๐ฃ๐ฟ๐ฎ๐๐๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐ ๐ฆ๐๐ฝ๐ฒ๐ฟ๐ฝ๐ผ๐๐ฒ๐ฟ
Menjadi negara superpower berarti Indonesia harus memiliki dua kapasitas strategisโstrategic ownership. Yaitu, senjata pemusnah masal dan kekuatan ekonomi. Pertama, Indonesia tidak punya senjata ini dan kemungkinan tak akan bisa memiliki senjata penentu perang dunia tersebut. Tapi China, Rusia, Amerika Serikat, Perancis dan Inggris berhak memiliki sebagai konsekuensi geopolitik pasca Perang Dunia II dan pengatur keseimbangan keamanan dunia selama Perang Dingin sampai sekarang. Ditambah India dan Pakistan serta Israel dan percobaan Iran yang ditentang keras Washington dan Tel-Aviv.
Kedua, kapasitas ekonomi mengendalikan perekonomian dunia atau minimal di kawasan sendiri. Indonesia belum memiliki kapasitas itu seperti Jepang dan Jerman tetapi memiliki modal penduduk, sumber daya alam dan posisi kewilayahan strategis. Tidak semua negara di Asia Tengara memiliki potensi kekuatan ekonomi ini. Bahkan Jepang, Korsel dan Singapura adalah kekuatan ekonomi kawasan dengan sumber daya alam terbatas.
Modalitas ini jika dikalkulasi dengan cermat akan bisa memproyeksikan politik dan ekonomi nasional. Kita tidak bisa mengandalkan label Middle Power atau keanggotaan G-20. Tiada lain karena ukuran yang dipakai masih terbangun dalam cara pikir unipolar bahwa aliansi AS dan negara satelitnya tidak bisa mengatasi sendiri krisis ekonomi 1998 dan 2008 yang disebabkan oleh kontradiksi struktural dalam kapitalisme finansial Wall Streets. G-20 adalah upaya kapitalisme finansial unipolar mendistribusikan risiko dan tanggung jawab. Indonesia harusnya berpartisipasi dengan cerdas dan bukan dengan kebanggaan yang menyesatkan.
Belum memiliki dua kapasitas strategis di atas tidak berarti Indonesia harus membatalkan cita-cita superpower. Peluang dibuka oleh dua hal fundamental dalam geopolitik terkini. Pertama, benturan geopolitik antara kekuatan unipolar AS bersama collective West yang terpecah-belah dan aliansi kekuatan multipolar bersama China-Rusia sebagai penggerak utama. Kontraksi dua tata dunia ini memberi insentif geopolitik bagi Indonesia dengan ruang makin terbuka untuk melakukan manuver strategis yang dikenal dengan istilah ketidakjelasan strategisโstrategic ambiquity.
Ketidakjelasan strategis tidak sama artinya dengan netralitas atau bebas-aktif dalam pengertian cari aman dalam kekacauan dunia. Tetapi sebaliknya Indonesia melakukan aksi-aksi cerdas yang tetap mengamankan kepentingan nasional dengan kekuatan unipolar dan kekuatan multipolar sekaligus. Singkatnya, melakukan netralisasi benturan terutama potensi perang nuklir di kawasan sambil melayani tujuan utama menaikkan daya tawar Indonesia dalam perdagangan, investasi dan pengembangan industri pertahanan.
Kekuatan unipolar Amerika Serikat dalam jangka pendek masih memegang kendali moneter dan arahan fiskal nasional. Mengingat kita semakin tersandera hutang pinjaman luar negeri dan terutama hutang melalui terbitan SBN yang berpengaruh pada investasi berkelanjutan dan pendapatan negara. Kita terkoneksi dengan kekuatan ini melalui IMF, Bank Dunia, WTO, sistem transaksi global dalam dolar dan investasi asing yang sangat berpengaruh pada ekonomi makro Indonesia terkini.
Sikap politik terbuka menentang agitasi perang Amerika Serikat dalam krisis Taiwan misalnya akan berpengaruh pada hubungan ekspor-impor kita baik dengan Washington sebagai mitra dagang terbesar ketiga untuk Indonesia maupun dengan aliansi ekonominya seperti Jepang, Singapura dan Korea Selatan yang juga adalah mitra dagang terpenting Indonesia. Karena diketahui bahwa sanksi ekonomi atau perang dagang tidak selalu terbuka tetapi menggunakan jalur preferensi mitra ekspor-impor, substitusi impor dan reorientasi rantai-pasok atau disrupsi berkepentingan.
Hal ini tentu dipahami karena pokok perkara bukanlah semata-mata soal hubungan antarnegara dalam benturan geopolitik di permukaan seperti ancaman perang atau krisis keamanan kawasan. Tetapi sebetulnya mengenai hubungan dagang dan investasi yang saling terkoneksi, yang sengaja dijaga atau diganggu, dengan konsekuensi serius bagi ekonomi makro, stabilitas politik dan keamanan nasional di kawasan Indo-Pasifik.
Demikian halnya dengan sikap politik luar negeri kita terhadap kekuatan multipolar China-Rusia. China adalah mitra dagang terbesar Indonesia selain hutang luar negeri baik langsung dengan Beijing maupun bank-bank swasta China termasuk terpenting kemitraan investasi infrastruktur selama ini dan masa datang. Kemitraan investasi dan perdagangan harus tetap berlangsung dan berkembang untuk kepentingan nasional.
Pertunjukan sikap politik yang ceroboh dapat mengubah pilihan China dalam preferensi mitra dagang, substitusi impor untuk komoditas tertentu atau mengubah rantai-pasok. Berkurangnya kebutuhan impor China dari Indonesia adalah kerugian jangka panjang bagi rakyat Indonesia karena kita tidak sedang berada dalam posisi tawar yang kuat dalam negosiasi perdagangan kawasan yang semakin terkonsentrasi dalam kesepakatan bersama.
Jika terjadi, akan sangat merugikan perekonomian Indonesia terutama andalan ekspor nonmigas mencakup industri manufaktur, industri otomotif, elektronik, sektor pertanian-perkebunan komoditas termasuk perikanan, makanan olahan dan sejumlah logam ekpor. Meski dalam jenis dan volume perdagangan yang berbeda, Jepang, Korsel dan negara Asia Tenggara dan Indochina berhadapan dengan tantangan yang sama dengan Indonesia.
Kedua, peluang aksi cerdas geopolitik Indonesia sangat terbuka oleh karena dunia multipolar sedang terbangun di enam kawasan strategis dengan tantangan dan peluang yang dinamis bagi formasi kekuatan ekonomi baru. Blok-blok ekonomi dan keamanan kawasan tidak ditentukan atau didikte sepenuhnya oleh China dalam aliansi keamanan bersama Rusia. Aliansi China-Rusia tidak lebih dari penggerak dan simpul. Kekuatan ekonomi multipolar ke depan lebih ditentukan oleh kompetisi antarnegara untuk menjadi kekuatan ekonomi dan keamanan kawasan.
Sementara dalam kaitan dengan duel geopolitik dua model tata dunia, dapat diibaratkan dengan permainan catur yang tak berimbang. Rusia adalah dua benteng bagi China sebagai permaisuri dalam pergerakan tanpa raja. Berhadapan dengan kekuatan unipolar dengan Washington sebagai raja bersama deretan pion dan loper bernama Collective West dalam posisi tak beraturan dan terbuka untuk disusup, diarahkan dan disingkirkan dengan krisis energi, disrupsi rantai pasok, hilangnya pasar ekspor dan bergesernya dominasi SWIFT.
Kontraksi dalam dunia multipolar, berupa perang dagang dan agitasi nuklir, dipastikan berlarut-larut terutama karena Amerika Serikat tidak akan menyerah begitu saja terhadap ekspansi China-Rusia. Krisis Ukraina dan krisis Taiwan menjadi aset negosiasi, dimunculkan dan ditunda kembali, sambil menanti konsekuensi dari setiap provokasi di dua kawasan terpenting ini.
Sejak tahun 2021, melalui program global Build Back Better World, Washington terus melakukan konsesi-konsesi baru dengan negara-negara di kawasan Eropa dan Indo-Pasifik sebagai dua wilayah unipolar tersisa yang masih bisa digarap. Indonesia menjadi target utama Amerika Serikat berupa asistensi keamanan, investasi baru dan bantuan-pinjaman selain diterobos melalui proksi utamanya dalam hubungan dagang dengan Indonesia seperti Jepang, Korsel, Singapura dan Australia.
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya