Keindonesiaan sebagai sebuah Identitas
Keindonesiaan itu merupakan sebuah identitas. Sebagai identitas, ia tidak sepenuhnya permanen atau fix. Setiap identitas, meminjam Ricoeur (bdk. Felix Baghi, 2012), mengandung unsur similiaritas, keserupaan, atau kesamaan yang bersifat tetap dan unsur dinamis yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Unsur dinamis dari identitas ini senantiasa berada dalam proses menjadi karena ia berkaitan dengan kesanggupan diri-individu untuk senantiasa fleksibel dengan situasi dan perkembangan jaman. Itu berarti proses identifikasi dari diri-individu itu berlangsung terus tanpa henti.
Baca Juga : Hindari Pinjaman Online
Baca Juga : Setelah Pandemi, Kita ke Mana?
Dalam arti ini, keindonesiaan kita sebenarnya tidak diukur oleh identitas yang tertera dalam KTP/KK atau oleh DNA Indonesia. Imajinasi kita harus melampaui itu. Ukuran keindonesiaan kita terletak pada semangat, spiritualitas, dan jiwa keindonesiaan. Semangat, spiritualitas, dan jiwa keindonesiaan itu terletak pada kesanggupan kita untuk merawat keberagaman serta menghormati kemanusiaan sebagai warisan bangsa yang bernilai. Narasi satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air serta semboyan Bhineka Tunggal Ika hendaknya mengarahkan kita untuk tidak menjadi manusia atomistis dan monolitis yang anti-keberagaman. Narasi dan semboyan itu harus menjadi jembatan perekat yang menghubungkan kita dari berbagai suku, ras, budaya, dan agama. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan bagi kita untuk mendengungkan narasi nativisme serta anti-asing dan lain sebagainya yang mengancam stabilitas dan kohesi sosial.
Di bawah narasi dan semboyan di atas, kita merumuskan ulang identitas kita dari waktu ke waktu dalam menghadapi musuh bersama (common enemy) yang menghancurkan bangsa kita. Itulah yang mesti kita rawat. Karena yang pasti, musuh kita dari waktu ke waktu selalu berubah. Saat ini musuh kita boleh jadi terjelma dalam ideologi-ideologi radikal yang mengancam toleransi dan keutuhan NKRI, model pembangunan utilitarian yang selalu mengancam nasib masyarakat kecil, kapitalisme global, oligarki, dan lain-lain.
Baca Juga : Cerita Tuna Penjaga Mata Air
Baca Juga : Pesan Ibu
Dalam perang melawan “common enemy” itu cita rasa kebangsaan kita terbentuk. Kita merasa bersatu sebagai satu bangsa berhadapan dengan musuh yang menghancurkan keindonesiaan kita. Dulu pada masa prakemerdekaan, orang-orang dari berbagai suku, ras, budaya, wilayah, dan agama di nusantara bersatu melawan bangsa-bangsa kolonial. Bangsa-bangsa kolonial diidentifikasi sebagai musuh mereka. Oleh karena itu, mereka bersatu berperang melawan musuh itu tanpa memperhatikan latar belakang masing-masing. Mereka menyatu dalam satu rantai perjuangan yang sama untuk berperang melawan musuh yang sama. Kini, kita dituntut untuk melakukan gerakan yang sama dengan musuh yang berbeda. Sebab gerakan-gerakan yang menghancurkan keindonesiaan kita tidak akan pernah hilang total. Semoga semangat kita tetap membara. Salam kemerdekaan.
325515 453504Thanks for the excellent post against your weblog, it genuinely provides me with a appear about this subject.??;~.?? 242234