Masyarakat adat
Menurut Bank Dunia (World Bank),17 masyarakat adat adalah kelompok sosial dan budaya yang distingtif dari masyarakat lainnya dan yang secara kolektif memiliki relasi khusus dengan tanah dan sumber daya yang mereka tempati. Relasi itu berkaitan dengan identitas, mata pencaharian, kesejahteraan fisik dan psikologis. Mereka juga didefinisikan sebagai penduduk asli, kelompok minoritas, dan kelompok yang rentan tercabut dari hak-hak mereka.18
Secara global, 5 persen dari populasi dunia adalah masyarakat adat, yang tersebar di 90 negara. Secara domestik, pada tahun 2018 tercatat sekitar 70 juta masyarakat adat yang dikelompokkan menjadi 2.371 komunitas adat dan tersebar di 31 provinsi. Kalimantan dan Sulawesi merupakan dua wilayah dengan komunitas adat terbanyak, kemudian menyusul Sumatera dan wilayah Bali-Nusra serta Maluku, sedangkan posisi terakhir ditempati wilayah Papua dan Jawa.19
Masyarakat adat, sebagaimana dikatakan oleh UNDP, adalah “aktor terdepan dan paling penting dalam perlindungan lingkungan, perjuangan mengurangi perubahan iklim, dan kesuksesan SDGs”.20 Jauh sebelum masyarakat modern sadar akan isu lingkungan hidup, masyarakat adat telah mulai memelihara alam secara turun temurun. Sebab itu, wacana tentang lingkungan hidup tidak mungkin tidak melibatkan masyarakat adat.
Baca Juga : Mabuk Kuasa
Baca Juga : Menyapa Aleksius Dugis, Difabel Penerima Bantuan Kemensos RI
Namun, pada saat yang sama, masyarakat adat sebenarnya adalah kelompok yang rentan terhadap praktik marginalisasi dan diskriminasi di tengah budaya modern yang menekankan rasionalisai, mekanisasi, dan industrialisasi. Lebih parah lagi, masyarakat adat merupakan penyumbang 15 persen dari masyarakat termiskin di dunia. Dari sebuah penelitian terhadap sepuluh negara di Amerika Latin, Asia, dan Afrika, Bank Dunia menyimpulkan bahwa angka kemiskinan masyarakat adat lebih tinggi daripada penduduk lainnya, bahkan kesenjangan kemiskinan itu lebih besar dari rata-rata nasional. “Ini berarti bahwa tidak hanya ada lebih banyak masyarakat adat daripada non-adat yang diklasifikasikan sebagai masyarakat miskin, tetapi kemiskinan mereka juga lebih parah”, demikian Bank Dunia.21
Menurut International Labour Organization (ILO), minimnya pengakuan legal negara terhadap hak dan kedudukan masyarakat adat merupakan faktor dasar di balik marginalisasi masyarakat atau komunitas adat. Hal ini, menurut ILO, terepresentasi melalui terbatasnya regulasi dan kebijakan politik yang memberi perhatian dan perlindungan serius terhadap masyarakat adat.22
Hal ini sangat riskan dialami masyarakat adat di Indonesia. Menurut Komnas HAM, selain karena kurangnya pengakuan negara, marginalisasi masyarakat adat di Indonesia turut dibentuk oleh “proses perencanaan tata kelola kehutanan sejak masa penjajahan Pemerintahan Hindia Belanda [yang] sampai saat ini minim partisipasi masyarakat”.23 Proyek pembangunan seringkali hanya melibatkan pemerintah dan elit teknorat, sedangkan pandangan dan kehendak masyarakat adat jarang didengarkan. Mereka sering diperlakukan sebagai penerima pasif pembangunan. Bahkan aksesibilitas masyarakat adat terhadap pelayanan dan fasilitas serta insfrastruktur publik sangat terbatas.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya