Merawat Keindonesiaan

Konsep “negara penjaga malam” yang diusung oleh John Locke didesain untuk menjamin keteraturan dan hukum dalam rumah (home), pertahanan melawan kekuasaan asing, dan keamanan hak milik (property). Tiga prinsip Locke dapat diringkas dalam tiga kata: kehidupan (life), kebebasan (liberty), dan hak milik (property) (Maurice Cranston, 1967:458).

Di Amerika Serikat tercapainya konsensus negara demokratis diwarnai perang sipil. Dinamika itu mencapai titik puncaknya dalam deklarasi Amerika Serikat pada tanggal 4 Juli 1776. Sedangkan di Perancis perjuangan terbentuknya negara modern yang demokratis dimulai sejak J. J. Rousseau. Perjuangan itu mencapai puncaknya dalam revolusi Perancis pada tahun 1789. Demikian juga di Rusia, perjuangan terbentuknya negara komunis mencapai puncaknya dalam revolusi yang terjadi pada tahun 1917 (H. Kaelan, 2013:2).

Baca Juga : Aku dan Kisahku
Baca Juga : Mabuk Kuasa

Berbeda dengan latar belakang perkembangan negara modern di Inggris, Amerika, Perancis, dan Rusia, perjuangan terbentuknya negara modern di Indonesia diwarnai dengan penjajahan oleh bangsa asing selama 3,5 abad. Pengalaman getir sebagai orang-orang terjajah mendorong pemuda-pemudi nusantara untuk bersatu padu memperjuangkan kemerdekaan. Mereka menyadari bahwa perjuangan dan perlawanan yang dilakukan secara sporadis yang mengedepankan ego wilayah, suku, ras, dan agama tidak akan mampu membawa Indonesia ke gerbang pintu kemerdekaan. Di hadapan penjajah mereka secara spontan menyadari identitas mereka yang satu dan sama sebagai orang terjajah. Setelah menyadari identitas sebagai orang-orang terjajah, mereka kemudian secara bersama menghadapi musuh bersama mereka (common enemy) yakni bangsa-bangsa kolonial. Perjuangan itu pun membuahkan hasil.

Setelah bangsa-bangsa kolonial berhasil diusir, masih ada tugas berat yang harus diselesaikan yakni merumuskan konsep negara macam mana yang hendak dibangun agar keberagaman di nusantara tetap terjaga. Para pendiri bangsa kemudian mulai menggali kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal (local wisdom) di berbagai wilayah di nusantara. Kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal itu selanjutnya menjadi causa materialis pembentukan dasar Negara Indonesia yang hendak dibangun.

Kendati demikian, secara jujur mesti diakui bahwa pembentukan negara Indonesia modern yang demokratis tidak mungkin dilakukan dengan menolak sama sekali pemikiran-pemikiran kenegaraan yang berasal dari Barat. Namun demikian, para pendiri bangsa menyadari praksis demokrasi liberal Barat yang berpegang teguh pada prinsip individualisme menghadirkan penderitaan pada bangsa lain termasuk Bangsa Indonesia sendiri. Atas dasar itulah, para tokoh pergerakan seperti Soekarno, Hatta, Yamin, Soepomo, Tan Malaka, Syahrir, dan tokoh lainnya menolak dengan keras paham Liberalisme-Individualisme (H. Kaelan, 2013:2).

Baca Juga : Menyapa Aleksius Dugis, Difabel Penerima Bantuan Kemensos RI
Baca Juga : Kisah Jurnalis di Manggarai Timur yang Setia Melayani ODGJ

Meskipun inti filsafat liberalisme-individualisme ditolak, pemikiran Barat tentang negara modern tetap menjadi referensi para pendiri Negara Indonesia. Menurut H. Kaelan, di sini kejeniusan para pendiri bangsa ditunjukkan. Mereka mengolah pemikiran mereka tentang Negara Indonesia secara “eklektis”, yakni memadukan berbagai elemen pemikiran untuk menghasilkan suatu konsep baru. Notonegoro menyebunya dengan istilah “eklektis inkorporatif”.

Terkait hal ini, Kahin (1970) dan Dahm (1987) mengemukakan: “Perumusan Pancasila yang dikemukakan Soekarno misalnya merupakan konsepsi yang khas yang tidak ada pada pemikiran filsafat negara yang lain di dunia. Pemikiran Soekarno itu merupakan suatu sintesis dari demokrasi Barat, Islamisme, Marxisme, nasionalisme Sun Yat Sen, dan humanisme Gandhi. Namun demikian, pemikiran Soekarno juga mendasarkan pada causa materialis yang ada pada Bangsa Indonesia sendiri, yaitu tentang nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai kemanusiaan serta semangat kekeluargaan dan gotong-royong, realitas etnis serta nilai kebudayaan lainnya.” Nilai-nilai ini merupakan basis yang kuat bagi pembentukan identitas atau jati diri Bangsa Indonesia.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *