Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dalam dan dari sejarah
(Pramodoedya Ananta Toer)
Indodian.com – Seorang penulis bisa “mati” dan “hidup” pada saat yang sama. Ketika dia menghasilkan sebuah tulisan dan dibaca banyak orang, pada saat itu juga dia mati sekaligus hidup. Prinsip tafsir kritis teks atau tulisan menuntut ‘kematian’ pengarang (Rolland Barthes) agar tersedia ruang kebebasan menafsir bagi pembaca. Penulis harus ‘mati’ agar pembaca ‘hidup’. Dengan kematian pengarang, sebuah tulisan membuka ruang diskursus.
Pada saat yang sama, tulisan mengekalkan penulisnya. Ketika sebuah karya selesai ditulis, penulis memperpanjang umurnya lagi. Dengan itu, dia hidup dalam kenangan kolektif masyarakat. Dia mengalahkan takdir dan kefanaan. Singkatnya, menulis adalah pekerjaan untuk keabadian.
Baca Juga : Sebelas Tahun dipasung, Leksi Akhirnya Lepas Pasung dan Bisa Jalan Sendiri
Baca Juga : Pelangi di Mataku
Di situ, menulis sebentuk nimesis ruang publik. Dengan menulis, seseorang sanggup menerobos disparitas ranah privat dan publik. Dia membenturkan “kepalanya yang kecil” dengan teks mahabesar yaitu realitas hidup manusia.
Dengan kata lain, seorang penulis itu privat sekaligus publik. Sebab ketika menulis, ia tak berpikir tentang dirinya, tapi tentang realitas sosial-politik (publik) yang bentur-membentur di luar dirinya. Dia membentuk opini publik dan merekonstruksi pikiran pembaca. Di situ, penulis menjadi manusia politis dan publik. Maka, menulis itu politis serentak sosial.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya