Judul : Eleven Minutes (Sebelas Menit)
Penulis : Paulo Coelho;
Tebal : 360 hlm
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : ke-6 tahun 2014
Tulisan ini merupakan sebuah resensi novel Eleven Minutes karya novelis Brasil, Paulo Coelho. Keseluruhan bangunan resensi ini dibagi dalam empat pokok bahasan yaitu latar belakang penulisan novel, sinopsis, pesan dan kritikan.
Latar Belakang Penulisan Novel
Pada dasawarsa 1970-an, Irving Wallace (1916-1990) menulis sebuah buku tentang praktik penyensoran media massa di Amerika. Wallace membongkar kediktatoran pihak-pihak berwenang yang bersekongkol melarang penerbitan sebuah buku tentang seks yang berjudul The Seven Minutes. Paulo Coelho penasaran dengan buku yang tidak pernah diterbitkan itu dan berencana untuk menulisnya sendiri (Coelho, 2014:354).
The Seven Minutes membangkitkan keinginan Paulo Coelho untuk menulis buku tentang seks yang kemudian diberi judul Onze Minutos (Eleven Minutes). Ada dua hal penting dalam The Seven Minutes yang menginspirasi Eleven Minutes, yaitu judul dan kesadaran akan pentingnya memperlakukan subjek seks secara serius. Paulo Coelho menulis,
“Wallace banyak sekali menyebut-nyebut buku The Seven Minutes yang tak pernah ada itu, dan hal tersebut saya rasakan amat menghambat kreativitas saya, kalau tak bisa dikatakan memasungnya. Satu-satunya yang tersisa dan bisa saya kembangkan hanyalah judulnya (dan saya rasa Wallace terlalu konservatif dalam memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk menuntaskan sebuah percumbuan, sehingga saya memutuskan untuk menambah sedikit hitungan menitnya) dan kesadaran akan pentingnya memperlakukan subjek seks secara serius—seperti yang sudah dilakukan para penulis pendahulu saya (Coelho, 2014:355).
Ketika berceramah di Mantua, Italia pada tahun 1997, Paulo Coelho mendapatkan sebuah manuskrip tentang kisah nyata seorang pelacur Brazil, tentang perkawinannya, masalah-masalahnya dengan dunia hukum dan berbagai macam petualangannya.
Pada tahun 2000, Coelho bertemu dengan pelacur penulis manuskrip itu dan rekan-rekan seprofesinya di Langstrasse, Zurich. Saat itu Coelho sudah memutuskan untuk menulis buku tentang seks namun belum menemukan alur dan tokoh utamanya. Pertemuan di Langstrasse itu menyadarkan Coelho bahwa untuk bisa menulis tentang kesucian seks, seorang penulis terlebih dahulu harus mengerti alasan seks selalu dipandang najis (Coelho, 2014:356).
Di Jenewa, Paulo Coelho bertemu dengan Antonella Zara. Nyonya Zara membagikan kisah hidupnya pada Paulo Coelho dan kisah itulah yang menjadi ilham utama Eleven Minutes. Dari kisah-kisah pribadi yang dipaparkan Nyonya Zara, Coelho mendapatkan benang merah yang merangkai seluruh kisah dalam novel ini (Coelho, 2014:357).
Sinopsis
Serentetan kegagalan yang dialami dalam merengkuh cinta sejati di masa muda membuat Maria, seorang gadis di pedalaman Brasil, kehilangan kepercayaan akan cinta. Pertemuan dengan pencari bakat asal Swiss di Rio de Janeiro membuat Maria memutuskan untuk merantau ke Jenewa untuk mencari uang dan ketenaran.
Akan tetapi Maria mengalami kegagalan besar dalam pekerjaannya sebagai penari. Untuk bertahan hidup, ia terpaksa menjadi pelacur. Dalam perjalanan waktu, profesi itu tidak hanya menghasilkan uang bagi Maria, tetapi juga telah melahirkan obsesi. Maria kecanduan.
Maria ditiduri oleh begitu banyak laki-laki, mulai dari pria Arab yang menjadi pelanggan pertama, sampai dengan Ralf Hart, pria yang bersamanya menemukan sacred sex. Perkenalan dan petualangan ranjang bersama klien-klien istimewa Copacabana seperti Ralf hart dan Terence, membawa Maria pada pemahaman tentang kenikmatan rasa sakit dan seks yang suci. Di antara kedua orang ini, Ralf Hartlah yang mengubah keseluruhan hidup Maria.
Ralf hart adalah seorang pelukis terkenal. Pelukis inilah yang pertama kali melihat cahaya dalam diri Maria. Cahaya itulah yang mempersatukan mereka, mula-mula sebagai pelacur dan klien istimewa kemudian terjalinlah relasi cinta pria dan wanita bebas. Bersama sang pelukis, Maria menjelajahi jagat raya seksualitas yang mahaluas, merasakan orgasme yang paling murni, menemukan kembali keutuhan diri, keperawanannya dan pada akhirnya merengkuh kebahagiaan bersama cinta sejati dalam diri Pangeran Idamannya.
Pada akhirnya Maria membatalkan kepulangannya ke Brasil. Dengan berani ia memutuskan membuka periode baru kehidupannya. Suatu rentangan waktu yang akan dilaluinya bersama Ralf Hart. Sekarang dia memiliki impian untuk diraihnya di masa depan. Impian yang akan diwujudkan Maria ialah impian yang dimiliki oleh semua manusia yang lahir sebagai perempuan, yaitu impian untuk “bertemu sang pria idaman (kaya, tampan, cerdas), menikah (mengenakan gaun pengantin, tentunya), mempunyai dua anak (yang setelah dewasa menjadi orang-orang terkenal), dan tinggal di rumah yang indah (dengan pemandangan ke laut)” (Coelho, 2014:13).
Pesan
Eleven Minutes hadir sebagai narasi perlawanan terhadap grand story yang mendepersonalisasi tubuh manusia. Percepatan laju teknologi dan media komunikasi yang tak terbendung, di satu sisi menguntungkan manusia dan di sisi lain meruntuhkan moral sebagian besar orang. Salah satu tanda nyata keruntuhan itu tampak dalam prilaku manusia yang tidak menghargai tubuh, baik tubuh orang lain maupun tubuh sendiri.
Eleven Minutes mengedepankan suatu pemahaman baru tentang tubuh manusia. Meminjam istilah Paulo Coelho sendiri, di dalam diri semua manusia terdapat “cahaya.” Coelho menggunakan kata “cahaya” untuk menggambarkan persona atau pribadi luhur yang terkandung di dalam tubuh manusia.
Eleven Minutes mengarahkan para pembacanya pada pemahaman bahwa hubungan seks sepasang pria dan wanita merupakan suatu tindakan yang sakral. Sakralitas itu mengandaikan cinta di antara dua manusia yang terlibat dalam hubungan badan. Persetubuhan tidak hanya dipandang sebagai bersatunya dua tubuh manusia (persetubuhan biologis), tetapi lebih daripada itu, harus selalu dilihat sebagai pertemuan dua pribadi manusia dalam cinta (persetubuhan teologis).
Persetubuhan, baik dalam pengertian biologis maupun teologis, menghantar manusia pada suatu pengertian bahwa hubungan seksual merupakan sesuatu yang di dalam dirinya sendiri bersifat sakral. Pertualangan seksual sepasang pria dan wanita yang saling mencintai mendekatkan mereka pada kesucian, pada pertemuan langsung dengan realitas keilahian.
“Dan kami orgasme bersama-sama. Yang kami alami bukan lagi siklus sebelas menit, namun sebuah keabadian, seolah sukma kami telah lepas dari badan, lalu kami berdua berjalan-jalan di taman surga sebagai dua sahabat yang saling mengerti. Aku seorang perempuan dan seorang lelaki, dia lelaki dan perempuan. Entah berapa lama pengalaman itu kami rasakan, namun mendadak semua terasa senyap, seakan tenggelam dalam lantunan doa yang khusyuk, seakan buana raya dan kehidupan telah sirna dan berubah menjadi sesuatu yang sakral, tak berwujud dan kekal abadi,” (Coelho, 2014:57).
Kritikan
Paulo Coelho, dalam Eleven Minutes memiliki keberanian untuk berenang melawan arus. Novel ini ditulis pada tahun 2003 ketika dunia sedang dibanjiri hedonisme dan biologisme yang mendewakan kenikmatan tubuh. Eleven Minutes hadir sebagai narasi kontra dengan menampilkan dimensi spiritual kehidupan manusia.
Eleven Minutes membongkar pemahaman lama yang meyakini bahwa seksualitas manusia merupakan hal yang bersifat tabu, kotor, dan najis. Sebaliknya, Coelho dengan argumentasi yang meyakinkan menegaskan bahwa seksualitas manusia bersifat sakral.
Paulo Coelho membangun antropologi yang memberikan penekanan pada kenyataan, tubuh manusia menyingkapkan realitas Ilahi yang digambarkan melalui terma cahaya. Dalam hal ini, Coelho sangat dekat dengan pemikiran Teologi Tubuh Yohanes Paulus II yang meyakini bahwa tubuh manusia merupakan sebuah teologi. Dalam dan melalui tubuh manusia, sabda (logos) tentang Allah (Theos) terucapkan (John Paul II, 2006:203).
Di sisi lain, Eleven Minutes mengandung banyak kebajikan, yang sayangnya disampaikan hanya secara tersirat sehingga pembaca diharuskan untuk mencerna isi buku secara lebih mendalam untuk dapat menangkap maksud Coelho. Kalau seandainya gagal, novel ini hanya akan dipandang sebagai sebuah novel porno belaka karena Coelho menggambarkan sedetail mungkin “ritual” penemuan kesucian seks oleh Maria dan Ralf Hart. Dalam konteks Indonesia sebagai negara yang warga negaranya beragama, Eleven Minutes belum cukup kuat untuk dijadikan sebagai referensi dalam pencarian dan penemuan kesucian seks. Hubungan seks Maria dan Ralf Hart terjadi di luar konteks perkawinan menurut ajaran-ajaran agama yang diakui di Indonesia. Untuk konteks kita perlu ditambahkan satu hal, yakni seks yang suci hanya bisa ditemukan dalam persetubuhan yang terjadi antara sepasang pria dan wanita yang telah menikah