Mengingat adalah tindakan untuk memanggil peristiwa yang terjadi di masa lampau dalam pikiran masa kini. Mengingat menjadi cara yang lebih baik untuk menghadapi masa lalu yang menyakitkan. Mengingat penting karena mencegah kekuatan negatif dari masa lampau kembali mengontrol ingatan bersama. Oleh karena itu, wacana pemutaran Film G30S PKI menjadi suatu jalan merawat ingatan rakyat akan kasus pembantaian 1,3 juga anak-anak bangsa.
Avishai Margalit, seorang filosof mempelopori pentingnya merawat ingatan. Dia mempercayai bahwa mengingat kejahatan kemanusiaan di masa silam menjadi suatu cara mengubah masa depan. Margalit tidak menggambarkan cara mengingat sejarah kelam masa silam. Dia menyadari begitu sulit karena bersentuhan dengan kepentingan kekuasaaan (Binsar J. Pakpahan, 2017)
Tesis ini mencapai kepenuhan dalam kasus kemanusiaan G30S PKI. Merawat ingatan pembantaian ini menimbulkan trauma yang mendalam. Sebab itu sebuah misteri pembunuhan yang pemecahannya akan membawa implikasi sangat luas bagi sejarah Nasional Indonesia. Terkadang mencuat suatu argumentasi pesimistis bahwa merawat ingatan di negara demokrasi yang masih berkembang menjadi semacam menyalakan api dalam sekam.
Berkaitan dengan ini, Blaise Pascal pernah mengungkapkan bahwa kebenaran tentang perebutan kekuasaan tak boleh dibikin jelas. Baginya kekerasan menjadi salah satu cara untuk merawat kekuasaan dengan cara menyembunyikan kebenaran. Oleh karena itu politik lupa yang mendominasi Orba bahkan hingga Orde Reformasi menjadi seolah resolusi.
Tetapi bagi Margalit, sebagaimana dikutip Binsar Pakpahan, mengingat harus dilakukan karena tiga alasan penting. Pertama, mengantisipasi perulangan sejarah masa lalu di masa yang akan datang. Kedua, memberi ruang keadilan kepada para korban kejahatan kemanusiaan. Ketiga, mengingat menjadi awal sebuah usaha rekonstruksi histori menuju rekonsiliasi. Tentunya mengingat bukanlah menutup luka masa lalu dan membangun perdamaian artifisial.
Di sini merawat ingatan membutuhan peran Negara untuk merekonstruksi histori dengan prinsip transparansi. Negara menulis sejarah dengan prinsip kebenaran sehingga kejadian yang tersembunyi menjadi fakta publik. Politik pengakuan inilah yang menjadi starting point sebuah rekonsiliasi. Dengan pengakuan ini negara berjanji untuk tidak melegitimasi anari di masa depan. Setelah itu barulah memulai “Ritus minta maaf” atas kejahatan sejarah masa lalu.
Ketika pengungkapan kebenaran ini terwujud maka terbentuklah suatu komunitas etis dan runtuhnya tembok prasangka antara korban dan negara. Adapun bentuk minta maaf negara termanifestasi dalam pencetusan hari berkabung nasional atas hari pembantaian massa, pendirian monumen dan pemberian nama jalan. Selain itu negara perlu memfasilitasi para korban yang melarikan diri ke luar negeri untuk kembali dan menata masa depan secara baru.
Hal ini urgen sebab pelanggaran HAM masa lalu yang masih eksklusif memengaruhi sejarah masa depan. Pengungkapan kebenaran menimbulkan optimisme baru sekaligus menimba pengalaman masa silam untuk menatap masa depan. Seperti ditulis di depan Relief Patung korban G30S PKI, ”Waspada…dan mawas diri agar peristiwa semacam ini tidak terulang lagi”.