Merawat Ingatan Bangsa Amnesia

- Admin

Sabtu, 1 Oktober 2022 - 08:59 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Merawat Ingatan

Mengingat adalah tindakan untuk memanggil peristiwa yang terjadi di masa lampau dalam pikiran masa kini. Mengingat menjadi cara yang lebih baik untuk menghadapi masa lalu yang menyakitkan. Mengingat penting karena mencegah kekuatan negatif dari masa lampau kembali mengontrol ingatan bersama. Oleh karena itu, wacana pemutaran Film G30S PKI menjadi suatu jalan merawat ingatan rakyat akan kasus pembantaian 1,3 juga anak-anak bangsa. 

Avishai Margalit, seorang filosof mempelopori pentingnya merawat ingatan. Dia mempercayai bahwa mengingat kejahatan kemanusiaan di masa silam menjadi suatu cara mengubah masa depan. Margalit tidak menggambarkan cara mengingat sejarah kelam masa silam. Dia menyadari begitu sulit karena bersentuhan dengan kepentingan kekuasaaan (Binsar J. Pakpahan, 2017)

Baca juga :  Dari Pasifisme ke Pasifisme Proaktif: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang

Tesis ini mencapai kepenuhan dalam kasus kemanusiaan G30S PKI. Merawat ingatan pembantaian ini menimbulkan trauma yang mendalam. Sebab itu sebuah misteri pembunuhan yang pemecahannya akan membawa implikasi sangat luas bagi sejarah Nasional Indonesia. Terkadang mencuat suatu argumentasi pesimistis bahwa merawat ingatan di negara demokrasi yang masih berkembang menjadi semacam menyalakan api dalam sekam.

 Berkaitan dengan ini, Blaise Pascal pernah mengungkapkan bahwa kebenaran tentang perebutan kekuasaan tak boleh dibikin jelas. Baginya kekerasan menjadi salah satu cara untuk merawat kekuasaan dengan cara menyembunyikan kebenaran. Oleh karena itu politik lupa yang mendominasi Orba bahkan hingga Orde Reformasi menjadi seolah resolusi.

Tetapi bagi Margalit, sebagaimana dikutip Binsar Pakpahan, mengingat harus dilakukan karena tiga alasan penting. Pertama, mengantisipasi perulangan sejarah masa lalu di  masa yang akan datang. Kedua, memberi ruang keadilan kepada para korban kejahatan kemanusiaan. Ketiga, mengingat menjadi awal sebuah usaha rekonstruksi histori menuju rekonsiliasi. Tentunya mengingat bukanlah menutup luka masa lalu dan membangun perdamaian artifisial.

Baca juga :  Melampaui Dikte Pasar

Di sini merawat ingatan membutuhan peran Negara untuk merekonstruksi histori dengan prinsip transparansi. Negara menulis sejarah dengan prinsip kebenaran sehingga kejadian yang tersembunyi menjadi fakta publik. Politik pengakuan inilah yang menjadi starting point sebuah rekonsiliasi. Dengan pengakuan ini negara berjanji untuk tidak melegitimasi anari di masa depan. Setelah itu barulah memulai “Ritus minta maaf” atas kejahatan sejarah masa lalu.

Ketika pengungkapan kebenaran ini terwujud maka terbentuklah suatu komunitas etis dan runtuhnya tembok prasangka antara korban dan negara. Adapun bentuk minta maaf negara termanifestasi dalam pencetusan hari berkabung nasional atas hari pembantaian massa, pendirian monumen dan pemberian nama jalan. Selain itu negara perlu memfasilitasi para korban yang melarikan diri ke luar negeri untuk kembali dan menata masa depan secara baru.

Baca juga :  Dalih Pembangunan Kapitalistik

Hal ini urgen sebab pelanggaran HAM masa lalu yang masih eksklusif memengaruhi sejarah masa depan. Pengungkapan kebenaran menimbulkan optimisme baru sekaligus menimba pengalaman masa silam untuk menatap masa depan. Seperti ditulis di depan Relief Patung korban G30S PKI, ”Waspada…dan mawas diri agar peristiwa semacam ini tidak terulang lagi”.      

Komentar

Berita Terkait

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?
DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?
Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Berita ini 123 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA