingga 25 tahun ke depan Labuan Bajo akan menjadi kota metropolitan yang berkembang secara luar biasa. Lalu daerah- daerah pinggiran Kota Labuan Bajo sekarang seperti Rangko, Dalong, Gorontalo atau Nanga Na’e akan perlahan-lahan berubah menjadi bagian dari perkembangan kota besar Labuan Bajo. Hal ini kurang lebih sama seperti Bogor, Tanggerang dan Bekasi yang zaman dulu merupakan kampung-kampung kecil, yang dulu tidak ada model, kini telah berkembang menjadi bagian dari Kota Metropolitan Jakarta. Sebelum Rangko dan Nanga Na’e berevolusi menjadi bagian dari kota besar Metropolitan Labuan Bajo di masa depan, maka para oligarki dan para kapitalis dari pelbagai penjuru dunia jauh-jauh hari sudah mengintip-intip peluang. Sebelum terlambat, mereka mau mendahului semua orang lain untuk mengakumulasi tanah dengan ukuran luas.

Dr Alexander Jebadu SVD

Dosen Sistem Ekonomi Pasar Bebas Tanpa Kendali sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero,Maumere-Flores-NTT.

Komentar

Penulis : Dr. ALexander Jebadu

Berita Terkait

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?
DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?
Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Berita ini 134 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA