Demokrasi dan Kritisisme

- Admin

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Indonesia baru saja melaksanakan Pemilu yang berlangsung pada 14 Februari 2024.  Khusus untuk pilpres, hasil sementara dari hitung cepat (quick count) oleh Litbang Kompas, Kamis (15/2/2024), telah mengklaim pasangan Prabowo-Gibran sebagai pemenang unggul 58,60 persen. Sementara itu, pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, mendulang 25,26 persen suara dan pasangan capres-cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD mendapatkan 16,14 persen suara (Fitria C. Farista, Kompas.com-15/02/2024).

Namun, data ini bersifat “sementara” dan belum pasti karena masih menunggu hasil resmi dari KPU. Meski belum dipastikan siapa presiden dan wakil presiden, namun pada dasarnya Indonesia telah melaksanakan perhelatan Pemilu. Siapa pun presiden dan wakil presiden yang terpilih, semua pihak mesti menerima secara rasional. Sebab, mereka tetaplah pemimpin kita yang punya tugas melayani kepentingan warga negara.

Tujuan Pemilu bukan hanya soal siapa presiden yang layak, melainkan bagaimana ia menjalankan pemerintahan secara demokratis. Karena itu, tugas warga negara ialah terus mengawal roda pemerintahan yang dijalankan Presiden terpilih agar selalu berjalan dalam koridor demokrasi. 

Pemilu memang salah satu bagian dari dinamika demokrasi, sebab saat itulah momentum yang tepat bagi rakyat menggunakan hak politiknya. Namun dalam demokrasi, partisipasi rakyat tidak hanya tunggu Pemilu, melainkan sepanjang demokrasi itu berjalan. Karena itu, siapa pun presiden yang terpilih hak warga untuk berpolitik tetap menjadi keniscayaan.

Untuk itulah Indonesia menganut sistem demokrasi dengan konsekuensinya ialah kebebasan rakyat untuk berserikat, berpendapat, berkumpul dan berpartisipasi dalam urusan politik dijamin secara konstitusional. Roda pemerintahan tidak hanya dijalankan oleh elit politik tetapi semua warga negara dilibatkan dalam budaya diskursus sehingga kebijakan politik selalu didasarkan atas deliberasi publik.

Kebijakan politik di Indonesia pertama-tama harus dimulai dengan deliberasi. Istilah deliberasi berasal dari kata Latin deliberatio, lalu diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi deliberation. Istilah ini berarti ‘konsultasi”, “menimbang-nimbang” atau- kita telah memiliki kosa kata politik ini- “musyawarah” (Hadirman, 2009; 128). Demokrasi deliberasi menjadi elemen penting sebagai ajang warga negara untuk berkonsultasi dan menimbang dengan penguasa terkait keputusan politik. Deliberasi berupaya mencari titik temu antara berbagai perbedaan pandangan politik sehingga memungkinkan keputusan politik yang diambil dapat menguntungkan semua pihak.

Teori demokrasi deliberatif merupakan salah satu pemikiran filosofis Jurgen Habermas. Menurut Habermas, deliberasi lebih menekankan pada prosedur formasi opini dam aspirasi secara demokratis. Dengan ungkapan lain, legitimitas keputusan politik tidak terletak pada hasil komunikasi politik, melainkan pada prosesnya. Semakin diskursif proses itu, yakni semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, semakin legitim pula hasilnya (Hardiman, 2009:130). Deliberasi tidak menuntut supaya suara otoritas dianggap legitim sehngga harus dijalankan, tetapi suara otoritas diuji secara publik melalui diskursus yang panjang.

Baca juga :  Colin Crouch tentang Post-Demokrasi

Melalui deliberasi, suara-suara kritis publik diberi kesempatan bukan untuk menghilangkan kebijakan politis tetapi memberi basis agar keputusan politik sesuai dengan tuntutan konteks dan budaya masyarakat. Karena itu, dalam deliberasi yang dikedepankan adalah rasionalitas komunikatif dengan basis argumentatif tanpa harus menggunakan sentimen yang berujung pada brutalitas. Lemahnya budaya deliberasi membuat keputusan politik memicu sikap saling serang di antara berbagai pihak.

Barangkali untuk dijadikan contoh di sini ialah konflik di Rempang, Kepulauan Riau, di mana terjadi bentrokan antara masyarakat dengan aparat keamanan. Menariknya presiden Jokowi menilai kericuhan di Pulau Rempang terjadi karena ada komunikasi yang kurang baik. Menurut Presiden, kericuhan yang terjadi saat warga unjuk rasa memprotes proyek Rempang Eko City di kawasan pulau itu, semestinya tidak akan terjadi sekiranya warga diajak bicara dan diberikan solusi (Cyprianus A. Saptowalyno, Kompas, 12/9/2023). Masalah di Rempang kiranya menjadi preferensi bagi para pengambil kebijakan betapa keputusan politik harus dimulai dengan proses deliberasi agar suara-suara kritis diengarkan. Demokrasi hanya bisa bertumbuh jika suara kritis publik dihargai.

Demokrasi dan Semangat Kritisisme           

Demokrasi merupakan ruang inklusif yang menjamin setiap warga negara agar dapat berpartisipasi di setiap kebijakan politik. Demokrasi sebagai ruang partisipasi mengandaikan aspirasi rakyat diberi jaminan sehingga tidak ada lagi roda pemerintahan yang dijalankan secara otonom oleh penguasa. Setiap kebijakan mesti dipertimbangkan di dalam ruang deliberasi karena kebijkan politik pertama-tama didasarkan atas pertarungan ide yang konstruktif yang melibatkan masyarakat sipil dan pemerintah. Oleh karena itu, sikap kritik yang dilontarkan masyarakat sipil terhadap pemerintah tidak harus dinilai sebagai ancaman, sebaliknya suatu upaya konsolidasi demokrasi demi terciptanya kebijakan yang fair dan diterima oleh semua pihak.

Demokrasi akan bertumbuh bila kritisisme dijamin karena lajunya roda pemerintahan tidak bisa tanpa dikendalikan oleh masyarakat sipil. Ibarat sebuah kapal, ia akan berlayar dengan baik ketika ada nakhoda yang mengendalikannya sehingga menyelamatkan banyak orang. Demikian dalam demokrasi kekuasaan tidak akan menjadi otoriter sejauh masyarakat sipil terus mengontrolnya. Karena itu, kontrol masyarakat pertama-tama harus dimulai dengan berani untuk bersikap kritis terhadap penguasa. 

Kritisisme berasal dari kata “kritika” yang merupakan kata kerja dari “krinein” yang artinya memeriksa dengan teliti, menguji, membeda-bedakan (Udo Z Karzi, 2021; 235). Berpikir kritis berarti tidak mudah menerima kebenaran dari luar, sebaliknya terus menimbang, mengevaluasi dan menguji sampai kebenaran itu berpuncak pada kepastian dan mendapat legitimasi secara universal. Masyarakat sipil harus berada dalam posisi ini. Memang terkesan imperatif namun amat penting sebagai upaya menciptakan negara demokratis.

Baca juga :  Dekalog sebagai Vaksin Anti Korupsi

Selain itu, dalam demokrasi menjadi penguasa (pemerintah, pemimpin) artinya mengambil konsekuensi untuk siap dikritisi. Sebab, dalam setiap kebijkan yang ditelurkan para pemimpin tetap harus berpegang pada prinsip fabilisme yang terus diterapkan demi memproduksi kebijakan yang bermutu (Karzi, 2021; 235). Sebab, kebijakan politik selalu mengandaikan kehendak bersama sehingga tidak ada lagi korban yang merasa rugi sebagai dampak dari kebijakan tersebut. Peran serta masyarakat kecil setidaknya meminimalisasi dampak destruktif dari kebijakan politik, seperti tidak ada lagi masyarakat adat yang kehilangan hak tanahnya akibat penggusuran secara massif, krisis ekologi, pemanasan global dan dampak lainnya.

Pertanyaannya ialah, siapa saja yang berpartisipasi di dalam sikap kritisisme itu? Peran serta semua masyarakat adalah jawabannya. Namun, beberapa institusi berikut menurut penulis mesti berperan dengan militan dalam mengawal demokrasi. Pertama, kampus. Kritisisme kampus dapat kita baca secara historis terutama pada gerakan reformai tahun 1998, di mana mahasiswa tampil dengan militan melawan kediktatoran Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto. Kekuatan mahasiswa berhasil menumbang kekuasaan otoriter Soeharto yang berlangsung selama 32 tahun. Kebangkitan gerakan ini tentu lahir dari sikap kritis mahasiswa terhadap rezim yang penuh bermuatan otoritarianisme.

Selain gerakan reformasi, akhir-akhir ini sejumlah media tanah air baik media sosial maupun media mainstream menyajikan informai seputar aksi guru besar, dosen dan mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia, seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran dan beberapa kampus lainnya yang amat getol dan militan mengkritik presiden Jokowi yang diklaim telah menggerus citra demokrasi.

Seruan beberapa kampus ini lahir dari rasa keprihatinan terhadap kondisi demokrasi yang mengalami kemunduran selama masa pemerintahan presiden Jokowi. Presiden dianggap telah melakukan kecurangan dalam kontestasi Pemilu 2024 dan dinilai tidak netral dengan menyalahgunakan kekuasaan untuk mendukung calon tertentu (Koran Tempo 5/2/2024).

Petisi beberapa kampus tersebut sebagai suatu kegembiraan bahwa kampus memang masih menamaikan entitasnya sebagai komunitas akademik yang kritis. Hal ini patut diapresiasi sebab dengan kritisisme, kampus tidak mudah terjinak oleh hegemoni elit politik yang membuat kampus enggan untuk bersikap kritis. Namun di sisi lain, perlu diberikan catatan kritis bahwa suara kritisisme kampus mesti tidak mengenal waktu. Suara kritisisme kampus tidak harus tunggu demokrasi sebentar lagi terjatuh ke dalam jurang. Sebaliknya, kritisisme kampus harus terus mengawali roda kekuasaan supaya kekuasaan tidak bertendensi menjadi otoritarianisme.

Baca juga :  Urgensi Penelitian Sosial terhadap Pembentukan Kebijakan Publik

Namun, menjadi paradoks ketika mahasiswa sebagai agent of changes tidak berani mendengungkan suara kritis, tetapi lebih suka sensasi terhadap atraksi elit politik di media sosial ketimbang menjeli lebih jauh substansi dari gagasan dan kebijkan politiknya. Kalaupun ada suara kritis, itu mungkin hanya sebatas wacana dengan tidak mengkontektualisasi di tengah kegaduhan politik. Inilah yang menjadi autokritik terhadap diri mahasiswa agar lebih mencirikan entitasnya sebagai kaum muda yang progresif dan revolusioner.

Kedua, organisasi masyarakat (selanjutnya disebut ormas). Tujuan utama pembentukan ormas adalah bagaimana mengontrol kekuasaan negara agar dapat berjalan sesuai dengan amanat konstitusi (Mohammad Muliyadi, 2018; 47). Dalam bidang sosial politik, kemunculan ormas dinilai sebagai respon atas kebijakan politik yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Lahirnya ormas merupakan upaya untuk berkonfrontasi terhadap kebijakan pemerintah yang melanggar perintah konstitusi agar kembali kepada koridor demokrasi, yakni membawa rakyat kepada kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan.

Ketiga, dalam demokrasi keberadaan oposisi juga amat urgen dan menjadi keniscayaan. Kehadiran oposisi tidak harus dinilai sebagai ancaman, namun amat mutlak diperlukan sebagai pengontrol jalannya roda kekuasaan. Keterpautan antara oposisi dan demokrasi sesungguhnya tidak lepas dari prinsip yang mendasarinya, yakni penghargaan yang tinggi atas perbedaan. Dalam demokrasi, perbedaan bukan barang haram yang harus dimusuhi atau dijauhi, melainkan merupakan bata merah yang tidak terpisahkan dari bangunan demokrasi (Juliantara, 1998; 78).

Dalam peranannya bagi demokrasi, oposisi menurut Juliantara (1998) paling tidak mengandung dua unsur berikut. Pertama, independen. Suatu oposisi tentu saja bukan menjadi bagian dari kekuasaan, melainkan harus mengambil jarak agar dapat melakukan check and balance secara bebas. Kedua, merepresentasikan kepentingan masyarakat luas. Karena itu, oposisi harus memiliki akses yang luas ke masyarakat. Ini penting agar suara oposisi bukan sekadar kepentinagn segelintir orang, melainkan wakil dari kepentingan banyak orang.

Akhirnya selain keterlibatan dari ketiga lembaga di atas, kontrol terhadap kekuasaan juga tidak lepas dari peran masyarakat sipil yang lebih luas. Artinya, kontrol terhadap pemerintah tidak harus melalui organisasi yang telah terinstitusional. Siapa saja dapat mengontrol rezim sejauh pro-demokrasi. Mari mengawal demokrasi dengan membangun semangat kritisisme!

Komentar

Penulis : Ovan Baylon

Editor : Rio Nanto

Berita Terkait

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?
DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?
Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024
Berita ini 239 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA