Penyakit Era Digital
Transformasi peradaban dunia merupakan sejarah yang turut ditopang oleh teknologi. Bahkan kehadiran teknologi merupakan sebuah keniscayaan dalam proyek modernitas. Teknologi telah berkontribusi bagi eksplorasi wawasan manusia tentang dirinya sendiri dan kosmos, sehingga manusia mampu berevolusi dari kehidupan tradisional ke modern. Dalam perkembangan selanjutnya, ekspansi teknologi mendorong digitalisasi, sehingga lanskap kehidupan manusia diwarnai oleh kehadiran alat-alat informasi dan komunikasi.
Proyek digitalisasi ini pun akhirnya membentuk era digital, yaitu sebuah era yang ditandai dengan penggunaan alat-alat teknologi (digital) secara global. Tentang hal ini, Klaus Schwab dalam buku The Fourth Industrial Revolution mengatakan: “technology and digitization will revolutionize everything.”1Dengan demikian, kehadiran teknologi digital akan berdampak secara multidimensional.
Baca Juga : Membangun Taman Baca, Membangun Harapan Bangsa
Baca Juga : Belajar dari Ketajaman Pendengaran Kaum Difabel
Meskipun demikian, era digital merupakan sebuah era yang berwajah ganda atau paradoks. Menurut Teguh Hindarto, paradoks era digital ditandai dengan dua situasi yang berseberangan: “di satu sisi, ia menghasilkan kecepatan dan efisiensi serta efektivitas (informasi, pengetahuan, transaksi ekonomi, dll). Sementara di sisi lainnya, menghasilkan banalitas atau kedangkalan pemahaman (banality of understanding).”2Temuan yang sama juga disampaikan oleh Thomas M. Nichols. Menurut Nichols, paradoks era digital terletak pada ketidaksesuaian antara kelimpahruahan informasi dan kedewasaan masyarakat dalam berteknologi.3
Menurut F. Budi Hardiman4, eksistensi manusia di era digital (homo digitalis) seringkali ditentukan oleh tindakan digital, seperti uploading, chatting, atau posting. Pada kenyataannya, tindakan-tindakan ini hanya bertujuan untuk memuaskan kebutuhan akan pengakuan. Dalam situasi ini, manusia bukan hanya sebagai subyek pengendali atas teknologi, melainkan juga sebagai obyek yang dikendalikan oleh teknologi.
Dalam bahasa Jean Baudrillard, karakteristik masyarakat berteknologi ditandai oleh “hilangnya kemerdekaan subyek, dan di sana terjadi kontrol obyek terhadap subyek.”5Situasi ini mengakibatkan munculnya sejumlah penyakit (patologi) dalam era digital, seperti post-truth, hoax dan fake news, adiksi virtual, banalitas pemahaman, dan epidemi irasionalitas. Penyakit digital ini tidak hanya menyerang realitas virtual atau ruang siber, tetapi juga turut menyerang realitas konkret.
Stabilitas dan integrasi sosial mengalami kemunduran, karena setiap orang mengedepankan mentalitas-mentalitas destruktif. Selain itu, emosionalitas dan subyektivitas berhasil menguasai jagat digital, sehingga obyektivitas dan validitas data sulit ditemukan. Hal ini pun berujung pada kaburnya ‘kebenaran’ dan yang ada hanyalah ‘kebenaran-kebenaran’ yang lahir dari rahim interpretasi subyektif atas realitas.
Baca Juga : Bagaimana Peran Media Dalam Melawan dan Menghapuskan Kekerasan Terhadap Anak?
Baca Juga : Menulis Menghidupkan yang Mati
Pada level konkret, penyakit era digital itu menyata dalam fenomena post-truth, hoax, fake news, pengerahan buzzer politik, manipulasi dan propaganda, iklan, dan hiburan artifisial. Hingga kini, pemanfaatan media digital untuk tujuan manipulasi massa dan propaganda politik berkembang semakin cepat. Bahkan, polanya semakin sistematis, masif, dan terstruktur. Aktor dan motivasi di balik praktik manipulasi dan propaganda juga semakin kompleks. Saat ini, keduanya tidak hanya digunakan untuk tujuan politik kekuasaan, tetapi juga untuk tujuan ekonomi, sosial, dan ideologi.
Hingga saat ini, praktik propaganda dan manipulasi massa yang paling sering terjadi adalah penyebaran hoax.Hoax digunakan untuk mempengaruhi opini publik, untuk tujuan bisnis, dan kampanye hitam (demagogi). Ketiga tujuan sesat ini beresonansi dengan mentalitas massa yang mudah percaya dan senang mendapat berita heboh, dan kurangnya tindakan hukum.
Hal ini telah dibuktikan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) melalui survei bertajuk “Wabah Hoax Nasional” pada tahun 2019.6Menurut Mastel, media sosial (87,50 persen) dan internet atau website (28,20 persen) adalah dua media utama penyebaran hoax.
Dari 941 responden, sebanyak 44,30 persen masyarakat mengaku menerima hoax setiap hari, 17,20 persen lebih dari sekali sehari, 29,60 persen seminggu sekali, dan 8,70 persen sebulan sekali. Konten hoax biasanya tersebar dalam bentuk tulisan (70,7%), foto dengan caption palsu (66,3%) dan Berita/foto/video lama diposting ulang (69,2%).Adapun konten hoax yang paling sering diterima masyarakat, yaitu isu sosial politik, isu SARA, dan pemerintahan.Mengapa terjadi hal demikian?
Tinggalkan Balasan