Indodian.com – Manusia adalah makhluk yang setara dan bebas. Ketika ia hidup dalam sebuah negara, maka ia harus membatalkan kesetaraan dan kebebasan itu dengan tunduk pada kekuasaan negara. Mengapa manusia mau atau rela menempatkan dirinya dan taat di bawah kekuasaan tersebut? Pertanyaan ini melahirkan persoalan seputar legitimasi keberadaan sebuah negara: mengapa negara harus atau boleh ada? Dalam sejarah filsafat politik terdapat sekurang-kurangnya lima model kajian yang menjelaskan basis legitimasi keberadaan negara.
Pertama, model eudaimonistis. Model ini dikembangkan pertama kali oleh Platon dan Aristoteles. Keduanya berpandangan, negara dibutuhkan sebagai syarat mutlak untuk mencapai kebahagiaan (eudaimonia) dan pengembangan hidup manusia yang baik. Platon (427-347 SM) menulis tiga karya besar filsafat politik yakni Politeia (Republik), Politikos (Pemerintah) dan Nomoi (Undang-Undang). Ketiga karya ini mengandung konsep politik yang sangat berbeda satu sama lain. Tidak jelas pandangan mana yang menjadi keyakinan Platon andaikata ia memang menganut satu teori politik tunggal.
Baca Juga : Sebelah Utara Kota Karang
Baca Juga : Politik Hijau, Partai Politik, & Masyarakat Adat
Kendatipun demikian, satu hal mempertemukan ketiga konsep tersebut: kebahagiaan menjadi basis teori politik. Sebuah kerja sama sosial yang erat merupakan sesuatu yang dasariah dalam teori politik Platon guna mewujudkan kebahagiaan individual. Platon coba membuktikan bahwa relasi kerja sama sosial yang adil merupakan jembatan emas menuju eudaimonia. Perkembangan moral sama sekali tidak merusakkan interese individual, bahkan merupakan unsur dasariah demi terciptanya eudaimonia.
Dalam Politeia, Platon menjelaskan secara detail bagaimana terbentuknya negara adil yang sempurna. Menurut Platon, negara terbentuk karena tak seorang individu pun mampu hidup sendirian. Setiap individu membutuhkan orang lain. Berdasarkan prinsip bahwa setiap orang harus melakukan atau mendapatkan apa yang menjadi haknya, maka dibedakan tiga kelas sosial yang dikategorikan secara hirarkis. Kelas tertinggi adalah para filsuf, kelas menengah ditempati kelompok militer dan kelas terendah adalah para petani, tukang, pedagang, dll (kelas pembantu).
Di samping itu Platon juga mengemukakan tuntutan yang sengaja diciptakan sebagai provokasi untuk masyarakat Athena waktu itu, yakni: perempuan memiliki posisi yang setara pada kelas filsuf dan militer, penghapusan hak milik pribadi dan keluarga serta kekuasaan para filsuf.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya