Indodian.com – Ketika kasus-kasus korupsi kembali menjadi berita utama media, kita cenderung hanya berpikir tentang pemerintah, kepolisian dan militer, dan pengadilan – tiga institusi terkorup di negeri ini. Seharusnya, pengungkapan kasus-kasus semacam itu menjadi pijakan introspeksi diri: Apakah kantor atau lingkungan tempat saya hidup, bekerja, atau berdomisili, bebas dari praktik dan kecenderungan koruptif?
Lebih jauh lagi, masifnya praktik korupsi di negeri ini seharusnya menggugat kesadaran kita sendiri untuk mencari akar mental koruptif itu. ‘Tendensi dan mentalitas koruptif itu berakar pada budaya masyarakat Indonesia atau hasil sistem dan struktur sosial-politik?
Sekurang-kurangnya, pertanyaan tersebut menjadi inspirasi dasar untuk mengendus jejak mentalitas koruptif dalam diri manusia Indonesia, tidak terkecuali kita yang sedang membaca tulisan ini. Sebab itu, dalam tulisan ini, penulis mengangkat pemikiran Mochtar Lubis, Ajip Rosidi, dan Syed Hussein Alatas, tiga pemikir Indonesia yang banyak berbicara tentang korupsi. Apa yang mereka katakan?
Mochtar Lubis
Tendensi koruptif dalam diri manusia Indonesia dilacak secara antropologis-kultural oleh Mochtar Lubis. Menurut Lubis, praktik koruptif yang melanda kita saat ini sebenarnya berakar dalam mentalitas, karakter, dan kultur manusia Indonesia itu sendiri. Dalam Pidato Kebudayaan pada 1977 di Taman Ismail Marzuki berujudul ‘Manusia Indonesia’, Mochtar Lubis, secara retoris, berkata: “Wajah lama sudah tak karuan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas. Siapa itu orang atau manusia Indonesia? Apa dia memang ada? Di mana dia? Seperti apa gerangan tampangnya” (1986: 7).
Mochtar Lubis kemudian menguraikan 6 ciri manusia Indonesia. Pertama, hipokrit (munafik). Manusia Indonesia “menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya ataupun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya,” tegas Mochtar Lubis. Kedua, enggan bertanggung jawab. Sikap ini seringkali muncul ketika seseorang dimintai pertanggungjawaban atas sesuatu yang telah merugikan negara dan masyarakat. Pernyataan “Saya tidak bersalah. Saya hanya menjalankan perintah atasan!” mencirikan mentalitas ‘cuci tangan’ dan tidak mau bertanggungjawab.
Ketiga, sikap feodalistik. Para penguasa Tanah Air cenderung gila hormat, menuntut dipatuhi, dan antikritik. Sebab itu, di Indonesia relasi atasan-bawahan begitu kental. Atasan boleh mengeksploitasi bawahan sejauh atasan memberikan jaminan ekonomis, jabatan, dan keuntungan lainnya.
Keempat, percaya pada takhyul (kurang rasional). Kepercayaan yang begitu tinggi terhadap alam gaib menyebabkan manusia Indonesia sulit menemukan alasan rasional di balik sesuatu dan sulit menghubungkan sebab akibat dari suatu peristiwa. Ketika berhadapan dengan penyakit atau bencana alam, kita menganggapnya sebagai kutukan dan karena tidak taat adat.
Kelima, artistik. Oleh karena daya intuisinya yang kuat, manusia Indonesia memiliki “ciptaan artistik dan kerajinan yang sangat indah-indah,” demikian Lubis. Ciri ini masih berhubungan dengan ciri keempat di atas. Kecenderungan hidup dengan intuisi menyebabkan kita kurang berpikir kritis, logis, dan rasional, sebab kita lebih banyak mengandalkan intuisi, yang sayangnya tidak bisa diperdebatkan.
Keenam, watak yang lemah. Menurut Mochtar Lubis, manusia Indonesia rela melepaskan otonomi dirinya demi alasan survival. Mochtar Lubis menulis:
Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektuil amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia. Dahulu Soekarno mengatakan bahwa inflasi itu baik, asal demi ‘revolusi Indonesia’. Akibatnya, waktu dia jatuh dari kekuasaan, laju inflasi di negeri kita sudah mencapai 650% setahun, dan negeri kita bangkrut, rakyat morat-marit. Tetapi waktu soekarno berkata demikian, para ahli ekonomi kita bertepuk tangan menyanjung pikiran briliyan pemimpin besar revolusi itu (1986:25)
Mochtar Lubis sudah jauh-jauh hari mengeritik pelacuran intektual. Bagi Lubis, pelacuran intelektual adalah sebuah korupsi, sebab ia memerosotkan integritas sebagai intelektual. Hingga saat ini, hal yang sama terus terjadi. Bahkan saat ini, kaum intelektual menjadi hamba kekuasaan, sebab mereka diinstrumentalisasi sebagai corong elit politik. Mereka ditugaskan untuk menjalankan praktik propaganda dan demagogi.
Selain keenam ciri tersebut, menurut Mochtar Lubis manusia Indonesia juga dicirikan oleh sikap tidak hemat. Sebab, manusia Indonesia cenderung “mengeluarkan terlebih dahulu penghasilan yang belum diterimanya,” kata Lubis. Tentu, pandangan Mochtar Lubis tentang ‘Manusia Indonesia’ telah menimbulkan perdebatan yang luas sejak 1977.
Namun, kita tidak perlu masuk terlalu jauh pada perdebatan tersebut. Mochtar Lubis, dalam salah satu pembelaannya, mengatakan, 6 ciri manusia Indonesia itu bukan berarti ada dalam tiap-tiap pribadi, dan karena itu tidak ada satupun manusia Indonesia yang, sekurang-kurangnya, bebas dari salah satu ciri tersebut. Menurut Mochtar Lubis, keenam ciri tersebut merepresentasikan secara general mentalitas manusia Indonesia. Apakah praktik koruptif yang terjadi saat ini merupakan konsekuensi logis dari ciri-ciri tersebut?
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya