Reduksi term “pelacur” pada kaum perempuan telah menimbulkan sikap diskriminatif atas kaum perempuan khususnya di Indonesia. Harus diakui bahwa reduksi ini berangkat dari tradisi patriarkal yang sejak zaman dahulu sudah melekat erat dalam benak orang-orang Indonesia, bahkan dalam benak kaum perempuan Indonesia itu sendiri.
Secara umum, budaya-budaya di tanah air sangat menekankan dominasi lelaki atas kaum perempuan. Dalam bukunya yang berjudul “Ketimpangan Gender dalam Jurnalistik”, Thamrin Amal Tomagolo menandaskan bahwa istilah jawa “konco wingking” misalnya, termuat pesan: sang suami adalah pimpinan sedangkan istri sebatas pelengkap. Keberadaan istri berada di bawah kekuasaan sang suami.
Tradisi mengenakan jilbab bagi perempuan muslim juga mengungkapkan kecenderungan patriarkal yang amat jelas. Dikatakan bahwa jilbab dikenakan untuk menutup aurat agar tidak menggoda kaum lelaki. Seolah-olah perempuanlah sumber kesalahan ketika lelaki tergoda. Bahkan ada agama tertentu yang merestui suami beristri lebih dari satu.
Dalam iklim berfilsafat pun, kaum perempuan masih ditempatkan sebagai “yang tidak sama” dengan pria, atau dalam terminologi filosofis, perempuan adalah “yang lain” (the other), sementara pria adalah “diri” (the self) (Donatus Sermada Kelen, 2006). Kisah penciptaan yang dilukiskan oleh perjanjian Lama, juga menampilkan kehadiran perempuan ‘setelah’ lelaki; Perempuan adalah tulang rusuk yang diambil dari lelaki.
Film Indonesia juga rupanya menggambarkan perempuan dengan identitas yang terkesan vulgar. Perempuan sering kali digambarkan sebagai daya tarik, kekuatan, dan gairah seks (Widjajanti M. Santoso, 2011). Dalam beberapa film, kehadiran perempuan merupakan bagian dari penokohan lelaki. Dengan demikikan, pemirsa dapat melihat tokoh perempuan sebagai objek erotik-pemandangan yang sesuai dengan keinginan lelaki ketika menikmati sebuah tontonan. Dalam beberapa iklan, perempuan ditampilkan sensual dalam rangka promosi produk tertentu.
Perempuan yang ditampilkan media cenderung sebatas pemuas mata kaum lelaki dan demi kepentingan lelaki. Misalnya iklan yang mengusung tubuh yang langsing. Sebenarnya iklan mau mengatakan bahwa tubuh yang langsing sangat dibutuhkan oleh kaum lelaki.
Apa yang telah dipaparkan di atas setidaknya memberikan pemahaman kepada kita, mengapa term “pelacur” entah dalam teks atau pun dalam konteks orang Indonesia, melulu direduksi pada kaum perempuan. Sebenarnya, bila dibuat perbandingan, jumlah pelacur lebih banyak adalah kaum lelaki ketimbang perempuan. Bayangkan, satu perempuan pekerja seks komersial yang bekerja satu minggu akan melayani lelaki yang berbeda dalam setiap jam. Berapa lelaki yang telah melacurkan diri dengan satu perempuan tersebut? Bukankah jumlahnya sangat banyak?
Berdasarkan apa yang telah diulas sebelumnya, kita dapat membuat definisi yang lebih komprehensif dan adil atas apa yang kita sebut sebagai pelacur. Sebetulnya pelacur sama sekali tidak identik dengan perempuan. Lelaki yang melacurkan diri juga adalah seorang pelacur. Lelaki yang demikian disebut gigolo. Mereka menjajakan dirinya pada para perempuan yang membutuhkan pemuasan seksual. Namun lebih dari itu, “pribadi pelacur” tidak lain ialah siapapun yang melacurkan diri demi kejahatan.
Dalam artian, siapapun yang “menjual” dirinya, kemampuannya, kelebihannya, popularitasnya, jabatannya, ideologinya, demi kepentingan asusila (amoral), termasuk dalam kategori “pelacur”. Seorang ustad yang berkotbah tentang belas kasih, namun mengusung tindakan pembunuhan terhadap yang lain adalah ustad yang “melacur”. Seorang pastor yang berkotbah tentang pengampunan, tetapi berselingkuh dengan janda adalah seorang “pelacur” yang sesungguhnya.
Perlu diketahui bahwa istilah yang merujuk pada tindakan melacurkan diri dalam arti seksual ialah WTS (wanita tunasusila). Kemudian istilah ini diganti dengan istilah PSK (pekerja seks komersial). Istilah PSK tampaknya lebih adil, karena tidak menyertai keterangan jenis kelamin manapun. Memang, istilah “pelacur” harus merangkum baik perempuan ataupun kaum lelaki.
Di bagian ini, penulis sama sekali tidak membahas penilaian moral atas tindakan seksual para PSK. Ulasan penulis tidak berdasarkan otoritas ajaran agama manapun. Memang sulit mengambil kesimpulan tanpa terlebih dahulu mengadakan penelitian lapangan yang ketat. Namun, di sini penulis mencoba menganalisa relasi antara para PSK dan penyewa PSK. Biasanya, PSK dibayar oleh pengunjung. Nah, bisa dipastikan bahwa seorang pekerja seks komersial takkan pernah memberikan tubuhnya seandainya pengujung tidak memberikan bayaran yang sesuai. Antara PSK dan pengunjung memiliki kepentingan masing-masing.
PSK dalam hal ini memiliki kepentingan untuk mendapatkan biaya dari pekerjaanya. Di sisi lain, pengunjung memiliki kepentingan untuk memenuhi impian seksualnya. Dalam konteks ini, penulis membuat kesimpulan bahwa PSK di sini menghadirkan diri sebagai pekerja. Baginya, menjajakan tubuh bagi pengunjung adalah profesi yang mendatangkan uang. Sebaliknya, pengunjung menghadirkan diri sebagai penikmat seks.
Berdasarkan logika ini, dapat disimpulkan lebih jauh, bahwa keduanya, entah PSK atau pengunjung sama-sama melacurkan diri. Sebab, mereka melakukan hubungan seksual tidak berdasarkan pernikahan. Namun, keduanya memiliki motivasi tindakan yang berbeda. Pelacuran yang dilakukan oleh PSK bisa jadi didorong oleh desakan ekonomi. Baginya, tidak ada pilihan lain selain menjadi PSK. Ia terpaksa menjadi seorang PSK.
Sebaliknya, sudah barang pasti, para pengunjung yang datang pasti didorong oleh libido yang tak dapat dikendalikan lagi. Dalam perspektif filosofis Plato, seorang manusia yang tak mampu menahan nafsunya, masih barada dalam taraf yang setara dengan hewan. Dalam logika yang demikian, boleh dikata, pengunjung masih setara dengan hewan. Berdasarkan analisis ini, pengunjung ditempatkan sebagai pelaku yang berlibido, sedangkan PSK adalah pribadi yang berprofesi (bekerja).
Rekonstruksi terhadap konsep tentang ‘pelacur’ juga sangat relevan di tengah fenomena digital saat ini. Kejahatan baru di era digital ini ialah penyebaran hoax (berita bohong). Pelaku kejahatan ini datang dari berbagai kalangan, entah itu religius, pejabat ataupun mahasiswa. Apapun alasannya, memberitakan apa yang tidak benar merupakan sebuah tindakan “melacurkan” diri. Dalam hal ini, pejabat politik yang menyebarkan hoax tentang lawan politiknya adalah seorang pelacur. Ia telah melacurkan dirinya demi kepentingan politis tertentu. Hidup moral seorang pekerja seks komersial yang jujur, lebih baik ketimbang sang pejabat penyebar hoax.
Pejabat yang korup dengan demikian termasuk dalam kategori pelacur. Agama yang melegalkan tindakan membunuh demi kebahagiaan surgawi adalah agama yang sedang melacurkan diri. Dalam hal ini, para teroris termasuk oknum yang melacurkan diri. Seorang religius yang melanggar hidup kaulnya dengan sendirinya sedang melacurkan dirinya.
Penulis Guru Agama Katolik di Pascal Montessori School, Bandung, Jawa Barat
https://ott-ip.com/search?type=shopping&sort=time_desc&keyword=희윤이질사임신먹버남
https://ott-ip.com/search?type=shopping&sort=time_desc&keyword=희윤이질사임신먹버남
https://ott-ip.com/search?type=shopping&sort=time_desc&keyword=희윤이병신