Literasi Menuju Moderasi Agama

- Admin

Kamis, 7 Oktober 2021 - 18:15 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com Gus Dur dinobatkan sebagai Bapak pluralisme Indonesia. Sebuah ungkapan Gus Dur yang tajam menghadirkan hentakan keras dalam hati saya berbunyi: “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, maka orang tidak akan menanyakan apa agamamu.” Kata-kata presiden ke-4 Indonesia ini memang sederhana, tetapi memiliki makna yang mendalam.

Masih membekas dalam ingatan saya pada tahun 2018 silam, para pemuda yang berasal dari Masjid A Taqwa Onekore, Ende, Nusa Tenggara Timur lengkap dengan peci yang terpasang rapi di atas kepala, ketika menjaga keamanan perayaan Paskah di depan Gereja Paroki St. Yosef Onekore Ende, Nusa Tenggara Timur.

Saya tahu betul bahwa mereka bukanlah umat Kristiani. Namun, di saat saya dan umat lainnya berdoa di dalam gereja, remaja Masjid rela menjaga keamanan agar perayaan Paskah berjalan lancar. Menariknya, ketika jemaat di Masjid A Taqwa merayakan ibadah Idul Fitri, orang Muda Katolik Paroki Onekore yang menjaga keamanan.

Saya tertegun ketika menyadari bahwa masih ada rakyat Indonesia yang memegang teguh nilai toleransi di antara umat beragama. Hal ini membuat saya merasa gagal sebagai kaum muda. Jujur saja, saya tertampar melihat realita yang ada di depan mata saya saat ini. Ketika melihat ketulusan mereka, saya sadar bahwa kebaikan dan kemanusiaan adalah agama universal.

Keberagaman Agama di Indonesia

Kita tinggal di Indonesia yang dikenal akan keberagamannya. Bangsa ini memiliki potensi untuk menjadi bangsa yang besar dan berjaya, baik melalui kekayaan dan keragaman alam maupun kekuatan manusianya. Akan tetapi, bangsa ini berpotesi seperti Afganistan yang terus bertikai sesama warga jika konflik agama tidak dihentikan. Kasus diskriminasi agama seperti yang terjadi di Sintang, Kalimantan Barat 3 September 2021 menjadi salah satu contoh kehadiran sekelompok orang atas nama agama tertentu merusak tempat ibadah dan mendiskriminasi kelompok minoritas.

Baca juga :  Profesionalisme Guru di Tengah Pandemi

Saat ini kita tidak bisa menolak kenyataan bahwa, kita hidup di tengah masyarakat yang majemuk. Kala melihat para pemuda yang memiliki sikap menjunjung tinggi toleransi dalam keberagaman agama, saya bangga dan turut mengapresiasi. Namun, tidak jarang juga banyak orang di luar sana yang membatasi sosialisasi dengan umat yang berbeda agama dengan mereka sehingga ini akan melunturkan nilai toleransi yang semula adalah identitas bangsa kita.

Sebuah Dunia Pascakebenaran

Berbicara tentang agama ini memang cukup sensitif mengingat berkaitan dengan keyakinan dasariah setiap orang. Pola pikir yang menganggap keyakinan agama sendiri lebih baik dari agama lain membuat pemeluk agama cenderung fanatik.

 Saat ini pola pikir yang merendahkan keyakinan agama lain marak di media sosial. Sejumlah tokoh atas nama agama tertentu menarasikan cerita-cerita agitasi dan diskriminasi terhadap orang lain. Konten-konten ini tidak memiliki kadar kebenaran tetapi disampaikan dengan model penyajian yang menarik. Ini adalah sebuah dunia pascakebenaran.

Dalam masyarakat pascakebenaran, ilmu pengetahuan diludahi, kebenaran dicemarkan, dan teknologi-teknologi tersembunyi dipakai untuk mengeksploitasi data dan media sosial serentak memanipulasi, mempolarisasi dan menyerobot opini-opini. Segalanya terjadi pada suatu tempat dan waktu di mana kepercayaan publik menguap, teori konspirasi tumbuh bak cendawan di musim hujan, keaslian media tidak jelas dan emosi lebih unggul daripada fakta dan kebenaran (Peter Tan, 2016:54).

Dalam pascakebenaran bukan lagi fakta melainkan sensasi yang memperoleh dukungan. Pernyataan-pernyataan palsu diulang-ulangi hingga meyakinkan, sedangkan fakta nyata tidak dihiraukan karena sudah dianggap  sebagai sesuatu yang sangat sekunder, yang sesungguhnya tidak penting. Mengutip John Prior, sebagaimana ditandaskan Arron Bank, yang mensponsori kampanye Brexit, “Fakta tidak berlaku. Kita harus mendekati masyarakat secara emosional. Inilah keberhasilan kandidat Trump di Amerika Serikat”. 

Baca juga :  Toleransi Melalui Dialog Antaragama Menuju Agama yang Moderat

Pentingnya Budaya Literasi Yang Kritis

Karatnya daya pikir kritis dan cerdas menjadi cikal bakal hoaks ini mudah memengaruhi cara berpikir masyarakat Indonesia. Dalam konteks ini maka dibutuhkan daya literasi yang kritis.  Daya kritis ini mengandaikan budaya literasi yang tinggi. Literasi berbanding lurus dengan minat membaca.

Daya kritis menjadi filtrasi berdasarkan informasi yang diperoleh dari sumber-sumber lain. Justru inilah yang menjadi persoalan besar di negeri kita. Budaya membaca menjadi aktivitas yang langka setiap generasi. Pengkultusan budaya dongeng dan tuturan lisan masih mendominasi sebagian besar warga masyarakat. Tak mengherankan kehadiran berita hoaks mudah menyerap cara  berpikir yang miskin daya kritis.

Menjawabi persoalan ini dibutuhkan arah baru untuk membumikan budaya literasi dan menangkal penyebaran hoaks. Hal ini penting sebab hukuman yang berat bagi penyebar hoaks tidak menjamin efek jera bagi pelaku.

Hoaks adalah suatu industri masif yang akan selalu memasuki media massa kita setiap saat. Ia semacam ideologi baru yang menyusup ruang publik serentak mengguncang ruang privat. Penangkapan penyebar hanyalah fenomena gunung es yang masih menyimpan benih-benih kejahatan yang membutuhkan waktu untuk meletus. Oleh karena itu, pembentukan masyarakat yang kritis menjadi suatu opsi fundamental dalam menangkal penyebaran hoaks.

Di sini intensifikasi peran pendidikan menjadi penting. Maka dari itu – tanpa mengurangi pertanggungjawaban sosial, pendidikan dipertahankan oleh peserta didik “sebagai pelaku perkembangan zaman” dan  pendidikan yang intens akan  menjadikan mereka untuk kritis membaca tanda-tanda zaman. Mengutip Education Commision’s Repors dari India, dapat dikatakan bahwa pendidikan bukan pertama-tama memberikan kepada peserta didik apa yang dikehendakinya, melainkan apa yang dibutuhkannya (J. Drosts, 1993:29).

Baca juga :  Menjadi "Gentleman"?: Silang Pendapat Locke dan Rousseau tentang Pendidikan

Literasi dan Membudayakan Moderasi

Di era globalisasi sekarang ini, dinamika perubahan terjadi begitu cepat dan serentak. Dunia yang selalu bergerak (runaway world) menurut Anthony Giddens membutuhkan kemampuan yang khusus untuk menghadapinya. Atas dasar itu, penguasaan teknologi dan profesionalisme merupakan suatu keniscayaan.

Peran ideal pendidikan yang demikian dapat diwujudkan jika proses dalam pendidikan mendorong peserta didik untuk mandiri dan kritis membaca perkembangan zaman. Hal ini dapat diimplementasikan melalui pembiasaan budaya literasi terhadap peserta didik.

Model penguatan literasi ini akan membentuk moderasi beragama. Moderasi beragama berprinsipkan keadilan dan kebaikan. Dengan keadilan yang kita terapkan dalam masyarakat dan agama yang mengutamakan kebaikan, maka pertentangan agama di antara masyarakat bisa diredam.

Kita memang tidak akan bisa menghindari konflik, baik internal maupun eksternal. Kita juga tidak bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki perilaku kita yang menyepelekan toleransi dan akhirnya menghancurkan bangsa kita sendiri, tetapi tidak ada salahnya untuk kita mulai bergerak sekarang dengan memperdalam literasi dan membudayakan moderasi.

Sebagai generasi muda, kitalah yang diharapkan menjadi generasi penjunjung toleransi. Kita seharusnya menjadikan keberagaman sebagai warna yang indah, bukan dasar terjadinya konflik yang menghancurkan bumi pertiwi. Tentang nasib tunas baru bangsa ini nantinya, kita generasi muda akan menjadi penentu sejak detik ini.

Kita percaya bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang toleran. Pemahaman yang bijak terhadap literasi mengarah pada penghargaan terhadap orang dari agama lain dan penghormatan terhadap agama minoritas. Kita perlu membudayakan moderasi dan berdiri sebagai generasi penjunjung toleransi demi Indonesia yang lebih baik di masa kini dan di masa depan.

Luciana Dellashania Goa

Siswi SMAK Syuradikara Ende

Finalis Lomba Features Festival Seni dan Literasi (FELSI) Nasional 2021

Komentar

Berita Terkait

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa
Sastra Jadi Mata Pelajaran
Kaum Muda dan Budaya Lokal
Disrupsi  Teknologi dan Dinamika Pendidikan Kita
Budaya Berpikir Kritis Menangapi Teknologi yang Kian Eksis
Stempel Meritokrasi
Urgensi Literasi Digital di Era Pasca-Kebenaran 
Pembelajaran Agama Bercoral Multikultural
Berita ini 37 kali dibaca
Tag :

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA