Indodian.com – Di era modern ini, banyak negara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi sebagai landasan pemerintahan mereka. Gagasan tentang pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah menarik minat banyak negara untuk mengadopsi sistem ini. Seturut data yang dipublikasikan oleh Pewresearch, hingga tahun 2017, sekitar 57% atau 97 dari 196 negara-negara di dunia sudah menggunakan sistem demokrasi sebagai asas pemerintahannya. Ini merupakan angka yang cukup menggembirakan, di mana hal ini menunjukkan adanya aspirasi universal untuk pemerintahan yang lebih terbuka, partisipatif, dan akuntabel.
Namun, seiring dengan berkembangnya demokrasi, muncul tantangan-tantangan kompleks yang menimbulkan adanya ketidakpuasan terhadap sistem ini. Salah satu isu aktual yang mencuat belakangan ini adalah terkait dengan kebebasan beragama dalam konteks demokrasi. Peristiwa pelarangan penggunaan hijab bagi anggota Paskibraka di Ibu Kota Nusantara (IKN) beberapa waktu lalu menjadi sorotan publik.
Kebijakan ini memicu beragam reaksi dan pertanyaan. Banyak pihak menilai bahwa kebijakan tersebut mengindikasikan adanya sikap anti-agama dalam tubuh pemerintahan kita yang katanya demokratis. Jika kita telisik lebih dalam, peristiwa IKN ini seakan mengisyaratkan adanya pandangan bahwa agama dan negara adalah dua entitas yang saling bertentangan. Pandangan ini seolah menggemakan narasi kuno tentang perang antara agama dan rasionalitas, antara iman dan ilmu pengetahuan. Namun, benarkah agama dan negara harus selalu berada pada posisi yang berseberangan?
Pertanyaan ini membawa kita pada pemikiran seorang pengamat tajam demokrasi, Alexis de Tocqueville. Dalam pengamatannya terhadap masyarakat Amerika Serikat pada abad ke-19, Tocqueville menemukan peran krusial agama dalam menopang demokrasi. Lantas, apa yang sebenarnya dilihat oleh Tocqueville? Dan bagaimana pandangannya dapat memberikan kita pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara agama, negara, dan demokrasi di Indonesia dewasa ini? Untuk lebih jelasnya, mari kita simak terus uraian berikut ini.
Tocqueville dan Democracy in America
Pada tahun 1831, Alexis de Tocqueville, seorang aristokrat Prancis, melakukan perjalanan ke Amerika Serikat untuk mempelajari demokrasi. Dia melihat beberapa hal positif dalam demokrasi, tetapi juga mencatat beberapa kekurangan, seperti tirani mayoritas, individualisme, dan materialisme. Dia mengklaim bahwa agama sangat penting untuk mencegah bahaya-bahaya itu.
Alexis de Tocqueville adalah seorang diplomat yang dikirim oleh pemerintah Prancis untuk mempelajari sistem penjara di Amerika. Saat berada di sana, dia memanfaatkan kesempatan untuk menyelidiki masyarakat Amerika secara keseluruhan dan menulis karyanya yang paling terkenal, Democracy in America. Dalam buku itu, De Tocqueville menulis:
“Di Amerika, saya melihat lebih dari sekadar Amerika… Saya mencari gambaran demokrasi itu sendiri, dengan kecenderungan, karakter, prasangka, dan keinginannya.” (De Tocqueville, Vol. I, 1831 [2002]: 24)
Dengan tujuan utama untuk memahami prinsip-prinsip yang mendasari masyarakat demokratis, Tocqueville melakukan pengamatan yang mendalam terhadap berbagai aspek kehidupan di Amerika Serikat, mulai dari sistem politik, sosial, hingga budaya. Berpergian di masa puncak revolusi industri, De Tocqueville percaya bahwa demokrasi dan industrialisasi saling terkait—demokrasi Amerika adalah perwujudan dari penyatuan ini. Dia menggambarkan Amerika sebagai “revolusi demokratis yang disebabkan oleh industrialisasi.”
Dalam pengamatannya terhadap kehidupan sosial-politik Amerika, De Tocqueville percaya bahwa ketika industrialisasi mengurangi kesenjangan ekonomi antara kelas-kelas sosial, revolusi politik yang menuntut “kesetaraan” akan muncul secara alami. Jika tidak ada perbedaan ekonomi antara bangsawan, orang kaya, dan rakyat biasa, maka perbedaan politik juga akan hilang. Inilah kondisi yang memungkinkan lahirnya demokrasi. Namun, faktanya, AS adalah republik, dan bukan demokrasi. De Tocqueville mengamati bahwa meskipun Amerika adalah republik di atas kertas, ia lebih berfungsi seperti demokrasi. Namun, semokrasi ini pun bukanlah demokrasi murni, sebab menurutnya, demokrasi di Amerika adalah bentuk pemerintahan mayoritas. Dia menulis:
“Meskipun bentuk pemerintahannya representatif … di Amerika Serikat, mayoritaslah yang memerintah…” (hlm.193)
Tirani Mayoritas
Sebagaimana yang ditampilkan dalam kutipan di atas, De Tocqueville berpendapat bahwa demokrasi memiliki potensi untuk menghasilkan bentuk penindasan yang disebut “tirani mayoritas.” Dalam konteks demokrasi, tirani mayoritas memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk menentukan kebijakan publik. Namun, kekuasaan mayoritas yang tidak terkendali ini dapat menjadi ancaman bagi hak-hak minoritas. Karena semua tingkat pemerintahan dibentuk oleh pendapat mayoritas, tidak ada entitas yang bisa dijadikan tempat untuk mengajukan banding ketika seseorang mengalami ketidakadilan dari pemerintah itu sendiri. Dia menulis:
“Ketika seseorang atau sebuah golongan menderita ketidakadilan di Amerika Serikat, kepada siapa mereka ingin mereka mengajukan banding? Kepada opini publik? Itu adalah mayoritas. Kepada badan legislatif? Itu mewakili mayoritas… Kepada polisi? Polisi adalah… mayoritas yang bersenjata.” (De Tocqueville, Vol. II, 1835 [2010]: 93)
Tocqueville melihat bahwa dalam sistem demokrasi, di mana mayoritas memiliki kekuasaan mutlak, kelompok minoritas sangat rentan terhadap penindasan. Tanpa adanya mekanisme yang efektif untuk melindungi hak-hak minoritas, mayoritas dapat dengan mudah membuat kebijakan yang merugikan kelompok-kelompok tertentu. Menurut De Tocqueville, di sinilah agama mendapat perannya untuk menjegal tirani mayoritas dengan membela hak-hak minoritas.
Atomisasi Individu
Selain tirani mayoritas, De Tocqueville juga mencatat bahwa demokrasi dapat menyebabkan atomisasi individu dalam masyarakat. Hal itu terjadi karena demokrasi mengikis ikatan sosial—tidak ada kewajiban timbal balik antara warga negara yang mengikat mereka secara bersama.
Menurut Tocqueville, bentuk pemerintahan lain seperti aristokrasi memiliki kewajiban yang harus dipenuhi oleh kelas-kelas sosial satu sama lain—bangsawan bersumpah untuk melindungi rakyat sementara rakyat biasa bersumpah setia kepada para bangsawan. Dalam aristokrasi, ikatan keluarga sangat penting karena kekuasaan dan tanah diwariskan melalui garis keturunan.
Di sisi lain, dalam demokrasi, tidak ada kewajiban timbal balik antara orang-orang. Setiap orang adalah unit politiknya sendiri, dan keluarga tidak begitu penting karena setiap orang bisa menjadi “mandiri.” De Tocqueville memperingatkan bahwa faktor-faktor ini dapat menyebabkan isolasi setiap individu dari individu lain.
Materialisme
Akhirnya, De Tocqueville juga memperingatkan bahwa dari individualisme akan muncul sebuah patologi lain, yakni materialisme. Dalam masyarakat yang individualistis, orang lebih fokus pada kekayaan pribadi daripada kepentingan bersama. Demokrasi, khususnya, mendorong “selera untuk kepuasan fisik” yang membuat orang percaya “bahwa segala sesuatu hanyalah materi.”
De Tocqueville menyebut bahwa materialisme adalah “penyakit berbahaya dari pikiran manusia” yang dapat menggantikan keyakinan spiritual dan mengarah pada hedonisme yang melahirkan pikiran dan perbuatan jahat. Oleh karena itu, pria Prancis ini berpendapat bahwa demokrasi harus tetap berpegang pada agama mereka untuk mengatasi jebakan materialisme.
Agama sebagai Penjaga Demokrasi
Dari analisis panjang yang ia lampirkan dalam bukunya, De Tocqueville melihat agama sebagai benteng kuat yang dapat menjaga demokrasi dari berbagai bahaya yang dapat mengancam masyarakat politik, seperti tirani mayoritas, atomisasi individu, dan materialisme. Dalam pengamatannya, agama di Amerika memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap masyarakat, yang dia yakini berperan penting dalam keberhasilan sistem pemerintahannya.
Di Indonesia atau di negara-negara lain yang menganut sistem demokrasi, hal ini sebetulnya sangat relevan untuk dipelajari. Sebagai contoh konkret, dalam menghadapi tirani mayoritas, agama sering kali menjadi suara moral yang menentang ketidakadilan, bahkan ketika mayoritas masyarakat mendukung kebijakan yang tidak adil. Gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh agama seperti Martin Luther King Jr., menunjukkan bagaimana agama dapat menjadi kekuatan yang menantang keputusan mayoritas yang tidak adil. King menggunakan ajaran agama untuk memobilisasi dukungan dan menuntut perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa agama dapat menjadi alat untuk melindungi hak-hak minoritas dalam demokrasi.
Selain itu, agama dapat mengatasi atomisasi individu dengan memperkuat ikatan sosial dan menciptakan komunitas yang saling mendukung. Gereja, masjid, pura, sinagoga, dan tempat ibadah lainnya sering menjadi pusat kegiatan sosial dan komunitas, di mana orang-orang dari berbagai latar belakang dapat berkumpul, berbagi nilai, dan mendukung satu sama lain. Hal ini sangat membantu untuk mengurangi isolasi individu atau individualisme dengan menciptakan rasa keterikatan dalam masyarakat.
Dalam menghadapi materialisme, agama juga sering menekankan nilai-nilai spiritual dan kebajikan di atas kepuasan material. Misalnya, banyak agama yang mengajarkan pentingnya kemurahan hati, pengorbanan, dan pelayanan kepada sesama, yang bertentangan dengan kecenderungan materialistis dalam demokrasi modern. Melalui ajaran ini, agama dapat mengarahkan perhatian masyarakat dari kesejahteraan pribadi menuju kesejahteraan bersama, yang pada akhirnya menguatkan demokrasi dengan menjaga fokus pada kepentingan umum.
Dari narasi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Alexis de Tocqueville melihat agama sebagai pilar penting dalam menopang demokrasi. Agama, menurutnya, bukan hanya sekadar institusi, tetapi juga sebagai kekuatan moral yang mampu membendung potensi negatif dari demokrasi seperti tirani mayoritas, atomisasi individu, dan materialisme. Agama berperan sebagai penyeimbang yang mengingatkan masyarakat akan nilai-nilai luhur seperti keadilan, persaudaraan, dan spiritualitas.
Namun, peran agama dalam demokrasi bukanlah tanpa tantangan. Di zaman modern ini, sekularisme dan pluralisme semakin menguat. Hal ini menghadirkan pertanyaan mendasar: Bagaimana kita dapat mengharmonisasikan nilai-nilai agama dengan prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan individu dan kesetaraan? Peristiwa pelarangan penggunaan hijab di IKN menjadi contoh nyata dari kompleksitas isu ini. Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan dialog yang terus-menerus antara agama dan negara, serta antara berbagai agama dan kepercayaan. Agama jangan sampai dipahami sebagai ancaman terhadap demokrasi, tetapi sebagai mitra yang dapat memperkaya kehidupan berbangsa. Dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat yang inklusif, di mana semua warga negara memiliki tempat untuk berkontribusi demi membangun masa depan yang lebih baik.
Penulis : Onessimus Febryan Ambun (Mahasiswa Prodi Magister Teologi IFTK Ledalero)
Editor : Rio Nanto