Respons atas Buku “Filosofi Kematian: Rahasia Hidup Bahagia di Zaman Ini”

- Admin

Senin, 4 Maret 2024 - 08:07 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Apakah ada kaitan antara kesadaran akan kematian dengan kebahagiaan? Tampaknya sulit menemukan jawabannya dalam buku-buku filsafat yang sudah ada sekarang ini. Tapi, buku “Filosofi Kematian: Rahasia Hidup Bahagia di Zaman Ini” memberikan tawaran yang menarik. Kitab karya Dhimas Anugrah dan Jessica Layantara yang yang diterbitkan oleh Kanisius ini menilik pertanyaan mengenai hubungan antara kesadaran akan kematian dan kebahagiaan yang telah menjadi topik diskusi di berbagai bidang, termasuk filsafat, psikologi, dan antropologi.

Sederet tokoh publik filsafat pun turut berkomentar tentang buku ini, sebut saja Prof. Peter Carey, Ayu Utami, Prof. Bambang Sugiharto, Dr. Fitzerarld Sitorus, dan RD. Dr. Simon P. Lili Tjahjadi. Dikatakan oleh Prof. Carey bahwa memang yang kita butuhkan adalah mengembangkan “energi kematian,” yaitu kesiapan dan keberanian menghadapi kematian setiap saat. Akademisi dari Universitas Oxford itu menambahkan, “Dalam tradisi Samurai Zen Jepang, hal ini merupakan esensi dari semangat pejuang. Terima kasih untuk buku yang bijaksana ini oleh Dhimas Anugrah dan Jessica Layantara yang telah mengingatkan kita akan kebenaran-kebenaran ini” (hal. 5).

Respons Prof. Carey tampak selaras dengan tujuan buku ini ditulis, seperti yang dikemukakan oleh Jessica sendiri, di mana ia menggolongkan manusia dari responsnya terhadap kematian menjadi tiga: Pertama, yang melihat kematian sebagai sesuatu yang alamiah, yang tidak terelakkan. Kedua, yang melihat kematian dengan penuh ketakutan. Dan, ketiga: yang telah memahami benar bahwa mereka akan mati, dan juga telah dapat menerima kenyataan ini dengan terbuka. Tesis kedua penulis ini berniat mewujud-nyatakan manusia-manusia dalam golongan ketiga ini (hal. 17-19). Perbedaan golongan pertama dan ketiga adalah dalam bahwa golongan ketiga tidak hanya melihat kematian sebagai sesuatu yang alamiah, tapi juga terbuka kesadarannya untuk mengisi kehidupan secara rasional, elok, dan bajik (baca hal. 28).

Baca juga :  Tubuh Dan Persetubuhan Itu Suci

Dhimas menulis, “Dengan mengetahui kematian menanti di ujung hayat, kita dapat belajar memandang kematian sebagai pengingat kehidupan. Jika hari ini kematian belum tiba, berarti kita masih memiliki hari ini. Kita memiliki kesempatan atas hidup kita, atas tindakan kita, dan arah yang ingin kita tuju” (hal. 28). Filsuf muda in tepat, sebab setiap hari adalah kesempatan lain untuk mengambil tindakan dalam hidup kita dan berjalan di dalam kebajikan. Sejalan dengan pemikiran Seneca, bahwa hidup sejatinya adalah perjalanan menuju kematian, maka setiap orang perlu berlatih mempersiapkan kematian sepanjang hidupnya. “Perlu seumur hidup untuk belajar bagaimana menjelang ajal,” demikian Seneca berujar.

Saya melihat, harapan para penulis adalah setelah membaca buku ini sidang pembaca akan mampu merangkai makna tentang kematian itu sendiri, dan akhirnya bisa menerima bahwa suatu hari ia akan berhadapan dengan kematian; entah itu kematiannya sendiri maupun kematian orang-orang di sekitarnya. Buku ini tampak secara filosofis mendorong penikmatnya melihat bahwa kesadaran akan kematian dapat mendorong seseorang mencari makna dalam hidupnya. Memahami keterbatasan waktu hidup dapat memotivasi seseorang memberikan nilai dan arti yang lebih besar pada pengalaman hidup mereka.

Baca juga :  Perlawanan Tanpa Titik dalam Novel “Perempuan di Titik Nol”

Kesadaran akan kematian dapat membantu seseorang lebih memahami prioritas hidupnya. Dengan memahami prioritas hidup, maka seseorang dapat menjadi bahagia, yaitu dengan menerima realitasnya sekarang ini dan di tempat di berada. Kebahagiaan itu sekarang dan di sini, bukan nanti di sana. Maka tepatlah komentar Ketua STF Driyarkaya RD. Dr. Simon P. Lili Tjahjadi atas buku ini, “Tulisan menarik tentang kematian nanti untuk kehidupan kini.” Kesadaran akan hidup yang dimiliki saat ini dan akan kematian nanti memang dapat memotivasi seseorang lebih berpikir rasional dan memakna. Dengan menyadari bahwa hidup bersifat sementara, seseorang mungkin lebih cenderung menjalani hidup dengan penuh kehadiran dan kesadaran.

Buku yang ditulis bersama oleh dua sahabat Dhimas Anugrah dan Jessica Layantara ini dengan gaya bahasa yang enak dibaca menunjukkan bahwa realitas kematian justru dapat mendorong seseorang berpikir rasional dan mengisi kehidupannya dengan memberikan makna hidup. Secara jeli novelis Ayu Utami berkomentar, “Buku ini, berisi renungan-renungan pendek tentang menyikapi kematian secara rasional dan filosofis, memang sangat dibutuhkan terutama di zaman yang telah kehilangan kesederhanaan.” Sementara Prof. Bambang Sugiharto menilai, “Buku karya Dhimas Anugrah dan Jessica Layantara ini berfokus pada sikap manusia terhadap kematian, bukan ihwal apa yang terjadi saat manusia mati. Tulisan dalam buku ini mendalam, tetapi juga realistis; tepat untuk membangun sikap yang autentik dalam hidup keseharian.”

Baca juga :  Kesederhanaan yang Megah dan Niat Baik Menyelamatkan yang Terbuang

Beberapa orang yang telah menerima kenyataan kematian dapat merasa lebih damai dan bahagia karena mereka tidak lagi cemas terhadap aspek-aspek kehidupan yang di luar kendali mereka. Beberapa orang mungkin menemukan pemahaman ini membebaskan dan memberikan arti, sementara yang lain mungkin merasa cemas atau terbebani olehnya. Tipe orang yang manakah kamu? Buku “Filosofi Kematian” mungkin bisa membantumu merenungkannya. Fitzerald Sitorus berkomentar, “Buku tipis karya Dhimas Anugrah dan Jessica Layantara ini membawa kita lebih dekat ke fenomena kematian. Refleksi-refleksi yang disampaikan dengan jernih dan gamblang itu memungkinkan kita melihat dan memahami kematian.”

Yang jelas, “Filosofi Kematian” bukanlah buku tentang apa yang terjadi setelah kematian, karena tidak ada seorang pun yang mengetahuinya secara empiris. Untaian aksara dalam buku ini lebih kepada menilik dialektika filosofis tentang kematian, juga duka yang mengikutinya, dan bagaimana itu terkait dengan kebahagiaan. Salut kepada penerbit Kanisius, sebuah penerbit di Yogyakarta yang buku-buku filsafatnya saya gemari sejak lama, karena telah menerbitkan buku yang super keren ini. Buku ini telah memberi manfaat bagi saya, bahkan menenangkan, jadi saya pun menyarankan Anda mulai perjalanan bersama “Filosofi Kematian” dan belajar menjadi manusia yang bahagia dari setiap halaman yang kamu baca. Buku dapat dipesan via WA di Kanisius: wa.me/62822374780

No Wa: 082237478080

Komentar

Penulis : Teresa Melisa

Berita Terkait

Perlawanan Tanpa Titik dalam Novel “Perempuan di Titik Nol”
Kesederhanaan yang Megah dan Niat Baik Menyelamatkan yang Terbuang
Tubuh Dan Persetubuhan Itu Suci
Berita ini 350 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA