Tag: Politik

  • Media Siber dan Demokrasi di Era Milenial

    Media Siber dan Demokrasi di Era Milenial

    Indodian.com – Media siber dalam tataran ideal menjadi salah satu aktor yang turut menjaga dan mengembangkan demokrasi. Dalam arti luas, kontribusi media siber berupa peningkatan kesadaran politik warga negara, penguatan otonomi diri dalam pengambilan keputusan politik dan pematangan etika sosial untuk kehidupan bernegara.

    Dalam arti khusus, media meningkatkan interaksi antara masyarakat dan negara dalam iklim demokratis dan antara warga negara dan perwakilan politiknya atau antara kelompok kepentingan dan komunitas pembuat kebijakan di tingkat pemerintah. Terhadap tuntutan tersebut, kita menemukan kenyataan bahwa media siber kita hari ini masih ditandai banyak masalah dan tantangan. Kebebasan yang ditawarkan dalam atmosfer demokrasi menjadi semacam cambuk yang melukai esensi demokrasi itu sendiri.

    Baca Juga : Wajib Tahu! Enam (6)Tahap Penting dalam Menulis
    Baca Juga : Sore Nanti, Kita ke Pantai

    Media Siber dan Demokrasi: Tantangan Politik di era Milenial

     Perkembangan media siber memberikan andil positif bagi konsolidasi demokrasi. Keterbukaan dan kemudahan akses informasi yang ditawarkan media siber menunjang iklim partisipasi yang menjadi salah satu corak khas demokrasi. Warga berelasi tanpa intimidasi dan diskriminasi. Setiap warga memiliki ruang yang sama untuk mengakses informasi dan mengkritisi kebijakan publik.

    Kehadiran media siber ini kemudian menjadi semakin strategis dalam era milenial. Corak khas dalam era ini adalah kebangkitan generasi milenial yang lahir pada akhir 1980 – awal 2000-an. Generasi ini berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi yang dikenal dengan sebutan “Generasi Y” bersikap mandiri, bebas berekspresi serta sangat mudah dalam hal komunikasi.

    Mereka mampu membentuk berbagai relasi dengan cepat dengan semua orang di segala belahan dunia bahkan tanpa tatap muka secara fisik. Hal ini dibenarkan dalam analisis Kilber bahwa karakteristik yang terbentuk pada generasi milenial adalah kecanduan internet, percaya diri dan harga diri yang tinggi dan lebih bersikap terbuka dan bertoleran terhadap perubahan.

    Baca Juga : Metafora Perang dalam Penanganan Covid
    Baca Juga : Mencintai Wanita dengan Tanda Lahir di Bibir

    Secara garis besar ada dua pendekatan untuk memahami gerakan generasi mula era milenial dalam terang pemikiran Suwono, yaitu:(1) pendekatan kultural; (2) pendekatan struktural. Pendekatan kultural melihat bahwa munculnya gerakan generasi muda era milenial berkaitan dengan perubahan sosial akibat modernisasi di mana dalam perubahan tersebut terjadi transfer nilai-nilai politik, pengetahuan dan sikap politik akibat adanya sosialisasi politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan pendekatan struktural yang melihat gerakan ini sebagai reaksi terhadap kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

    Adanya kondisi tersebut menyebabkan generasi milenial melakukan gerakan menuntut perubahan agar kesenjangan tersebut berubah menjadi adil dan sejahtera. Gerakan ini kerap disebut juga sebagai gerakan moral (moral movement).

    Namun, ekstentifikasi gerakan generasi milenial ini sebagian besar hanya idealisme melalui media siber tanpa ada suatu gerakan progresif ke ranah praksis. Di sini media siber dan demokrasi di Indonesia pada era milenial mengalami tantangan. Tantangan bersama adalah bagaimana menjadikan ruang digital sebagai bagian integral dari konsolidasi demokrasi. Tantangan lain adalah bagaimana memastikan agar sikap dan perilaku anti-politik yang disebarluaskan dalam dunia siber direspon dengan sikap kritis oleh warga digital dan diterapkan dalam dunia nyata.

    Baca Juga : Malia
    Baca Juga : Desa: Sentra Budaya dan Peradaban

    Dalam perspektif dinamika politik nasional sejak reformasi kita dapat merumuskan masalah dan tantangan strategis media siber bagi masyarakat. Adapun sejumlah masalah krusial. Pertama, kecenderungan yang meningkat di kalangan warga masyarakat khususnya generasi milenial untuk berpolitik melalui media siber. Bersamaan dengan itu rendahnya aktivitas politik atau pelibatan diri dan kelompok dalam politik praktis melalui gerakan sosial-politik, kelompok kepentingan dan partai politik.

    Rata-rata politik Indonesia masih berada di bawah cengkeraman oligarki – orang-orang tua, kelahiran 1940-an dan 1970-an. Hanya sedikit pemimpin politik kelahiran 1980-an atau berusia 35-50 tahun. Generasi kepemimpinan politik saat ini masih didominasi usia 50 hingga 70 tahun. Di legistalitf nasional pun relatif sama, dominasi baby boomers masih sangat terasa (Kompas, 30 Maret 2021).

    Masalah kedua, pembajakan media siber oleh elit opurtunis, sudah menjadi perilaku politik yang lumrah dalam beberapa tahun terakhir. Media siber berlaku sebagai teater akrobatik bagi politisi dan pejabat. Alih-alih bekerja keras mencegah masalah, isu-isu publik yang dikemukakan pegiat, media siber direspon dan dibajak untuk menunjukkan kinerjanya yang responsif terhadap tuntutan publik. Terlepas dari mitos pelayanan publik secara digital, fenomena ini lebih banyak bercerita tentang sikap dan perilaku opurtunis birokrasi, parlemen dan partai politik kita. Opurtunisme ini juga dirasa kian penting untuk menjatuhkan rejim yang berkuasa atau sebaliknya menistakan lawan-lawan politik.

    Baca Juga : Zidane, Tuchel, dan Tuhan
    Baca Juga : Korupsi dan Ketidakadilan Gender

    Masalah ketiga, politik identitas yang belakangan ini menjadi gejala di media siber yang mengkhawatirkan bagi demokrasi Indonesia. Politik identitas menjadi suatu kendala bagi demokrasi. Politik identitas mengendap dalam sisi-sisi gelap yang ingin diatas oleh rasionalitas seperti prasangka-prasangka dan stigmatisasi.

    Demikian melalui politik identitas orang memutuskan untuk membenci, mengintimidasi pihak lain (Budi Hardiman, 2017:71). Gejala ini tidak terlepas dari dua masalah yang disebutkan terdahulu. Alih-alih mengguncang struktur politik, demokrasi melalui media siber ikut memperkuat wacana politik elit dengan terus menerus membicarakan skandal aktor politik atau sengitnya konspirasi merebut dan menjatuhkan kekuasaan.

    Keempat, hoaks. Penetrasi berita hoaks melalui media siber menjadi suatu kegelisahan baru dalam frame konsolidasi demokrasi. Kebebasan dan otonomi setiap individu tak pelak memudahkan orang untuk mereproduksi hoaks. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa masifnya berita bohong atau hoaks di media siber tak bisa dilepaspisahkan dari perkembangan teknologi yang begitu pesat.

    Hoaks berkembang di media siber saat ini banyak didalangi oleh motif-motif tertentu. Hoaks hadir bukan hanya berkutat pada urusan politik saja, melainkan juga disisipi sentiment-sentimen keagamaan tertentu. Hoaks menjadi pintu masuk paham liberalisme, fundamentalisme, sekterianisme dan radikalisme. Ekses negatif ini berpotensi merontokan konsolidasi demokrasi.

    Baca Juga : Milenial dan Pendidikan Vokasi
    Baca Juga : Kemenangan Barcelona di Mata Seorang Madridista Setengah Moderat

    Peluang Strategis Media Siber bagi Konsolidasi Demokrasi

    Keseluruhan uraian di atas hendak memperlihatkan sentralnya posisi, peran dan tanggung jawab media siber bagi Indonesia hari ini. Media siber menjadi locus strategis diskursus rasional dan referensi pengetahuan terhadap isu-isu publik. Media siber berpeluang menjadi suatu gerakan politik baru sebagai antitesis terhadap mode perpolitikan yang merongrong entitas demokrasi.

    Bertolak dari pengalaman Indonesia saat ini bahwa media siber di era milenial diinstumentalisasi untuk kepentingan pragmatis elite politik dan keterbatasan ekses generasi milenial untuk mengubah haluan politik, ada beberapa rekomendasi yang penting dalam kerangka konsolidasi demokrasi di Indonesia. Pertama, pengaktifan kanal-kanal pergerakan pemikiran progresif generasi milenial. Kelompok generasi milenial memiliki idealisme yang tinggi untuk kemajuan demokrasi. Tetapi mereka tidak memiliki corong untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah. Kehadiran media siber menjadi medium partisipatoris.

    Baca Juga : Perjalanan Panjang El Barca Sebelum Buka Puasa di La Cartuja
    Baca Juga : Catatan Pendek Pasca Pekan Berat Real Madrid

    Kedua, hukum sebagai sabuk pengaman media siber. Hukum di sini dipahami sebagai pedoman pemberitaan media siber. Aliansi Jurnalisme Independen Indonesia bersama Dewan Pers serta sejumlah pihak yang berkepentingan di media siber perlu merumuskan pedoman Pemberitaan Media Siber. Hal ini menghindari hoax dan politik identitas yang merontokan demokrasi. Pedoman ini dimaksud sebagai reformulasi penerapan kaidah-kaidah etik jurnalistik dalam ranah media siber.

    Ketiga, penguatan otonomi warga sipil. Media sebagai “Pilar Keempat” seharusnya memainkan peran penting dalam konteks demokrasi muda seperti di Indonesia. Akan tetapi media siber kita “ricuh” oleh geliat para politisi yang mementingkan logika pasar dan politik pragmatis. Sikut menyikut ide di ruang publik hanyalah suatu dagelan murahan yang meninabobokan rakyat. Di belakang panggung mereka bersekutu membunuh nasib rakyat.

    Kehadiran media siber dipandang sebagai alternatif baru bagi warga sipil untuk menciptakan ruang publik mereka sendiri secara online. Selain itu, media siber bukan hanya medium, tetapi juga menjadi ranah baru yang memungkin terjadinya transformasi kekuatan. Karena kekuatan yang dimiliki oleh jejaring baru ini, Mansell (2001) berpendapat pentingnya untuk melihat lebih jauh lagi mengenai isu akses teknologi dan pengecualian sosial, yaitu dengan mengaitkan diskusi-diskusi mengenai media siber dan kekuatan jejaring dengan diskusi-diskusi mengenai hak asasi manusia, hak warga negara dan pembangunan sosial.

    Baca Juga : Masyarakat Risiko, Terorisme, dan Kemanusiaan Kita
    Baca Juga : Colin Crouch tentang Post-Demokrasi

     Media siber hadir untuk mewadahi kebebasan, kesetaraan dan otonomi individu. Relasi kesetaraan dan keterbukaan ini menjadi tonggak penting konsolidasi demokrasi. Melalui media siber, para warga berpartipasi aktif dalam menemukan informasi dan memberikan pendapat di ruang publik. Dalam konteks demokrasi muda Indonesia, media siber memegang peran kunci sebagai pilar keempat dalam demokrasi. Dengan ini, kehadiran media siber bukan hanya alternatif terhadap media konvensional yang dipolitiasi oleh kepentigan pemilik media, pemerintah dan oligarki tetapi juga menjadi corong partipasi warga terhadap kebijakan publik yang absen terhadap kesejahteraan umum.

    Terhadap tuntutan ini, kita melihat bahwa media siber di Indonesia belum mampu menunjang konsolidasi demokrasi. Keterbatasan kekuatan generasi milenial, akrobatik para politisi di ruang publik, politik identitas dan hoaks menjadi batu sandungan konsolidasi demokrasi. Di satu sisi media siber menawarkan kebebasan dan otonomi yang independen, tetapi di sisi lain kebebasan itu menjadi semacam cambuk yang merontokan demokrasi dan menciutkan misi pembangunan yang partisipatoris.

    Baca Juga : Menikmati Wisata Kopi Detusoko

    Tantangan-tantangan tersebut bukanlah suatu alasan untuk mundur. Tantangan itu mampu menjadi suatu peluang baru untuk merevitalisasi gerakan baru. Generasi milenial perlu membentuk gerakan bersama melalui media siber untuk mengubah kebijakan publik. Beberapa gerakan kumpul koin untuk mengadvokasi kebijakan publik berawal dari pergerakan di media siber. Kerja sama dan organisasi kegiatan secara teratur menjadi kekuatan baru yang ditawarkan media siber untuk konsolidasi demokrasi. Untuk memudahkan misi ini, hukum perlu menjadi sabuk pengaman agar gerakan generasi milenial dan penguatan warga sipil berjalan dalam koridor peraturan perundang-undangan.

  • Colin Crouch tentang Post-Demokrasi

    Colin Crouch tentang Post-Demokrasi

    Sarnus Joni Harto
    (Mahasiswa STFK Ledalero)

    Indodian.com, Post-demokrasi pertama kali diperkenalkan oleh Colin Crouch, seorang profesor sosiologi dan ilmu politik pada University of Warwick, dalam buku berjudul Coping with Post-Democracy yang terbit pada 2004. Sebagai sebuah term, menurut Giorgos Katsambekis, post-demokrasidiciptakan oleh Jacques Ranciere (1995).1 Namun, term ini baru menjadi sebuah istilah politik yang populer sejak digunakan oleh Crouch.  

    Secara umum, post-demokrasiadalah kritik terhadap kemunduran demokrasi modern yang ditandai dengan rendahnya peluang partisipasi rakyat “melalui diskusi dan organisasi yang otonom, dalam membentuk agenda kehidupan publik, dan ketika peluang-peluang ini mereka gunakan secara aktif.”2  Akibatnya, ruang demokratis diisi oleh politisi yang “lebih menyerupai pemilik toko, daripada penguasa [politik], yang dengan cemas memikirkan apa yang ‘pelanggan’ kehendaki untuk bertahan dalam bisnis”.Dengan demikian, kita memang hidup dalam tatanan demokratis, tetapi praksis politik kita jauh dari idealisme demokratis baik pada level minimal maupun maksimal. Prosedur demokratis berjalan, tetapi pelaksanaannya jauh dari standar demokratis.

    Baca Juga : Menikmati Wisata Kopi Detusoko
    Baca Juga : Tubuh Dan Persetubuhan Itu Suci

    Selain gambaran umum tersebut, menurut Crouch post-demokrasi juga ditandai dengan menguatnya kebosanan dan frustasi publik, penguasaan ruang demokratis oleh minoritas elit politik-ekonomi, dan pembodohan publik melalui kampanye manipulatif (demagogi). Ruang publik digunakan oleh kalangan elit untuk menggiring opini publik  melalui isu-isu artifisial.Buzzer politik adalah instrumen di tangan elit. Agar negara dianggap menyelenggarakan pemerintahan secara demokratis, elit-elit membiayai intelektual tukang untuk menggiring opini publik.

    Ketika publik melancarkan kritik, intelektual tukang ini bekerja menyumbat mulut yang kritis. Hal ini mengakibatkan hilangnya kesadaran politis warga. Massa rakyat hanya memberi respons pada rangsangan politis yang diberikan oleh elit politik. Dalam hal ini, massa rakyat mengalami kesadaran palsu (false consciousness). Mereka menganggap dirinya sebagai warga negara yang aktif, tetapi sebenarnya pasif, bahkan terkontrol oleh kepentingan elit. Kulminasi dari realitas ini adalah kooptasi pemerintahan terpilih dan minoritas elit yang mewakili kepentingan bisnis, sedangkan rakyat berperan sebagai kelompok pasif yang dipaksa menerima residu pembangunan atau distribusi kekayaan negara.4   

    Menurut Crouch,post-demokrasidisebabkan oleh tiga faktor penting.5Pertama, kesadaran akan identitas politik. Masyarakat pra-industri lebih sadar akan identitas politiknya daripada masyarakat pasca-industri. Oleh karena partai-partai dan organisasi-organisasi politik masyarakat pra-industri umumnya didasarkan pada identitas religius dan kelas, mereka berjuang untuk mendapatkan pengakuan. Formasi identitas politik ini membantu mereka merumuskan agenda publik.

    Baca Juga : Ancaman Cerpen Tommy Duang
    Baca Juga : Merawat Simpul Empati

    Namun, pada masyarakat pasca-industri, terjadi defisit pada kelas-kelas politik (terutama kelas buruh). Hal ini memungkinkan kelompok pemegang saham (korporat) – yang lebih sadar akan identitas politiknya – memiliki ideologi hegemonik (neoliberalisme) dan pengaruh politik yang kuat. Akibatnya, kelompok masyarakat sipil (termasuk kelas buruh) kehilangan daya dobrak terhadap politik, sedangkan elit korporat mengkooptasi negara dalam setiap lini.

    Kedua, globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi berarti “kekuasaan [negara] semakin dipengaruhi oleh kepentingan bisnis internasional yang berkisar pada wilayah transnasional di luar jangkauan negara-bangsa”.6 Dalam hal ini, IMF, World Bank, dan korporasi transnasional lainnya menjadi pemain kunci baik secara ekonomis maupun politik. “If they do not like the regulatory or fiscal regime in one country, they threaten to move to another, and increasingly states compete in their willingness to offer favourable conditions as they need the investment,” demikian Crouch. Firma global ini, menurut Crouch, merupakan institusi kunci dunia post-demokrasi.7

    Ketiga, kedua proses terdahulu berdampak pada terputusnya relasi kelas politik dengan rakyat, sedangkan posisi elit dan pelobi bisnis semakin kuat. Akhirnya, pemilihan umum tidak lebih dari sebuah kontestasi kepentingan elit bisnis. 

    Menurut Crouch, post-demokrasimembawa beberapa gejala akut bagi demokrasi. Pertama, perubahan konsentrasi pejabat pemerintah dari kepentingan publik kepada kepentingan elit bisnis. Ketika negara dikooptasi elit bisnis, negara dituntut untuk menerjemahkan kepentingan bisnis ke dalam kebijakan publik. Hal ini bisa menggejala melalui paket regulasi negara yang menguntungkan pebisnis.

    Kedua, serikat-serikat pekerja termarginalisasi. Dalam hal ini, mereka tidak dianggap sebagai kelas politik yang berperan signifikan dalam mengartikulasikan kebijakan publik. Apalagi ketika elit minoritas mengendalikan opini publik, suara serikat pekerja tidak berarti apa-apa.

    Baca Juga : Pengorbanan Melahirkan Kehidupan

    Ketiga, negara menjadi sekuriti yang menjamin keamanan proyek elit-elit bisnis. Hal ini menjadi jamak di era neoliberalisme. Ketika pasar memainkan peran hegemonik, negara mengerahkan polisi dan militer untuk melindungi aset-aset penting pebisnis. Tidak mengherankan jika di sekitar area industri atau perusahaan, polisi dan militer berjaga siang malam memastikan proses produksi dan eksploitasi berjalan aman.

    Keempat, kaum miskin, karena jenuh dengan rezim politik post-democracy, memilih abstain dan pasif dari dunia politik. Mereka, sebagaimana diungkapkan sendiri oleh Crouch, bergerak kembali ke periode ‘pra-demokrasi.’ Apatisme politik menjadi pilihan sebab menjadi rakyat yang aktif tetap tidak akan mengubah iklim politik yang sedang sakit. Mereka memang mengikuti prosedur demokratis, seperti pemilihan umum, tetapi tindakan itu dijalankan secara seadanya tanpa suatu harapan akan perubahan politik.8

    Post-demokrasi dan Indonesia

    Pada galibnya, post demokrasi menjadi fenomena yang bertumbuh subur di setiap negara bersistem demokrasi. Bentuk-bentuk konkret fenomena post demokrasi dideskripsikan secara detail oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracy Die.9Menurut Levitsky dan Ziblatt, saat ini demokrasi tidak dihancurkan oleh kekuatan senjata, tetapi oleh mereka yang terpilih sebagai pejabat negara melalui sebuah prosedur yang demokratis.

    “Paradoks tragis jalan menuju kerusakan melalui pemilu adalah bahwa para pembunuh demokrasi menggunakan lembaga-lembaga demokrasi itu sendiri – pelan-pelan, secara halus, bahkan legal – untuk membunuhnya,” demikian Levitsky dan Ziblatt. Para penguasa yang terpilih melalui pemilu seringkali memanfaatkan kekuasaan demokratis untuk mengubah aturan-aturan demokratis. Hal ini tidak lagi melalui jalan kudeta, tetapi secara legal, yaitu melalui kebijakan dan preferensi politik yang otoritarian. Beberapa tokoh yang diangkat kedua penulis ini, seperti Donald Trump di AS, Chavez di Venezuela, Pinochet di Chile, atau Mussolini di Italia.

    Di Indonesia, gejala post demokrasi terepresentasi melalui kuatnya cengkeraman oligarki. Partai-partai politik di Indonesia umumnya milik para pengusaha atau dibentuk dengan sokongan dana dari para pengusaha yang kemudian menjadi elit inti di dalam parpol tersebut. Selain mendirikan parpol, elit ekonomi-politik juga memiliki perusahaan media yang menguasai industri media nasional. Fenomena ini menjadi penanda bagi post demokrasi, sebab demokrasi mengandaikan adanya interrelasi antara rakyat dan parpol. Dalam hal ini, kemunculan partai seharusnya  muncul secara bottom up di mana rakyat menjadi kekuatan utama partai. Dari rakyat, parpol mendapat dukungan kuat. Namun, dalam era post demokrasi, parpol akrab dengan elit korporasi, tetapi jauh dari rakyat. Parpol bukan lagi sebuah corong ideologi massa rakyat, melainkan sebuah corong ideologi korporasi.

    Tendensi parpol berciri post demokrasi tersebut dibuktikan melalui sejumlah temuan lembaga survei. Menurut survei Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) pada 19 April-5 Mei 2018, publik memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap demokrasi, tetapi tidak terhadap parpol.10 Hal yang sama ditemukan melalui survei Indobarometer. Dalam survei pada Maret 2017, Indobarometer mengatakan, 62,9% publik merasa tidak dekat dengan parpol.  Menurut Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), rendahnya kepercayaan publik terhadap parpol tetap bertahan hingga menjelang pilpres pada 2019 yang lalu.11

    Ketika parpol menjadi corong ideologis elit pebisnis, kebijakan publik tidak lebih dari sebuah kompetisi kepentingan antarelit pebisnis. Agar publik tidak mudah mendeteksi praktik ini, negara, dengan menggunakan kuasa regulatifnya, menetapkan aturan-aturan tertulis untuk melegitimasi kepentingan tersebut. Jika publik mampu mengetahui praktik ini, negara kembali memecahkan konsenstrasi rakyat dengan merekayasa isu baru. Media, yang sebagian besar dikuasai oleh elit penguasa rangkap pengusaha, memviralisasi isu ini dan menjadikannya sebagai berita utama. Taktik ini begitu masif, sehingga daya dobrak massa rakyat hampir selalu kalah.

    Di tengah situasi post demokrasi ini, kesadaran akan bahaya laten pembajakan negara oleh tangan-tangan minoritas elit merupakan sebuah keniscayaan dan prasyarat mutlak untuk menghentikan laju post-demokrasi. Karena itu, nalar publik harus tetap aktif dalam membaca dan merespons fenomena politik. Hal ini sangat urgen sebab demokrasi akan mencapai kesudahannya jika rakyat tetap abstain. Justru, ketika minoritas elit menghegemoni negara, massa rakyat diharapkan tetap aktif.

    Sarnus Joni Harto
    Redaktur Indodian.com

    Daftar Rujukan

    1 Giorgos Katsambekis “The Place Of The People In Post-Democracy Researching ‘Antipopulism’ And Post-Democracy In Crisis-Ridden Greece”, POSTData, Vol.19, No.2,https://www.redalyc.org/pdf/522/52233952009.pdf

    2 Colin Crouch, Post-democracy (Cambridge: Polity Press, 2004), p. 2.

    3 Ibid., p. 13.

    4 Ibid., pp.19-20.

    5 Colin Crouch, “The March Towards Post-Democracy, Ten Years On”, The Political Quarterly, Vol. 87, No. 1, January–March 2016, pp. 71-75.

    6 Colin Crouch, “The March…”, loc.cit. 

    7 Colin Crouch, Post-democracy…, op.cit., p. 31.

    8 Ibid., p. 23.

    9 Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracy Die, terj. Zia Anshor (Jakarta: Gramedia, 2019), hlm. xiv.

    10 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180720025810-32-315566/survei-lipi-demokrasi-kian-dipercaya-parpol-makin-dijauhi, diakses pada 9 April 2021.

    11 https://nasional.tempo.co/read/858765/survei-partai-politik-makin-tidak-dipercayai-masyarakat, diakses pada 9 April 2021.