Indodian.com – Tulisan ini beranjak dari diskusi penulis dengan Sarnus Joni Harto di kolom komentar Facebook. Dengan begitu kritis, kawan baik saya ini mengutarakan pernyataan demikian “Saya berbeda pendapat pada bagian gerakan kritis kampus yang akhir-akhir ini berebut panggung. Bagi saya, semua petisi itu tanda kritisisme musiman dan oportunisme kampus”. Lebih lanjut, Sarnus berujar “Saya lebih setuju jika gerakan semacam itu dilakukan tepat sehari setelah MK menetapkan batas minimum usia Cawapres”.
Tentu, ucapan ini juga ‘menggugat’ kesadaran saya. Bagaimana mungkin kampus terkesan bergerak di ‘garis akhir’? Apa yang menyebabkan kalangan intelektual terkesan ‘lamban’ bergerak, padahal mereka memiliki kecakapan epistemik dalam melacak geliat ‘kuasa’ Jokowi?
Membawa Api Kebenaran
Seperti bola api yang menggelinding seketika, belakangan ini protes kalangan intelektual di beberapa kampus membuncah dengan sangat cepat. Setelah segenap sivitas akademika UGM meminta, mendesak, dan menuntut penegak hukum, pejabat negara dan aktor politik yang berada di belakang Presiden Joko Widodo, termasuk Presiden sendiri, untuk segera kembali pada koridor demokrasi” (Kompas, 31 Januari 2024), beberapa kampus kemudian turut terlibat menyatakan ‘sikap’. Bahkan terkini, seluruh Sekolah Tinggi Filsafat se-Indonesia juga turut ‘turun’ gunung menyampaikan kritik terhadap Jokowi (https://www.cnnindonesia.com).
Kita tentu perlu menyambut baik ‘bisingan’ kaum intelektual. Sebab sebagaimana Ikrar Nusa Bhakti, bagaimanapun suara mereka adalah sebentuk penegasan sikap bahwa apa yang telah dilakukan Jokowi tidak sesuai dengan etika dan moral politik yang terkandung dalam ‘Pancasila’ (‘Ketika Kampus Mulai Bersuara’, Kompas, 9 Februari 2024). Kehadiran kaum intelektual adalah sebentuk ‘sikap tanggap’ bahwa skema politik Jokowi memang mencederai prinsip konstitutif demokrasi. Mereka bersuara, menggugat, dan mengambil sikap dengan maksud ‘agar ‘kebenaran demokratis’ dapat kembali ‘pulang’.
Maka, bagi penulis, reaksi beberapa kampus sejauh ini merupakan tanda keterlibatan kaum intelektual yang ‘berorientasi pada nilai’. Menyitir Noam Chomsky, filsuf sekaligus profesor linguistik Amerika Serikat, corak intelektual seperti ini adalah mereka yang mampu bercakap dan bersuara. Mereka bahkan tak segan mengajukan keberatan terhadap pemerintah. Tanpa mesti takut, mereka mengabdikan diri untuk ‘melecehkan’ pemimpin dan menantang otoritas (Chomsky, 2016:4-5).
Intelektual seperti ini hadir dengan satu sikap dasar “Aku ada untuk kebenaran”. Maka wajar kalau mereka bergerak. Sebab mereka menentang otoritas untuk menegakkan kebenaran. Karena itu, kalau selama ini Jokowi mematikan prinsip demokratis, maka kritikan kaum intelektul seperti ini adalah ‘jalan pulang’ untuk membalikan kebenaran. Mereka hidup untuk kebenaran. Itu sebabnya jika ada ‘tabiat’ tak benar, mereka mengkritiknya dengan keras. Sehingga, kalau dalam kisah klasik Yunani, ada seorang dewa bernama Promoteus yang membawa api di tengah ‘kegelapan’. Maka saat ini, publik mesti bersyukur sebab di saat demokrasi sedang dilandang ‘kabut kegelapan’, kaum intelektual justru menunjukkan tanda terang. Demikian, di tengah ekskalasi kekuasaan Jokowi, kaum intelektual justru berupaya mengembalikan cita rasa ‘demokrasi bersama’.
Paradoks Keterlibatan
Anehnya, keterlibatan kaum intelektual sejauh ini ‘dirasa’ cukup problematis. Dalam diskusi kami, misalnya, Sarnus berujar “Akhir-akhir ini, banyak Perguruan Tinggi yang berebut peluang untuk menulis petisi/surat pernyataan. Buat diskusi dadakan lalu di ujung kegiatan mereka luncurkan sikap tertentu. Isinya tentu saja mengutuk praktik politik Jokowi. Unik. Juga aneh”.
Pernyataan ini pun tentu menggugah saya:‘Mengapa gerakan seperti ini justru ramai terjadi belakang ini?’ Tanpa meremehkan gerakan kritis kampus, penulis berpikir bahwa keterlibatan dunia kampus sejauh ini cenderung paradoksal. Kampus adalah rumah pertarungan akal sehat. Ia menjadi ladang kritis-epistemik. Karena itu, kampus seharusnya sudah lama menjadi tempat pertama untuk mendeteksi dan mengonstruksi counter hegemonic atas gejolak otoritarianisme Jokowi.
Jika boleh jujur, gejolak otoritarianisme Jokowi tentu sudah lama diselidiki dalam literatur akademisi. Tom Power, peneliti Australia, misalnya, bahkan sudah lama menegaskan bahwa era politik Jokowi cenderung otoritarianik. Dalam tulisannya berjudul Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline, ia bahkan dengan lugas menegaskan bahwa pada akhir masa jabatan pertama Jokowi, terjadi penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Hal itu beriringan dengan pengarusutamaan dan legitimasi Islam politik yang konservatif dan anti-pluralistik; manipulasi partisan terhadap lembaga-lembaga penting negara; dan semakin terbukanya penindasan dan pemberdayaan oposisi politik. Bagi Power, tren-tren ini telah menyebabkan ketidakseimbangan dalam arena demokrasi, membatasi pilihan demokrasi, dan mengurangi akuntabilitas pemerintah (2018:307).
Selain itu, suara kritis atas kekuasaan Jokowi juga tertuang dalam kajian para ilmuwan semisalnya dalam buku Demokrasi di Indonesia: dari Stagnasi Menuju Regresi (2020) dan Demokrasi Tanpa Demos (2021). Bahkan kajian ini juga didukung riset Ecnomist Intelligence Unit (EIU) yang menegaskan bahwa Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2022 hanya meraih skor 6,71. Skor tersebut sama dengan nilai yang diperoleh Indonesia pada indeks Demokrasi 2021, dan masih tergolong sebagai demokrasi cacat (flawed democracy) (bdk. https://data.tempo.co/data/1624/indeks-demokrasi-indonesia-2022).
Karena itu, hal ini menjadi tanda bukti bahwa peringatan akan kebusukan Jokowi memang sudah ‘jauh-jauh’ hari disampaikan dalam lingkaran menara ‘gading intelektual’. Namun sayang, di tengah beredarnya kajian serius tentang Jokowi, kaum intelektual sepertinya lamban untuk mengonstruksi gerakan masif seperti sekarang ini. Terkesan, kaum intelektual bergerak dengan cara kerja ‘palang merah’, bukannya ‘palang pintu’. Mereka bergerak tatkala mendatangkan ‘korban’ dan enggan berikhtiar untuk meredam sejak ‘awal’.
Ini adalah paradoks keterlibatan kaum intelektual. Padahal menurut Daniel Dhakidae, kaum intelektual (cendikiawan) memiliki kekuasaan atas bahasa dan pengetahuan (2003:55-56), lalu mengapa sejak awal kuasa pengetahuan tidak dipakai sebagai pijakan untuk membrendel Jokowi?. Bukankah sudah banyak kajian, tulisan ataupun diskusi perihal kebusukan Jokowi yang terjadi dalam lingkungan kampus? Namun mengapa gerakan besar-besaran baru terjadi belakangan ini.
Saya membayangkan, jika gugatan beberapa ilmuwan yang mengkritik keras rezim pemerintahan Jokowi ditanggapi dengan cepat oleh sebagian besar kampus, maka demokrasi kita tidak akan berada pada titik stagnan. Jika gerakan masif kaum intelektual sudah jauh-jauh hari dikumandangkan, maka Jokowi tentu ‘gertak’. Pun, kalau seandaianya petisi dan gerakan ‘pernyataan sikap’ sudah lama dikonstruksi oleh kaum akademisi, maka demokrasi sudah lama menjadi pulih.
Risiko Politik Memabukkan
Memang keterpilihan Jokowi sebagai Presiden dalam konstitusi politik 9 Juli 2014, diiklaim sebagai indikasi bahwa demokrasi bisa berjalan lebih baik. Pasalnya, sebagaimana Ahmad Sahide, kala itu, Jokowi dinilai sebagai Presiden pertama yang terpilih dari figur yang bukan ketua umum parpol atau elite parpol. Ia juga dianggap sebagai Presiden yang merepresentasi kalangan pinggiran (‘Jokowi, dari Kesempurnaan Demokrasi Menuju Politik Dinasti’, Kompas, 3 November 2023).
Hanya saja, pemakluman seperti ini mengantarkan publik pada pengkultusan Jokowi. Jokowi kemudian dipersonifikasi seolah-olah ia adalah pemimpin yang tidak pernah berbuat salah. Ia diklaim sebagai pemimpin yang benar. Karena itu, Jokowi selalu diidentikan dengan kebenaran.
Tentu, pengkultusan semacam ini juga merasuki nalar dunia akademisi. Di UGM, misalnya, beberapa akademisi mengakui bahwa dahulu mereka memuji-muji cara kepemimpinan Jokowi di tingkat nasional. Bahkan, Koentjoro, Guru Besar UGM pun turut mengakui bahwa ia dulu berkiblat pada Jokowi. “Betul-betul (kecewa) sekali”, demikian Koentjoro,“Kalau dulu kan kita puja-puja. Barangkali kesalahan fatal kita terlalu menempatkkan dia terlalu tinggi sehingga dia (merasa) tidak pernah salah” (https://amp.kompas.com).
Karena itu, ini adalah tanda bukti bagaimana dunia kampus dirasuki nalar ‘pengkultusan’ Jokowi. Hanya sayang, pengkultusan semacam ini memformat rasionalitas politik kritis-demokratis. Kaum intelektual serasa ‘tak berdaya’. Atau bisa saja ‘dininabobokan’ sejenak. Dalam pusaran kemabukkan seperti ini, hiperbolisasi Jokowi membuat kaum intelektual enggan cepat tanggap.
Karena itu, kalaupun mereka memiliki kesanggupan epistemik untuk melacak gejala otoritarianisme Jokowi, hanya saja ‘nalar pengkultusan’ terhadap Presiden ‘Wong Cilik’ tersebut membuat gerakan kaum intelektual menjadi ‘vakum’. Menyitir Chantal Mouffe, dalam kondisi semacam ini, mereka belum menemukan ‘momen politis’ untuk dijadikan sebagai pijakan kolektif dalam melakukan perlawan terhadap musuh bersama (common enemy). Kesadaran kolektif dicekik oleh daya tawar sesaat politik yang meyakinkan. Pun konsientisasi kolektif diperlemah oleh sikap politik Jokowi yang terkesan ‘merakyat’.
Tanpa malu dan ragu, dalam nalar pengkultusan semacam ini pun, mereka bersimpati mendukung Jokowi. Mereka menaruh kepercayaan penuh atasnya. Dalam keadaan inilah ia dipersonofikasi sebagai ‘pembawa berkat’ atas krisis yang terjadi dalam tubuh demokrasi. Karena itu, wajar kalau gerakan kaum intelektual terkesan lamban. Sebab, saking mengkultuskan pejabat, kaum intelektual serasa ‘apatis’ dan cenderung memaklumkan ‘kekeliruannya. Demikian pula, wajar kalau gerakan masif seperti saat ini tidak menguat sejak lama, sebab dalam nalar pengkultusan, mereka rela mereduksi diri sebagai intelektual teknokrat: ‘hamba pelayan’ kebijakan.
Catatan Reflektif
Kita perlu mengapresiasi pernyataan ‘sikap kritis’ beberapa kampus yang santer terjadi belakangan ini. Kalaupun sedikit gelisah, karena kaum intelektual berjalan ‘lamban’, hanya saja demokrasi saat ini butuh ‘obat penawar’. Saat nalar warga dijejali pengkultusan Jokowi, kita justru butuh alarm keras dunia intelektual semacam ini.
Namun demikian, kegelisahan atas sikap kaum intelektual seperti saat ini mestinya menjadi otokritik. Kritisisme memang perlu dirawat. Demikian, kecakapan nalar mesti terus dijaga. Hanya saja, kaum intelektual mesti berdistansiasi dengan kekuasaan. Siapa pun pejabatnya, kaum intelektual selalu bersuara. Selain itu, kritisisme kampus mesti menderang setiap waktu. Sebab, jika tidak demikian, menyitir Sarnus, bisa saja kehadiran kaum intelektual hanya sekadar ‘tanda kritisisme musiman’
Penulis : Ican Pryatno (Pengajar di SMPK St. Ignatius Loyola, Labuan Bajo)