Natal 2024 baru saja lewat. Tiga raja baru saja pulang dari Betlehem lewat ‘jalan lain’. Paus Fransiskus pun belum lama, pada 24 Desember 2024, membuka Pintu Suci Basilika St. Petrus untuk menandai dimulainya tahun YUBILEUM, Tahun Suci Katolik 2025. Kita pun baru saja digugah oleh angkara alam untuk beranjak ke Lewotobi, melepaskan riuhnya kesibukan sendiri dan tunduk pada panggilan bernama solidaritas.
Ya, semuanya baru saja. Namun miris terasa, ketika masih di gerbang jalan pulang bernama Yubileum 2025, kita memilih berbelok, malah ke ‘jalan pergi’. Perjumpaan dengan Herodes mungkin ibarat cinta lama bersemi kembali. Ya, mantan memang kerap menggores terlalu dalam kenangan dan akhirnya apa yang terjadi: riuh suara gembala hilang terbawa angin Hukum Positif dan kunjungan ke Betlehem cumalah rutinitas yang selalu bikin gerah oleh bau tengik ternak dan para gembala yang jarang mandi.
Lalu, sesederhana itukah YUBILEUM dengan tema yang sangat indah “Peziarah Harapan”? Apakah Yubileum, yang berasal dari perayaan Tahun Yobel dalam tradisi Yahudi (Yobel dalam Bahasa Ibrani: tanduk domba Jantan) dengan kekhasan sosiopolitis (Membebaskan para budak), Sosio-ekonomis (Semua Harta Warisan yang dijual DIKEMBALIKAN kepada keluarga asli), dan Sosiokosmik (tanah tidak boleh digarap) hanyalah gagah-gagahan a la Herodes: “pulanglah ke sini dan beritahukan kepadaku dan nanti aku juga pergi menyembahNya”? Apakah “membuka” Pintu Suci sama artinya dengan mengangakan mulut Bulldozer, menyeruduk tanpa ampun? Apakah mengampuni 70 kali 7 kali, yang selalu berarti tanpa batas, tanpa dinding, tanpa perhitungan sama artinya dengan “membiarkan orang berteriak ampun ya ampun berkali-kali di hadapan Bulldozer ”?
Kalau demikian yang terjadi, maka YUBILEUM lebih tepat disebut tahun kepercumaan, mungkin seperti orang-orang Yahudi meniupkan terompet dari ‘tanduk domba jantan’, yang kedengaran sebentar saja lalu pergi ditelan angin. Di Nangahale, Sikka, YUBILEUM adalah gegundahan tanpa tepi. Di Nangahale, YUBILEUM adalah pertanyaan yang selalu ditabrak dengan KEPENTINGAN. Ya, percuma bertanya. Toh, itu akhirnya sampai pada titik aporia (jalan buntu).
Biasanya, di hadapan kepentingan yang berkelindan dengan politik kekuasaan, dengan judul yang sangat mulia sekalipun (kata Herodes, “kamu pergi dulu, nanti setelah kamu pulang saya pergi menyembahNya”), air mata akan selalu dianggap sandiwara atau aksi makan tanah akan dilihat sebagai pencitraan – ya sesederhana itu ‘anggapan anggapan klise’ yang sekalipun tak pernah dikenal di kalangan jelata, akan dibikin seolah ada pada mereka. Malah, yang jelata bisa dianggap SAMPAH, yang harus diurus TUNTAS, tanpa sisa.
Saya memang tak mengerti HUKUM POSITIF. Saya hanya tahu dan mau berjuang terus menjalankan HUKUM KASIH, yang melampaui kotak kepentingan dan kotak suku. Saya beternak, tapi bukan seorang pebisnis ternak. Saya berkebun, tapi bukan seorang pengepul. Saya adalah imam, yang mungkin PALING BERDOSA di kalangan para imam, yang berusaha agar melalui Ternak dan Kebun saya menemukan JALAN PULANG ke hati umat, ya JALAN LAIN, agar HERODES tidak sampai ke BETLEHEM. Yang saya tahu sebagai imam dari HUKUM KASIH adalah SALUS ANIMARUM, keselamatan jiwa-jiwa, ya dan saya lakukan dengan cara sederhana, antara lain KEBUN dan TERNAK. Sekali lagi, kebun dan ternak adalah jalan pulang, tempat saya berziarah, membangun harapan agar mereka yang lain turut pulang dan mengalami salus, keselamatan.
Tapi hari – hari ini saya galau ketika tahu bahwa di gerbang tahun YUBILEUM, riuh suara gembala hilang ditelan deru Bulldozer di Nangahale. Apakah para raja sedang berbelok arah, menyimpang dari tuntunan Sang Bintang? Entahlah! Tapi saya ingat kata-kata Paus Fransiskus, ketika merayakan 100 tahun Maximum Illud: “Misi awal Katolik selalu tak bebas dari bias kolonialisme”. Dan saya yakin, kepongahan colonial a la Herodes sedang mengintai di tanah Nangahale, ya serupa kepongahan para pemburu cuan yang tengah dihadapkan pada sikap tegas gereja KAE (Keuskupan Agung Ende) untuk menolak proyek geothermal.
Tahun YUBILEUM, tahun penuh harapan. Kita sama – sama peziarah. Saya, anda dan mereka. Bekal kita adalah harapan, bukan aporia, kebuntuan. Seusai melawat Betlehem, kita sama – sama dituntun Sang Bintang, bukan melewati ‘jalan pergi’, tapi ‘jalan pulang’. Di Nangahale, belum ada jalan pulang. Cuma masih ada jalan pergi, “bias kolonialisme”. *
Penulis: Pater Charles Beraf, SVD