404 Not Found

Maaf, halaman yang anda cari tidak tersedia atau URL yang Anda inputkan salah

Kaum Muda dan Budaya Lokal

Indodian.com – Globalisasi menandai perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Penyebarannya berlangsung secara cepat, masif dan tidak terbatas pada negara-negara maju dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga melintasi batas negara-negara berkembang dan miskin dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Dalam hal ini, globalisasi menjadi sebuah fenomena yang tak terelakkan (Scholte, 2001:7). Perkembangan globalisasi ini membawa beragam efek. Salah satunya ialah menglobalnya budaya lokal. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai buah dari rahim globalisasi ini dapat dimanfaatkan sebagai kuda tunggangan kaum muda untuk dapat mempopulerkan budaya lokal.     

Globalisasi membawa serta segala kemajuan baik dalam bidang pendidikan, teknologi informasi dan komunikasi, kesehatan, dan lain sebagainya. Penulis di sini lebih menitikberatkan pembahasan tentang pengaruhnya terhadap teknologi informasi dan komunikasi. Peluang ini membantu kaum muda dalam mempertahankan dan melestarikan budaya lokal.

Kaum muda memiliki tanggung jawab untuk menjaga eksistensi budaya lokal. Pertama, kaum muda menjaga, merawat dan mengembangkan budaya lokal di tengah penetrasi budaya modern. Kedua, kaum muda sebagai penikmat dan sekaligus sasaran dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai buah dari budaya modern. Di sini kaum muda dituntut untuk bijak dalam menanggapi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai buah dari budaya modern yang menglobal. Kaum muda dituntut untuk dapat bersikap lokal dan berpikir global.

Kaum muda perlu bijak melihat peluang yang datang bersama perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Kehadiran budaya modern tidak hanya dilihat sebagai tantangan atau sebagai pengerus budaya lokal. Idealnya budaya modern hadir untuk membantu memudahkan aktivitas manusia. Entah dampak positis atau negatif yang timbul itu bukan sepenuhnya kesalahan dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi atau buah dari kebudayaan modern, melainkan sejauh mana peran kaum muda untuk menyikapi kemajuan yang ada atau menyikapi budaya modern yang hadir.

Perlu diingat bahwa perubahan pola pikir menjadi lebih modern dan lebih masuk akal dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga taraf hidup masyarakat membaik merupakan buah dari hadirnya budaya modern. Ini merupakan peluang bagi kaum muda yang telah akrab dengan kemajuan yang ada sebagai buah dari budaya modern, untuk mengeksplor budaya lokal ke kanca internasional melalui teknologi yang hadir berkat kehadiran budaya modern.

Semakin maju perkembangan zaman, semakin maju pula perkembangan teknologi yang diciptakan. Dalam masa transisi era society 5.0, kita semakin dituntut maju dan beradaptasi dengan teknologi infomasi dan komunikasi yang hadir serta ini juga menjadi dampak yang sangat berpengaruh bagi seluruh aspek kehidupan di masyarakat.     

Oleh karena itu, generasi muda harus menjaga budaya dan tradisi lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang kita sebagai identitas diri dan bangsa, serta selektif terhadap pengaruh budaya modern agar budaya lokal yang dimiliki bisa terjaga dan tidak terkikis oleh perkembangan era globalisasi yang semakin pesat. Generasi muda juga diharapkan mampu untuk mengenalkan budaya sendiri dalam kancah dunia dan era globalisasi.

Sepatutnya kita sebagai generasi muda berusaha untuk melestarikan dan menjaga keberagaman budaya-budaya lokal yang ada di Indonesia sehingga sebagai generasi muda kita mampu mempertahankan budaya lokal di tengah kehadiran budaya modern yang semakin berkembang. Peran generasi muda sebagai agent of change sangat diharapkan untuk terus berusaha mewarisi budaya lokal dan akan menjadi kekuatan bagi eksistensi budaya lokal itu sendiri walaupun diterpa arus globalisasi. Karenanya, Peran generasi muda sangat diharapkan untuk terus berusaha belajar dan dapat mewarisinya (Mahasaraswati, 2019:6).

Sebagai agen perubahan, generasi muda dituntut untuk terus mengangkat taraf budaya lokal agar dapat bersaing dengan budaya modern. Namun, kendatipun demikian kita harus berbangga bahwa sejauh ini budaya lokal masih bisa bersaing dengan budaya modern meskipun adanya proses akulturasi itu juga bukti bahwa generasi muda masih mencintai budaya lokal. Sebagai contoh: baru-baru ini diadakan ASEAN SUMMIT di Labuan Bajo dan sebagian besar kepala-kepala negara yang mengikuti kegiatan ini mengunakan baju batik khas Indonesia (jawa), dan juga adanya akulturasi antara jas khas budaya barat dengan songke khas Indonesia (Manggarai) sehingga menghasilkan jas songke. Ini merupakan bukti bahwa kaum muda mampu mengekspor budaya lokal ke kanca internasional menggunakan media atau perkembangan yang dilahirkan oleh budaya modern.

Budaya sama hal dengan manusia, yaitu sama-sama bersifat dinamis atau berubah-ubah. Budaya lokal dengan sifat dasarnya sangat menerima budaya baru. Namun kaum muda sebagai agen pengerak dituntut untuk dapat menggunakan kecakapan lokal atau lokal genius untuk memfilterisasi atau memproteksi pengaruh-pengaruh budaya modern yang berdampak pada tergerusnya eksistensi budaya lokal. Agen pengerak atau kaum muda harus mempersiapkan diri untuk memfilerisasi sbuah-buah yang lahir dari kebudayaan modern, perkembangan memang tak dapat dielakkan namun kaum muda harus dapat memfilterisasi hal-hal yang bersifat merusak atau menggeru budaya lokal. (Syibran, 2010:10).

Kehadiran budaya modern yang membawa serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberi ruang bagi kaum muda untuk menjaga, melestarikan dan mengekpor budaya lokal ke kancah internasional. Sebagai contoh kehadiran teknologi informasi dan komunikasi sebagai jembatan bagi kaum muda untuk dapat menjaga dan mengekspor budaya lokal adalah dengan membuat konten-konten yang bernuansa budaya misalnya mebuat konten tarian caci, lagu-lagu dalam bahasa daerah dan lain sebagainya.

Hemat penulis, budaya modern memang dapat menjadi jembatan emas bagi kaum muda untuk menjaga dan mengekspor budaya lokal ke kanca internasional. Budaya mesti bersifat dinamis atau berubah-ubah asalkan tidak menghilangkan unsur-unsur kebudayaan itu sendiri. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi adalah media yang lahir dari budaya modern yang dapat dipakai sebagai kuda tunggangan bagi kaum muda untuk mengekspor budaya lokal. Maka kaum muda dituntut untuk bijak memanfaatkan segala kemajuan sebagai buah dari budaya modern, kaum muda harus diperkuat pengetahuannya tenang budaya lokal sebelum kemudian mereka mengekspor budaya lokal ke kanca internasional, jadi unsur-unsur kebudayaan lokal harus mandarah daging dulu baru kaum muda kemudian mengolaborasi perkembangan zaman dengan budaya lokal.

Akankah kaum muda mampu membaca peluang yang datang dari kebudayaan modern untuk kemudian mengekspor budaya lokal atau sebaliknya terjebak dalam glorifikasi budaya modern sambil mengamputasi budaya lokal?

Apa Kabar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga?

Pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang berkaitan dengan urusan domestik seperti mencuci, memasak, dan membersihkan rumah. Sejak dahulu, pekerjaan ini dianggap sebagai penunjang, alamiah dan bersifat pelengkap. Pekerjaan rumah tangga banyak dilakukan oleh perempuan sebagai ibu rumah tangga, gadis, dan remaja wanita. Seiring dengan kebutuhan dan permintaan yang bersamaan dengan lajunya arus ekonomi masyarakat, pekerjaan rumah tangga menjadi pekerjaan sektor jasa berbayar. Namun, persepsi tentang pekerjaan rumah tangga ini tidak berubah, apalagi berkaitan dengan perlindungan bagi pekerjanya.

Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 tahun 2015 tentang perlindungan pekerja rumah tangga (PRT) adalah orang yang bekerja pada orang perseorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima upah dan atau imbalan dalam bentuk lain. Ruang lingkup pekerjaan rumah tangga ini mencakup pekerjaan sebagai pengasuh anak, perawat keluarga yang sakit, lanjut usia, tukang kebun, dan pengamanan rumah tangga termasuk dalam pekerja rumah tangga.

Dalam banyak peristiwa, PRT seringkali mengalami hubungan kerja yang tidak jelas, aturan kerja yang tidak adil, upah yang minim dan jam kerja yang melebihi batas kewajaran. Meskipun unsur kerja telah diatur dalam aturan pemerintah tentang ketenagakerjaan yakni adanya upah dan adanya pemberi kerja yang jelas terpenuhi, tetapi hingga kini masih mengalami hal yang sama. Pada umumnya, Permenaker belum memperhatikan secara serius mengenai hak-hak mereka. Banyak pekerja rumah tangga menjadi tenaga kerja wanita (TKW) dan memutuskan pergi menjadi pekerja rumah tangga di negara lain seperti Malaysia, Hongkong, dan masih banyak negara lain.

Sebagian besar pekerja rumah tangga tersebut didominasi oleh perempuan yang berasal dari keluarga ekonomi kurang mampu. Dalam kondisi tersebut, mereka dituntut untuk menjadi tulang punggung keluarga, membantu keluarga di kampung, membiayai sekolah anak, dan urusan keluarga lainnya. Tingginya kebutuhan keluarga membuat mereka memilih untuk merantau ke luar negeri. Rendahnya sumber daya manusia dan pelbagai tawaran iming-iming gaji di luar negeri membuat mereka seringkali terjebak sebagai pekerja ilegal. Konsekuensinya, mereka rentan mendapat kekerasan fisik bahkan meninggal dunia di luar negeri.

Di Indonesia sendiri, pekerja rumah tangga masih dikecualikan dari perlindungan yang sama sebagaimana pekerjaan lain pada umumnya. Akibatnya posisi pekerja rumah tangga ini rentan mengalami diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, perbudakan dan penyiksaan. Perlindungan yang diberikan pun masih sangat minim. Melihat banyaknya ketidakadilan kepada PRT, beberapa organisasi masyarakat sipil menginisiasi perumusan RUU PPRT ini. Data dari WWW.dpr.go.id tahun 2004, RUU ini telah diakui sebagai RUU inisiatif DPR RI. Sejak saat itu RUU PPRT masuk dalam daftar Program Legislatif Nasional (Prolegnas) yang akan dibahas bersama.

Pada tanggal 28 Agustus 2023 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas) Perempuan melakukan siaran pers mendorong pengesahan RUU PPRT (https://Komnasperempuan.go.id). “Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga: Penting dan Mendesak”, demikian bunyi siaran pers Komnas Perempuan. Dalam siaran pers tersebut Komnas Perempuan juga menanggapi aksi Aliansi Mogok Makan untuk RUU PPRT di depan gedung DPR RI tertanggal 14 Agustus 2023 sebagai bentuk tuntutan yang patut diapresiasi agar DPR RI segera melanjutkan pembahasan mengenai RUU PPRT ini.

Namun, hingga kini RUU PPRT belum menjadi undang-undang. Sudah 20 tahun RUU PPRT menjadi hiasan meja kerja DPR. Hal ini menimbulkan beragam pertanyaan yang muncul. Mengapa RUU PPRT belum menjadi UU? Apakah negara dalam hal ini DPR hanya memberi harapan palsu selama 20 tahun kepada PRT? Kapan Dewan Perwakilan Rakyat RI bangun dari ‘tidur’ yang lelap?

Semakin ‘lamban’ DPR, dalam mengesahkannya, maka semakin lama RUU PPRT tersebut menjadi undang-undang dan semakin banyaknya kasus ketidakadilan serta penyiksaan kepada pekerja rumah tangga. Baru-baru ini, tepatnya pada 12 Februari 2024, lima PRT yang bekerja di Jalan Jatinegara Timur II, Jakarta Timur dipaksa bekerja di luar batas oleh majikannya tanpa diberi makanan yang layak. Kelima korban seluruhnya perempuan berusia di bawah 18 tahun dan mengalami kekerasan fisik. Kasus ini belum usai diproses secara hukum, muncul kasus serupa PRT asal NTT berusia 20 tahun, melarikan diri karena tak tahan disiksa majikannya (https://jakarta.tribunnews.com).

Kasus-kasus tersebut adalah dua dari sekian banyak kasus penyiksaan yang terjadi pada perempuan PRT. Mirisnya kasus-kasus tersebut terjadi di dalam negara kita sendiri. Hal ini menunjukkan rendahnya kepeduliaan dan rasa hormat terhadap sesama sebagai warga negara. Apalagi, RUU PRT belum mendapat status hukum yang legal. Lalu apa yang membedakan perlakuan majikan-majikan di Indonesia dengan majikan-majikan yang berada di negara lain saat PRT dan TKW/TKI bekerja pada mereka?

Berbagai kasus yang dialami PRT kini menjadi fenomena sosial. Di satu sisi dapat menjadi pekerjaan bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan pendidikan, tetapi jika dilihat dari sisi lain PRT rawan mendapatkan perlakuan yang kurang baik, karena salah satu faktornya ialah belum adanya regulasi yang menjadi payung hukum bagi PRT.

Rancangan undang-undang PRT penting disahkan menjadi UU agar memberikan perlindungan hukum bagi mereka secara khusus berkaitan dengan hubungan kerja yang mencakup perintah, upah, waktu kerja, dan perlindungan lainnya. Maka harapan saat ini ialah mendorong Komnas Perempuan, masyarakat sipil dan media massa agar terus memperjuangkan hak-hak PRT dengan terus menerus menyuarakan RUU PPRT tersebut. Hal ini penting agar DPR segera bangun dari ‘tidur’ yang lelap untuk membahas dan mengesahkan RUU tersebut.

Respons atas Buku “Filosofi Kematian: Rahasia Hidup Bahagia di Zaman Ini”

Indodian.com – Apakah ada kaitan antara kesadaran akan kematian dengan kebahagiaan? Tampaknya sulit menemukan jawabannya dalam buku-buku filsafat yang sudah ada sekarang ini. Tapi, buku “Filosofi Kematian: Rahasia Hidup Bahagia di Zaman Ini” memberikan tawaran yang menarik. Kitab karya Dhimas Anugrah dan Jessica Layantara yang yang diterbitkan oleh Kanisius ini menilik pertanyaan mengenai hubungan antara kesadaran akan kematian dan kebahagiaan yang telah menjadi topik diskusi di berbagai bidang, termasuk filsafat, psikologi, dan antropologi.

Sederet tokoh publik filsafat pun turut berkomentar tentang buku ini, sebut saja Prof. Peter Carey, Ayu Utami, Prof. Bambang Sugiharto, Dr. Fitzerarld Sitorus, dan RD. Dr. Simon P. Lili Tjahjadi. Dikatakan oleh Prof. Carey bahwa memang yang kita butuhkan adalah mengembangkan “energi kematian,” yaitu kesiapan dan keberanian menghadapi kematian setiap saat. Akademisi dari Universitas Oxford itu menambahkan, “Dalam tradisi Samurai Zen Jepang, hal ini merupakan esensi dari semangat pejuang. Terima kasih untuk buku yang bijaksana ini oleh Dhimas Anugrah dan Jessica Layantara yang telah mengingatkan kita akan kebenaran-kebenaran ini” (hal. 5).

Respons Prof. Carey tampak selaras dengan tujuan buku ini ditulis, seperti yang dikemukakan oleh Jessica sendiri, di mana ia menggolongkan manusia dari responsnya terhadap kematian menjadi tiga: Pertama, yang melihat kematian sebagai sesuatu yang alamiah, yang tidak terelakkan. Kedua, yang melihat kematian dengan penuh ketakutan. Dan, ketiga: yang telah memahami benar bahwa mereka akan mati, dan juga telah dapat menerima kenyataan ini dengan terbuka. Tesis kedua penulis ini berniat mewujud-nyatakan manusia-manusia dalam golongan ketiga ini (hal. 17-19). Perbedaan golongan pertama dan ketiga adalah dalam bahwa golongan ketiga tidak hanya melihat kematian sebagai sesuatu yang alamiah, tapi juga terbuka kesadarannya untuk mengisi kehidupan secara rasional, elok, dan bajik (baca hal. 28).

Dhimas menulis, “Dengan mengetahui kematian menanti di ujung hayat, kita dapat belajar memandang kematian sebagai pengingat kehidupan. Jika hari ini kematian belum tiba, berarti kita masih memiliki hari ini. Kita memiliki kesempatan atas hidup kita, atas tindakan kita, dan arah yang ingin kita tuju” (hal. 28). Filsuf muda in tepat, sebab setiap hari adalah kesempatan lain untuk mengambil tindakan dalam hidup kita dan berjalan di dalam kebajikan. Sejalan dengan pemikiran Seneca, bahwa hidup sejatinya adalah perjalanan menuju kematian, maka setiap orang perlu berlatih mempersiapkan kematian sepanjang hidupnya. “Perlu seumur hidup untuk belajar bagaimana menjelang ajal,” demikian Seneca berujar.

Saya melihat, harapan para penulis adalah setelah membaca buku ini sidang pembaca akan mampu merangkai makna tentang kematian itu sendiri, dan akhirnya bisa menerima bahwa suatu hari ia akan berhadapan dengan kematian; entah itu kematiannya sendiri maupun kematian orang-orang di sekitarnya. Buku ini tampak secara filosofis mendorong penikmatnya melihat bahwa kesadaran akan kematian dapat mendorong seseorang mencari makna dalam hidupnya. Memahami keterbatasan waktu hidup dapat memotivasi seseorang memberikan nilai dan arti yang lebih besar pada pengalaman hidup mereka.

Kesadaran akan kematian dapat membantu seseorang lebih memahami prioritas hidupnya. Dengan memahami prioritas hidup, maka seseorang dapat menjadi bahagia, yaitu dengan menerima realitasnya sekarang ini dan di tempat di berada. Kebahagiaan itu sekarang dan di sini, bukan nanti di sana. Maka tepatlah komentar Ketua STF Driyarkaya RD. Dr. Simon P. Lili Tjahjadi atas buku ini, “Tulisan menarik tentang kematian nanti untuk kehidupan kini.” Kesadaran akan hidup yang dimiliki saat ini dan akan kematian nanti memang dapat memotivasi seseorang lebih berpikir rasional dan memakna. Dengan menyadari bahwa hidup bersifat sementara, seseorang mungkin lebih cenderung menjalani hidup dengan penuh kehadiran dan kesadaran.

Buku yang ditulis bersama oleh dua sahabat Dhimas Anugrah dan Jessica Layantara ini dengan gaya bahasa yang enak dibaca menunjukkan bahwa realitas kematian justru dapat mendorong seseorang berpikir rasional dan mengisi kehidupannya dengan memberikan makna hidup. Secara jeli novelis Ayu Utami berkomentar, “Buku ini, berisi renungan-renungan pendek tentang menyikapi kematian secara rasional dan filosofis, memang sangat dibutuhkan terutama di zaman yang telah kehilangan kesederhanaan.” Sementara Prof. Bambang Sugiharto menilai, “Buku karya Dhimas Anugrah dan Jessica Layantara ini berfokus pada sikap manusia terhadap kematian, bukan ihwal apa yang terjadi saat manusia mati. Tulisan dalam buku ini mendalam, tetapi juga realistis; tepat untuk membangun sikap yang autentik dalam hidup keseharian.”

Beberapa orang yang telah menerima kenyataan kematian dapat merasa lebih damai dan bahagia karena mereka tidak lagi cemas terhadap aspek-aspek kehidupan yang di luar kendali mereka. Beberapa orang mungkin menemukan pemahaman ini membebaskan dan memberikan arti, sementara yang lain mungkin merasa cemas atau terbebani olehnya. Tipe orang yang manakah kamu? Buku “Filosofi Kematian” mungkin bisa membantumu merenungkannya. Fitzerald Sitorus berkomentar, “Buku tipis karya Dhimas Anugrah dan Jessica Layantara ini membawa kita lebih dekat ke fenomena kematian. Refleksi-refleksi yang disampaikan dengan jernih dan gamblang itu memungkinkan kita melihat dan memahami kematian.”

Yang jelas, “Filosofi Kematian” bukanlah buku tentang apa yang terjadi setelah kematian, karena tidak ada seorang pun yang mengetahuinya secara empiris. Untaian aksara dalam buku ini lebih kepada menilik dialektika filosofis tentang kematian, juga duka yang mengikutinya, dan bagaimana itu terkait dengan kebahagiaan. Salut kepada penerbit Kanisius, sebuah penerbit di Yogyakarta yang buku-buku filsafatnya saya gemari sejak lama, karena telah menerbitkan buku yang super keren ini. Buku ini telah memberi manfaat bagi saya, bahkan menenangkan, jadi saya pun menyarankan Anda mulai perjalanan bersama “Filosofi Kematian” dan belajar menjadi manusia yang bahagia dari setiap halaman yang kamu baca. Buku dapat dipesan via WA di Kanisius: wa.me/62822374780

No Wa: 082237478080

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Indodian.com – Seiring berkembangnya zaman, ruang publik di bidang politik makin tergeser. Mulanya komunikasi politik secara langsung, kini bertransformasi ke komunikasi lewat layar. Dengan kehadiran gawai yang dilengkapi berbagai fitur-fitur media sosial, proses politik konvensional menjelma online politic atau politik maya. Perkembangan teknologi komunikasi yang berdampak dalam kehidupan politik di berbagai belahan dunia bermula ketika pada abad 18, Edison menemukan alat yang menghasilkan efisiensi dalam proses politik di Amerika.

Saat ini, Indonesia tidak hanya berhadapan dan beradaptasi dengan perkembangan media elektronik dan media cetak. Teknologi komunikasi multimedia berbasis internet juga kian menjamur. Ruang publik menjadi semakin terbuka lebar. Berbagai proses dan dinamika politik tidak hanya tersampaikan melalui berbagai media konvensional, tetapi lambat-laun mulai masuk ke ranah digital yang langsung menyasar para khalayak secara personal.

Kehadiran internet dan media sosial mengubah pola interaksi antara masyarakat dengan para politisi maupun calon politisi di era demokrasi. Masyarakat dapat dengan mudah memberikan respons atau berinteraksi dengan para politisi atau kandidat partai lewat layanan komentar atau pesan di media sosial. Tidak ada elemen gatekeeper di antara keduanya, layaknya institusi media, wartawan, atau editor. Hal ini membuat masyarakat (warganet) merasa bahwa proses interaksi sepenuhnya dalam kontrol mereka. Lewat media sosial, masyarakat merasa memiliki akses riil terhadap para politisi. Media sosial juga memberikan ruang bagi para warganet untuk terkoneksi dengan warganet lain yang mengidolakan atau mendukung politisi dan calon politisi tertentu.

Namun, kalau berbicara soal isu politik, khususnya Pemilu, media sosial menjadi tempat sampah bagi segala misinformasi, disinformasi, dan ujaran kebencian. Dengan berbagai kecanggihannya, media sosial menjadi ruang yang memungkinkan semua orang bebas berekspresi tanpa terkendala hierarki. Semua orang bisa mengutarakan pendapat, pandangan, dan wacana bak ahli dan pakar. Tak adanya proses moderasi dan verifikasi seperti di media massa adalah persoalan yang membuat media sosial sebagai ruang serba bebas dan liar.

Tom Nichols dalam bukunya yang berjudul “Matinya Kepakaran”, menjelaskan bahwa sebagian konflik di wilayah publik merupakan keributan yang diperkuat oleh internet dan media sosial. Internet mengumpulkan factoid (pernyataan palsu yang disajikan sebagai fakta atau berita yang sebenarnya) dan gagasan setengah matang, lalu disebarluaskan melalui perangkat elektronik. Di media sosial, tak ada mekanisme tepat untuk menyaring konten yang mengandung disinformasi, misinformasi, permusuhan, dan ujaran kebencian. Dalam tataran yang lebih kompleks, hal ini menyebabkan surplus dan defisit fakta yang membawa masyarakat pada ambang kehancuran intelektual.

Jagat maya adalah jagat yang merefleksikan minat, selera, dan kecenderungan penggunanya, sebagaimana dipaparkan oleh Cass Sunstein (2017) dalam bukunya “Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media”. Sunstein berpandangan bahwa melalui kurasi algoritmis, seseorang terhindar dari paparan konten yang berseberangan dengan keyakinan dan pahamnya. Misalnya, seseorang yang menyukai sosok kandidat ‘A’, hanya akan terus disuguhi informasi tentang kandidat ‘A’, seolah-olah tak membutuhkan informasi lain. Dampaknya, seseorang akan semakin fanatik dan menolak pandangan berbeda. Secara perlahan dan tanpa sadar juga membuat orang-orang membentuk kelompok dengan individu yang pahamnya serupa, pandangan jadi terseragamkan, dan secara politis menarik diri dari kelompok lain.

Persoalan lain akibat lingkaran setan kurasi algoritma adalah hilangnya kepercayaan terhadap ahli, pakar, dan sumber kredibel. Konten dari akun anonim di media sosial dianggap sebagai raja dan sumber kebenaran, sedangkan para pakar, ahli, dan sumber terpercaya dianggap sebagai musuh. Konten-konten dari akun anonim dijadikan sebagai sumber pengetahuan yang sah. Fenomena ini menjadikan dialog dengan berdasarkan rasionalitas, daya kritis tidak lagi dianggap penting. Diskusi yang seharusnya dilandaskan pada fakta dan analisis yang objektif berubah menjadi pertarungan antara kebenaran ilmiah dan keyakinan pribadi yang tidak beralasan.

Betapa mudahnya terlena dalam jaringan informasi palsu yang diproduksi oleh para pembuat konten tanpa identitas yang mengincar perhatian dengan sensasi dan provokasi, tanpa pertimbangan terhadap kebenaran atau akibatnya. Seiring dengan popularitas akun anonim yang semakin membesar, kepercayaan pada institusi dan individu yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang suatu subjek malah semakin menurun. Bukti ilmiah dan data yang diperoleh melalui riset yang cermat dianggap sebagai fitnah atau omong kosong belaka oleh mereka yang terjerat dalam fanatisme semu.

Demokrasi dengan ruang publiknya yang berisik selalu menghadirkan tantangan bagi berbagai sumber pengetahuan. José Ortega y Gasset, seorang filsuf Spanyol pada 1930 juga melayangkan kritik pada keangkuhan intelektual. Menurut Gasset, di dalam kehidupan intelektual yang mensyaratkan keahlian, yang nampak justru kemenangan intelektual semu, tidak layak, tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan bahkan tidak memenuhi syarat. Hal ini mengakibatkan seseorang membaca atau menyimak bukan karena peduli pada isu atau memiliki keinginan belajar, melainkan untuk menghakimi informan jika pendapatnya tidak sejalan dengan paham yang dianutnya.

Realitas yang dikritisi Gaseet sejalan dengan dinamika yang terjadi di Indonesia, terutama dalam kontestasi Pemilu 2024. Penolakan terhadap pengetahuan, fakta, dan data yang dipaparkan oleh sumber terpercaya, sialnya, didominasi oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi, berasal dari kalangan mapan, dan memiliki privilese untuk mengakses berbagai medium dan sumber belajar. Berbagai privilese tersebut, idealnya menjadi alat untuk meningkatkan pemahaman dan kedewasaan intelektual. Sayangnya, akses dan kemewahan tersebut digunakan untuk membenarkan pandangan diri sendiri yang bahkan tidak didukung oleh fakta dan data ilmiah.

Lingkaran setan  kurasi algoritma akan membuat pandemi kebodohan semakin mewabah, terlebih di saat daya kritis mulai tumpul dan menghilang. Lingkaran setan algoritma merupakan fenomena yang dapat mempersempit pandangan, menyuburkan atmosfer konflik sosial, membatasi akses informasi, dan menghambat dialog yang sehat. Dalam konteks demokrasi, hal ini dapat mengancam kebebasan berpendapat, memperkuat filter bubble, dan bahkan memicu polarisasi yang merusak.

Makanya, penting sekali untuk memelihara daya kritis, menjaga  akal sehat, dan merawat demokrasi di era digital ini. Untuk membangun sikap kritis dan menghindari jebakan bias yang merusak, pendekatan konkret perlu diterapkan. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk melakukan validasi dan verifikasi informasi dengan bijak.

Pertama, cari tahu apakah sumbernya kredibel dan memiliki reputasi yang baik dalam menyediakan informasi yang akurat? Sumber-sumber berita yang kredibel, seperti lembaga media resmi, jurnal ilmiah, pandangan ahli/ pakar, atau organisasi terpercaya, seringkali menjadi pilihan yang lebih baik daripada sumber yang kurang dikenal atau memiliki agenda tersembunyi.

Kedua, jangan terburu-buru percaya pada satu sumber saja. Lakukan cross-checking (pemeriksaan silang) dengan mencari informasi yang sama dari beberapa sumber berbeda. Jika informasi tersebut konsisten dan didukung oleh berbagai sumber yang independen, kemungkinan besar informasi tersebut lebih dapat dipercaya.

Ketiga, memperhatikan ciri-ciri konten yang mencurigakan atau tidak kredibel, seperti judul yang sensasional, gambar yang diedit secara mencolok, atau klaim yang tidak didukung oleh bukti yang kuat. Berhati-hatilah terhadap konten yang dimaksudkan untuk memicu emosi daripada memberikan informasi yang faktual.

Keempat, memeriksa konteks dari informasi yang diterima. Kadang-kadang, potongan klip video atau kutipan teks yang diambil dari konteks aslinya dapat mengubah maknanya secara signifikan. Mencari informasi tambahan atau melihat konteks yang lebih luas dapat membantu untuk memahami konteks secara utuh.

Terakhir, menafsirkan informasi dengan menyadari dan mengevaluasi kemungkinan adanya bias. Setiap sumber memiliki potensi untuk memiliki sudut pandang atau agenda tertentu, baik secara politik, ideologis, atau komersial. Mengidentifikasi dan memahami bias yang mungkin ada dalam informasi yang diterima dapat membantu menilai informasi secara lebih kritis.

Hanya dengan kesadaran diri setiap individu untuk coba menerapkan hal-hal kecil seperti yang disebutkan di atas, maka lingkaran setan ini perlahan dapat diputus. Dengan demikian, iklim dialog jadi lebih berwarna dan lingkar setan algoritma tak lagi mengikis demokrasi.

Demokrasi dan Kritisisme

Indodian.com – Indonesia baru saja melaksanakan Pemilu yang berlangsung pada 14 Februari 2024.  Khusus untuk pilpres, hasil sementara dari hitung cepat (quick count) oleh Litbang Kompas, Kamis (15/2/2024), telah mengklaim pasangan Prabowo-Gibran sebagai pemenang unggul 58,60 persen. Sementara itu, pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, mendulang 25,26 persen suara dan pasangan capres-cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD mendapatkan 16,14 persen suara (Fitria C. Farista, Kompas.com-15/02/2024).

Namun, data ini bersifat “sementara” dan belum pasti karena masih menunggu hasil resmi dari KPU. Meski belum dipastikan siapa presiden dan wakil presiden, namun pada dasarnya Indonesia telah melaksanakan perhelatan Pemilu. Siapa pun presiden dan wakil presiden yang terpilih, semua pihak mesti menerima secara rasional. Sebab, mereka tetaplah pemimpin kita yang punya tugas melayani kepentingan warga negara.

Tujuan Pemilu bukan hanya soal siapa presiden yang layak, melainkan bagaimana ia menjalankan pemerintahan secara demokratis. Karena itu, tugas warga negara ialah terus mengawal roda pemerintahan yang dijalankan Presiden terpilih agar selalu berjalan dalam koridor demokrasi. 

Pemilu memang salah satu bagian dari dinamika demokrasi, sebab saat itulah momentum yang tepat bagi rakyat menggunakan hak politiknya. Namun dalam demokrasi, partisipasi rakyat tidak hanya tunggu Pemilu, melainkan sepanjang demokrasi itu berjalan. Karena itu, siapa pun presiden yang terpilih hak warga untuk berpolitik tetap menjadi keniscayaan.

Untuk itulah Indonesia menganut sistem demokrasi dengan konsekuensinya ialah kebebasan rakyat untuk berserikat, berpendapat, berkumpul dan berpartisipasi dalam urusan politik dijamin secara konstitusional. Roda pemerintahan tidak hanya dijalankan oleh elit politik tetapi semua warga negara dilibatkan dalam budaya diskursus sehingga kebijakan politik selalu didasarkan atas deliberasi publik.

Kebijakan politik di Indonesia pertama-tama harus dimulai dengan deliberasi. Istilah deliberasi berasal dari kata Latin deliberatio, lalu diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi deliberation. Istilah ini berarti ‘konsultasi”, “menimbang-nimbang” atau- kita telah memiliki kosa kata politik ini- “musyawarah” (Hadirman, 2009; 128). Demokrasi deliberasi menjadi elemen penting sebagai ajang warga negara untuk berkonsultasi dan menimbang dengan penguasa terkait keputusan politik. Deliberasi berupaya mencari titik temu antara berbagai perbedaan pandangan politik sehingga memungkinkan keputusan politik yang diambil dapat menguntungkan semua pihak.

Teori demokrasi deliberatif merupakan salah satu pemikiran filosofis Jurgen Habermas. Menurut Habermas, deliberasi lebih menekankan pada prosedur formasi opini dam aspirasi secara demokratis. Dengan ungkapan lain, legitimitas keputusan politik tidak terletak pada hasil komunikasi politik, melainkan pada prosesnya. Semakin diskursif proses itu, yakni semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, semakin legitim pula hasilnya (Hardiman, 2009:130). Deliberasi tidak menuntut supaya suara otoritas dianggap legitim sehngga harus dijalankan, tetapi suara otoritas diuji secara publik melalui diskursus yang panjang.

Melalui deliberasi, suara-suara kritis publik diberi kesempatan bukan untuk menghilangkan kebijakan politis tetapi memberi basis agar keputusan politik sesuai dengan tuntutan konteks dan budaya masyarakat. Karena itu, dalam deliberasi yang dikedepankan adalah rasionalitas komunikatif dengan basis argumentatif tanpa harus menggunakan sentimen yang berujung pada brutalitas. Lemahnya budaya deliberasi membuat keputusan politik memicu sikap saling serang di antara berbagai pihak.

Barangkali untuk dijadikan contoh di sini ialah konflik di Rempang, Kepulauan Riau, di mana terjadi bentrokan antara masyarakat dengan aparat keamanan. Menariknya presiden Jokowi menilai kericuhan di Pulau Rempang terjadi karena ada komunikasi yang kurang baik. Menurut Presiden, kericuhan yang terjadi saat warga unjuk rasa memprotes proyek Rempang Eko City di kawasan pulau itu, semestinya tidak akan terjadi sekiranya warga diajak bicara dan diberikan solusi (Cyprianus A. Saptowalyno, Kompas, 12/9/2023). Masalah di Rempang kiranya menjadi preferensi bagi para pengambil kebijakan betapa keputusan politik harus dimulai dengan proses deliberasi agar suara-suara kritis diengarkan. Demokrasi hanya bisa bertumbuh jika suara kritis publik dihargai.

Demokrasi dan Semangat Kritisisme           

Demokrasi merupakan ruang inklusif yang menjamin setiap warga negara agar dapat berpartisipasi di setiap kebijakan politik. Demokrasi sebagai ruang partisipasi mengandaikan aspirasi rakyat diberi jaminan sehingga tidak ada lagi roda pemerintahan yang dijalankan secara otonom oleh penguasa. Setiap kebijakan mesti dipertimbangkan di dalam ruang deliberasi karena kebijkan politik pertama-tama didasarkan atas pertarungan ide yang konstruktif yang melibatkan masyarakat sipil dan pemerintah. Oleh karena itu, sikap kritik yang dilontarkan masyarakat sipil terhadap pemerintah tidak harus dinilai sebagai ancaman, sebaliknya suatu upaya konsolidasi demokrasi demi terciptanya kebijakan yang fair dan diterima oleh semua pihak.

Demokrasi akan bertumbuh bila kritisisme dijamin karena lajunya roda pemerintahan tidak bisa tanpa dikendalikan oleh masyarakat sipil. Ibarat sebuah kapal, ia akan berlayar dengan baik ketika ada nakhoda yang mengendalikannya sehingga menyelamatkan banyak orang. Demikian dalam demokrasi kekuasaan tidak akan menjadi otoriter sejauh masyarakat sipil terus mengontrolnya. Karena itu, kontrol masyarakat pertama-tama harus dimulai dengan berani untuk bersikap kritis terhadap penguasa. 

Kritisisme berasal dari kata “kritika” yang merupakan kata kerja dari “krinein” yang artinya memeriksa dengan teliti, menguji, membeda-bedakan (Udo Z Karzi, 2021; 235). Berpikir kritis berarti tidak mudah menerima kebenaran dari luar, sebaliknya terus menimbang, mengevaluasi dan menguji sampai kebenaran itu berpuncak pada kepastian dan mendapat legitimasi secara universal. Masyarakat sipil harus berada dalam posisi ini. Memang terkesan imperatif namun amat penting sebagai upaya menciptakan negara demokratis.

Selain itu, dalam demokrasi menjadi penguasa (pemerintah, pemimpin) artinya mengambil konsekuensi untuk siap dikritisi. Sebab, dalam setiap kebijkan yang ditelurkan para pemimpin tetap harus berpegang pada prinsip fabilisme yang terus diterapkan demi memproduksi kebijakan yang bermutu (Karzi, 2021; 235). Sebab, kebijakan politik selalu mengandaikan kehendak bersama sehingga tidak ada lagi korban yang merasa rugi sebagai dampak dari kebijakan tersebut. Peran serta masyarakat kecil setidaknya meminimalisasi dampak destruktif dari kebijakan politik, seperti tidak ada lagi masyarakat adat yang kehilangan hak tanahnya akibat penggusuran secara massif, krisis ekologi, pemanasan global dan dampak lainnya.

Pertanyaannya ialah, siapa saja yang berpartisipasi di dalam sikap kritisisme itu? Peran serta semua masyarakat adalah jawabannya. Namun, beberapa institusi berikut menurut penulis mesti berperan dengan militan dalam mengawal demokrasi. Pertama, kampus. Kritisisme kampus dapat kita baca secara historis terutama pada gerakan reformai tahun 1998, di mana mahasiswa tampil dengan militan melawan kediktatoran Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto. Kekuatan mahasiswa berhasil menumbang kekuasaan otoriter Soeharto yang berlangsung selama 32 tahun. Kebangkitan gerakan ini tentu lahir dari sikap kritis mahasiswa terhadap rezim yang penuh bermuatan otoritarianisme.

Selain gerakan reformasi, akhir-akhir ini sejumlah media tanah air baik media sosial maupun media mainstream menyajikan informai seputar aksi guru besar, dosen dan mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia, seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran dan beberapa kampus lainnya yang amat getol dan militan mengkritik presiden Jokowi yang diklaim telah menggerus citra demokrasi.

Seruan beberapa kampus ini lahir dari rasa keprihatinan terhadap kondisi demokrasi yang mengalami kemunduran selama masa pemerintahan presiden Jokowi. Presiden dianggap telah melakukan kecurangan dalam kontestasi Pemilu 2024 dan dinilai tidak netral dengan menyalahgunakan kekuasaan untuk mendukung calon tertentu (Koran Tempo 5/2/2024).

Petisi beberapa kampus tersebut sebagai suatu kegembiraan bahwa kampus memang masih menamaikan entitasnya sebagai komunitas akademik yang kritis. Hal ini patut diapresiasi sebab dengan kritisisme, kampus tidak mudah terjinak oleh hegemoni elit politik yang membuat kampus enggan untuk bersikap kritis. Namun di sisi lain, perlu diberikan catatan kritis bahwa suara kritisisme kampus mesti tidak mengenal waktu. Suara kritisisme kampus tidak harus tunggu demokrasi sebentar lagi terjatuh ke dalam jurang. Sebaliknya, kritisisme kampus harus terus mengawali roda kekuasaan supaya kekuasaan tidak bertendensi menjadi otoritarianisme.

Namun, menjadi paradoks ketika mahasiswa sebagai agent of changes tidak berani mendengungkan suara kritis, tetapi lebih suka sensasi terhadap atraksi elit politik di media sosial ketimbang menjeli lebih jauh substansi dari gagasan dan kebijkan politiknya. Kalaupun ada suara kritis, itu mungkin hanya sebatas wacana dengan tidak mengkontektualisasi di tengah kegaduhan politik. Inilah yang menjadi autokritik terhadap diri mahasiswa agar lebih mencirikan entitasnya sebagai kaum muda yang progresif dan revolusioner.

Kedua, organisasi masyarakat (selanjutnya disebut ormas). Tujuan utama pembentukan ormas adalah bagaimana mengontrol kekuasaan negara agar dapat berjalan sesuai dengan amanat konstitusi (Mohammad Muliyadi, 2018; 47). Dalam bidang sosial politik, kemunculan ormas dinilai sebagai respon atas kebijakan politik yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Lahirnya ormas merupakan upaya untuk berkonfrontasi terhadap kebijakan pemerintah yang melanggar perintah konstitusi agar kembali kepada koridor demokrasi, yakni membawa rakyat kepada kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan.

Ketiga, dalam demokrasi keberadaan oposisi juga amat urgen dan menjadi keniscayaan. Kehadiran oposisi tidak harus dinilai sebagai ancaman, namun amat mutlak diperlukan sebagai pengontrol jalannya roda kekuasaan. Keterpautan antara oposisi dan demokrasi sesungguhnya tidak lepas dari prinsip yang mendasarinya, yakni penghargaan yang tinggi atas perbedaan. Dalam demokrasi, perbedaan bukan barang haram yang harus dimusuhi atau dijauhi, melainkan merupakan bata merah yang tidak terpisahkan dari bangunan demokrasi (Juliantara, 1998; 78).

Dalam peranannya bagi demokrasi, oposisi menurut Juliantara (1998) paling tidak mengandung dua unsur berikut. Pertama, independen. Suatu oposisi tentu saja bukan menjadi bagian dari kekuasaan, melainkan harus mengambil jarak agar dapat melakukan check and balance secara bebas. Kedua, merepresentasikan kepentingan masyarakat luas. Karena itu, oposisi harus memiliki akses yang luas ke masyarakat. Ini penting agar suara oposisi bukan sekadar kepentinagn segelintir orang, melainkan wakil dari kepentingan banyak orang.

Akhirnya selain keterlibatan dari ketiga lembaga di atas, kontrol terhadap kekuasaan juga tidak lepas dari peran masyarakat sipil yang lebih luas. Artinya, kontrol terhadap pemerintah tidak harus melalui organisasi yang telah terinstitusional. Siapa saja dapat mengontrol rezim sejauh pro-demokrasi. Mari mengawal demokrasi dengan membangun semangat kritisisme!

Peredaran Hoaks Pemilu 2024 Masih Besar

JakartaIndodian.com Memasuki masa tenang kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, data analytics PT Binokular Media Utama (“Binokular”) melakukan riset media monitoring terhadap pemberitaan di media massa dan percakapan di media sosial tentang peredaran hoaks yang masih besar di Pemilu 2024, baik di media massa dan media sosial. Selain itu, Binokular juga mencatat topik-topik besar dari kampanye masing-masing pasangan calon (paslon) presiden-wakil presiden (wapres).

Distribusi Konten Hoaks

Manajer News Data Analytics Binokular (Newstensity) Nicko Mardiansyah menyebut, secara umum informasi hoaks awalnya muncul di media sosial dan diamplifikasi dalam pemberitaan media konvensional. Berdasarkan pantauan di media massa online, print, dan elektronik, terdapat tiga tren fake news/hoaks yakni: Pertama, Hasil Perhitungan Suara di Luar Negeri Sudah Keluar. Isu ini sudah keluar pada rentang 8-11 Februari 2024 sebanyak 115 artikel (berita klarifikasi) dengan puncak pemberitaan pada tanggal 9 Februari.  

Secara umum, validitas informasi klarifikasi bersumber dari Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI). Isu serupa juga muncul di media sosial terutama dalam bentuk konten video yang menunjukkan hasil perhitungan suara Pilpres 2024 di luar negeri, yakni di Malaysia dan Taiwan. Eksposur konten dominan didistribusikan melalui Tiktok (65%), Facebook (19%), X (Twitter) (13%), Youtube (3%) dengan total sebanyak 31 postingan yang menyumbang sebanyak 18.951 engagement (interaksi pengguna media sosial) dan ditonton sebanyak 776.997 kali. Berikut contoh postingan hoaks link, link, link, link, dan link.

Kedua, KPU Tak Lagi Keluarkan Undangan Fisik untuk Mencoblos, mulai diberitakan dalam periode 6-11 Februari 2024 sebanyak 22 artikel (berita klarifikasi) dengan puncak pemberitaan pada tanggal 8 Februari dan dominan diberitakan oleh media online. Sama dengan isu pertama, mayoritas informasi bersumber dari KPU RI dan KPU Daerah. Isu di atas juga didistribusikan di media sosial sebanyak 34 postingan dengan 2.543 engagement dan ditonton sebanyak 167.371 kali. Beberapa contoh postingan hoaks: link, link, link, link, link.

Ketiga, Prabowo-Gibran di Surat Suara Menjadi Nomor 3 muncul sejak tanggal 3-7 Februari 2024 sebanyak 22 artikel. Terdapat 5 berita dengan kekacauan informasi jenis disinformasi yang beredar mulai tanggal 3 Februari 2024, dan 17 berita yang mengklarifikasi disinformasi tersebut. Pemberitaan jenis klarifikasi mulai beredar sejak 4 Februari 2024. Diketahui, isu ini mencatat 11 postingan, mencatat engagement sebesar 563 dan ditonton sebanyak 1.131.104 kali. TikTok menjadi platform dominan penyebaran konten (73%), diikuti Twitter/X (18%), dan Instagram (9%).

Manajer Social Media Data Analytics (Socindex) Binokular Danu Setio Wihananto menyebutkan bahwa berdasarkan hasil penelusuran, desain surat suara yang terlihat pada video tersebut berbeda dengan desain resmi yang dirilis oleh KPU. Perbedaan yang paling terlihat adalah pada foto yang digunakan oleh masing-masing pasangan calon presiden dan calon wakil presiden memiliki perbedaan dengan foto pada desain resmi dari KPU. Dengan demikian, surat suara yang ada dalam video tersebut bukan merupakan surat suara yang dikeluarkan oleh KPU. Link postingan hoaks sebagai berikut: link, link, link, link, dan link.

Mencermati masifnya distribusi konten hoaks di media sosial yang kemudian diamplifikasi oleh media massa dan akun-akun mendia sosial tertentu sebagaimana yang ditunjukkan oleh hasil riset Binokular, Vice President of Operations PT Binokular Media Utama, Ridho Marpaung mengimbau media massa, pembaca berita dan warganet untuk tetap rajin dalam melakukan verifikasi informasi pada sumber-sumber informasi yang resmi dan memiliki rekam jejak yang baik juga memperbanyak literasi.

Ridho menyatakan, Binokular mengajak setiap setiap paslon, tim kampanye, dan partai-partai poitik serta pemangku kepentingan dan masyarakat untuk kompak dalam mendukung dan menjaga agar gelaran Pemilu 2024 dapat berlangsung dengan damai dan juga anti-hoaks dalam bingkai sifat pemilu yang jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia (jurdil dan luber).

Program Unggulan Paslon

Pada masa debat Capres-Cawapres berlangsung (12 Desember 2023-4 Februari 2024), Binokular mencatat bahwa dalam pemberitaan media massa, paslon Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar disorot dalam isu 40 Kota Naik Kelas (2.086 artikel), Bansos Plus (1.245 artikel), dan Contract Farming (522 artikel).  Paslon nomor dua yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka lebih banyak disorot terkait Program Makan Siang dan Susu Gratis (10.793 artikel), Program Hilirisasi (10.170 artikel), dan Food Estate (5.315 artikel). Sedangkan Paslon nomor 3 yakni Ganjar Pranowo-Mahfu MD dominan diberitakan terkait KTP Sakti (5.806 artikel), Satu Keluarga Miskin, Satu Sarjana (4.068 artikel), dan Internet Gratis (3.278 artikel).

Sementara catatan Binokular di media sosial, paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar cukup signifikan dibincangkan terkait Bansos Plus (5.208 talks –percakapan-) dengan engagement  terbesar 1.777.640 talks, diikuti isu Pendidikan Gratis (3.718 talks) dan Penyediaan Lapangan Pekerjaan (3.500 talks). Sedangkan Pasangan Prabowo-Gibran disorot dalam percakapan dominan tentang Makan Siang dan Susu Gratis (61.342 talks) yang mencatat engagement terbesar 20.620.498, diikuti isu Hilirisasi Komoditas (45.065 talks), dan Kenaikan Gaji Guru, ASN dan TNI-Polri (2.908 talks). Sementara itu, Pasangan Ganjar-Mahfud dipercakapkan warganet terkait program KTP Sakti (53.597 talks), diikuti Internet Gratis (52.595 talks) dan Satu Desa-Satu Faskes-Satu Nakes (5.522 talks). Internet Gratis mencatat engagement terbesar yakni 10.172.167.

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Indodian.com – Tulisan ini beranjak dari diskusi penulis dengan Sarnus Joni Harto di kolom komentar Facebook. Dengan begitu kritis, kawan baik saya ini mengutarakan pernyataan demikian “Saya berbeda pendapat pada bagian gerakan kritis kampus yang akhir-akhir ini berebut panggung. Bagi saya, semua petisi itu tanda kritisisme musiman dan oportunisme kampus”. Lebih lanjut, Sarnus berujar “Saya lebih setuju jika gerakan semacam itu dilakukan tepat sehari setelah MK menetapkan batas minimum usia Cawapres”.

Tentu, ucapan ini juga ‘menggugat’ kesadaran saya. Bagaimana mungkin kampus terkesan bergerak di ‘garis akhir’? Apa yang menyebabkan kalangan intelektual terkesan ‘lamban’ bergerak, padahal mereka memiliki kecakapan epistemik dalam melacak geliat ‘kuasa’ Jokowi?

Membawa Api Kebenaran

Seperti bola api yang menggelinding seketika, belakangan ini protes kalangan intelektual di beberapa kampus membuncah dengan sangat cepat. Setelah segenap sivitas akademika UGM meminta, mendesak, dan menuntut penegak hukum, pejabat negara dan aktor politik  yang berada di belakang Presiden Joko Widodo, termasuk Presiden sendiri, untuk segera kembali pada koridor demokrasi” (Kompas, 31 Januari 2024), beberapa kampus kemudian turut terlibat menyatakan ‘sikap’. Bahkan terkini, seluruh Sekolah Tinggi Filsafat se-Indonesia juga turut ‘turun’ gunung menyampaikan kritik terhadap Jokowi (https://www.cnnindonesia.com).

Kita tentu perlu menyambut baik ‘bisingan’ kaum intelektual. Sebab sebagaimana Ikrar Nusa Bhakti, bagaimanapun suara mereka adalah sebentuk penegasan sikap bahwa apa yang telah dilakukan Jokowi tidak sesuai dengan etika dan moral politik yang terkandung dalam ‘Pancasila’ (‘Ketika Kampus Mulai Bersuara’, Kompas, 9 Februari 2024). Kehadiran kaum intelektual adalah sebentuk ‘sikap tanggap’ bahwa skema politik Jokowi memang mencederai prinsip konstitutif demokrasi. Mereka bersuara, menggugat, dan mengambil sikap dengan maksud ‘agar ‘kebenaran demokratis’ dapat kembali ‘pulang’.

Maka, bagi  penulis, reaksi beberapa kampus sejauh ini merupakan tanda keterlibatan kaum intelektual yang ‘berorientasi pada nilai’. Menyitir Noam Chomsky, filsuf sekaligus profesor linguistik Amerika Serikat, corak intelektual seperti ini adalah mereka yang mampu bercakap dan bersuara. Mereka bahkan tak segan mengajukan keberatan terhadap pemerintah. Tanpa mesti takut, mereka mengabdikan diri untuk ‘melecehkan’ pemimpin dan menantang otoritas (Chomsky, 2016:4-5).

Intelektual seperti ini hadir dengan satu sikap dasar “Aku ada untuk kebenaran”. Maka wajar kalau mereka bergerak. Sebab mereka menentang otoritas untuk menegakkan kebenaran. Karena itu, kalau selama ini Jokowi mematikan prinsip demokratis, maka kritikan kaum intelektul seperti ini adalah ‘jalan pulang’ untuk membalikan kebenaran. Mereka hidup untuk kebenaran. Itu sebabnya jika ada ‘tabiat’ tak benar, mereka mengkritiknya dengan keras. Sehingga, kalau dalam kisah klasik Yunani, ada seorang dewa bernama Promoteus yang membawa api di tengah ‘kegelapan’. Maka saat ini, publik mesti bersyukur sebab di saat demokrasi sedang dilandang ‘kabut kegelapan’, kaum intelektual justru menunjukkan tanda terang. Demikian, di tengah ekskalasi kekuasaan Jokowi, kaum intelektual justru berupaya mengembalikan cita rasa ‘demokrasi bersama’.

Paradoks Keterlibatan

Anehnya, keterlibatan kaum intelektual sejauh ini ‘dirasa’ cukup problematis. Dalam diskusi kami, misalnya, Sarnus berujar “Akhir-akhir ini, banyak Perguruan Tinggi yang berebut peluang untuk menulis petisi/surat pernyataan. Buat diskusi dadakan lalu di ujung kegiatan mereka luncurkan sikap tertentu. Isinya tentu saja mengutuk praktik politik Jokowi. Unik. Juga aneh”.

Pernyataan ini pun tentu menggugah saya:‘Mengapa gerakan seperti ini justru ramai terjadi belakang ini?’ Tanpa meremehkan gerakan kritis kampus, penulis berpikir bahwa keterlibatan dunia kampus sejauh ini cenderung paradoksal. Kampus adalah rumah pertarungan akal sehat. Ia menjadi ladang kritis-epistemik. Karena itu, kampus seharusnya sudah lama menjadi tempat pertama untuk mendeteksi dan mengonstruksi counter hegemonic atas gejolak otoritarianisme Jokowi.

Jika boleh jujur, gejolak otoritarianisme Jokowi tentu sudah lama diselidiki dalam literatur akademisi. Tom Power, peneliti Australia, misalnya, bahkan sudah lama menegaskan bahwa era politik Jokowi cenderung otoritarianik. Dalam tulisannya berjudul Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline, ia bahkan dengan lugas menegaskan bahwa pada akhir masa jabatan pertama Jokowi, terjadi penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Hal itu beriringan dengan pengarusutamaan dan legitimasi Islam politik yang konservatif dan anti-pluralistik; manipulasi partisan terhadap lembaga-lembaga penting negara; dan semakin terbukanya penindasan dan pemberdayaan oposisi politik.  Bagi Power, tren-tren ini telah menyebabkan ketidakseimbangan dalam arena demokrasi, membatasi pilihan demokrasi, dan mengurangi akuntabilitas pemerintah (2018:307).

Selain itu, suara kritis atas kekuasaan Jokowi juga tertuang dalam kajian para ilmuwan semisalnya dalam buku Demokrasi di Indonesia: dari Stagnasi Menuju Regresi (2020) dan Demokrasi Tanpa Demos (2021). Bahkan kajian ini juga didukung riset Ecnomist Intelligence Unit (EIU) yang menegaskan bahwa Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2022 hanya meraih skor 6,71. Skor tersebut sama dengan nilai yang diperoleh Indonesia pada indeks Demokrasi 2021, dan masih tergolong sebagai demokrasi cacat (flawed democracy) (bdk. https://data.tempo.co/data/1624/indeks-demokrasi-indonesia-2022).

Karena itu, hal ini menjadi tanda bukti bahwa peringatan akan kebusukan Jokowi memang sudah ‘jauh-jauh’ hari disampaikan dalam lingkaran menara ‘gading intelektual’. Namun sayang, di tengah beredarnya kajian serius tentang Jokowi, kaum intelektual sepertinya lamban untuk mengonstruksi gerakan masif seperti sekarang ini. Terkesan, kaum intelektual bergerak dengan cara kerja ‘palang merah’, bukannya ‘palang pintu’. Mereka bergerak tatkala mendatangkan ‘korban’ dan enggan berikhtiar untuk meredam sejak ‘awal’.

Ini adalah paradoks keterlibatan kaum intelektual. Padahal menurut Daniel Dhakidae, kaum intelektual (cendikiawan) memiliki kekuasaan atas bahasa dan pengetahuan (2003:55-56), lalu mengapa sejak awal kuasa pengetahuan tidak dipakai sebagai pijakan untuk membrendel Jokowi?. Bukankah sudah banyak kajian, tulisan ataupun diskusi perihal kebusukan Jokowi yang terjadi dalam lingkungan kampus? Namun mengapa gerakan besar-besaran baru terjadi belakangan ini.

Saya membayangkan, jika gugatan beberapa ilmuwan yang mengkritik keras rezim pemerintahan Jokowi ditanggapi dengan cepat oleh sebagian besar kampus, maka demokrasi kita tidak akan berada pada titik stagnan. Jika gerakan masif kaum intelektual sudah jauh-jauh hari dikumandangkan, maka Jokowi tentu ‘gertak’. Pun, kalau seandaianya petisi dan gerakan ‘pernyataan sikap’ sudah lama dikonstruksi oleh kaum akademisi, maka demokrasi sudah lama menjadi pulih.

Risiko Politik Memabukkan

Memang keterpilihan Jokowi sebagai Presiden dalam konstitusi politik 9 Juli 2014, diiklaim sebagai indikasi bahwa demokrasi bisa berjalan lebih baik. Pasalnya, sebagaimana Ahmad Sahide, kala itu, Jokowi dinilai sebagai Presiden pertama yang terpilih dari figur yang bukan ketua umum parpol atau elite parpol. Ia juga dianggap sebagai Presiden yang merepresentasi kalangan pinggiran (‘Jokowi, dari Kesempurnaan Demokrasi Menuju Politik Dinasti’, Kompas, 3 November 2023).

Hanya saja, pemakluman seperti ini mengantarkan  publik pada pengkultusan Jokowi. Jokowi kemudian dipersonifikasi seolah-olah ia adalah pemimpin yang tidak pernah berbuat salah. Ia diklaim sebagai pemimpin yang benar. Karena itu, Jokowi selalu diidentikan dengan kebenaran.

Tentu, pengkultusan semacam ini juga merasuki nalar dunia akademisi. Di UGM, misalnya, beberapa akademisi mengakui bahwa dahulu mereka memuji-muji cara kepemimpinan Jokowi di tingkat nasional. Bahkan,  Koentjoro, Guru Besar UGM pun turut mengakui bahwa ia dulu berkiblat pada Jokowi. “Betul-betul (kecewa) sekali”, demikian Koentjoro,“Kalau dulu kan kita puja-puja. Barangkali kesalahan fatal kita terlalu menempatkkan dia terlalu tinggi sehingga dia (merasa) tidak pernah salah” (https://amp.kompas.com).

Karena itu, ini adalah tanda bukti bagaimana dunia kampus dirasuki nalar ‘pengkultusan’ Jokowi. Hanya sayang, pengkultusan semacam ini memformat rasionalitas politik kritis-demokratis. Kaum intelektual serasa ‘tak berdaya’. Atau bisa saja ‘dininabobokan’ sejenak. Dalam pusaran kemabukkan seperti ini, hiperbolisasi Jokowi membuat kaum intelektual enggan cepat tanggap.

Karena itu, kalaupun mereka memiliki kesanggupan epistemik untuk melacak gejala otoritarianisme Jokowi, hanya saja ‘nalar pengkultusan’  terhadap Presiden ‘Wong Cilik’ tersebut membuat gerakan kaum intelektual menjadi ‘vakum’. Menyitir Chantal Mouffe, dalam kondisi semacam ini, mereka belum menemukan ‘momen politis’ untuk dijadikan sebagai pijakan kolektif dalam melakukan perlawan terhadap musuh bersama (common enemy). Kesadaran kolektif dicekik oleh daya tawar sesaat politik yang meyakinkan. Pun konsientisasi kolektif diperlemah oleh sikap politik Jokowi yang terkesan ‘merakyat’.

Tanpa malu dan ragu, dalam nalar pengkultusan semacam ini pun,  mereka bersimpati mendukung Jokowi. Mereka menaruh kepercayaan penuh atasnya. Dalam keadaan inilah ia dipersonofikasi sebagai ‘pembawa berkat’ atas krisis yang terjadi dalam tubuh demokrasi. Karena itu, wajar kalau gerakan kaum intelektual terkesan lamban. Sebab, saking mengkultuskan pejabat, kaum intelektual serasa ‘apatis’ dan cenderung  memaklumkan ‘kekeliruannya. Demikian pula, wajar kalau gerakan masif seperti saat ini tidak menguat sejak lama, sebab dalam nalar pengkultusan, mereka rela mereduksi diri sebagai intelektual teknokrat: ‘hamba pelayan’ kebijakan.

Catatan Reflektif

Kita perlu mengapresiasi pernyataan ‘sikap kritis’ beberapa kampus yang santer terjadi belakangan ini. Kalaupun sedikit gelisah, karena kaum intelektual berjalan ‘lamban’, hanya saja demokrasi saat ini butuh ‘obat penawar’. Saat nalar warga dijejali pengkultusan Jokowi, kita justru butuh alarm keras dunia intelektual semacam ini.

Namun demikian, kegelisahan atas sikap kaum intelektual seperti saat ini mestinya menjadi otokritik. Kritisisme memang perlu dirawat. Demikian, kecakapan nalar mesti terus dijaga. Hanya saja, kaum intelektual mesti berdistansiasi dengan kekuasaan. Siapa pun pejabatnya, kaum intelektual selalu bersuara. Selain itu, kritisisme kampus mesti menderang setiap waktu. Sebab, jika tidak demikian, menyitir Sarnus, bisa saja kehadiran kaum intelektual hanya sekadar ‘tanda kritisisme musiman’

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Indodian.com – Pada Sabtu, 3 Februari 2024, Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero menggelar diskusi politik mahasiswa bertajuk “Dinamika Politik Indonesia dan Kontestasi PILPRES 2024”. Setelah diskusi politik, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) bersama seluruh mahasiswa IFTK Ledalero turut menyampaikan pernyataan sikap. “Kami melawan segala bentuk tindakan yang mencederai demokrasi dan melanggar konstitusi”, demikian kutipan pernyataan yang dibacakan Max Gepa, ketua BEM IFTK Ledalero.

Tentu, IFTK Ledalero tidak sendiri. Pasalnya pernyataan sikap semacam ini juga disampaikan beberapa kampus di Indonesia. Di UGM, misalnya, segenap sivitas akademika meminta, mendesak, dan menuntut penegak hukum, pejabat negara dan aktor politik  yang berada di belakang Presiden Joko Widodo, termasuk Presiden sendiri, untuk segera kembali pada koridor demokrasi” (Kompas, 31 Januari 2024). Atau di Universitas Islam Indonesia, segenap sivitas akademika bahkan dengan lugas menyatakan “Ketika hasil perjuangan dinodai dan dihina, maka tidak ada lagi yang bisa kita serukan kecuali, lawan” (Kompas, 1Februari2024).

‘Pernyataan sikap’ beberapa kampus di Indonesia tentu beralasan. Pasalnya seruan semacam itu bertumbuh di tengah kekhawatiran publik akan cita rasa demokrasi. Dunia akademik mensinyalir bahwa saat ini demokrasi sedang tersandera dalam jeruji ‘kepentingan penguasa’. Kekuasaan politik dipakai Jokowi untuk mengintervensi kontestasi politik pada 14 Februari 2024.

Demokrasi Serasa Mati di Tangan Jokowi

“Apakah demokrasi kita dalam bahaya?”, demikian gugatan awal Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam karya mereka berjudul “How Democracie Die”. Kedua ilmuwan politik Amerika Serikat ini mengklaim bahwa demokrasi saat ini sedang dilanda bahaya. Hanya saja proses kematiaan demokrasi agak berbeda. Kalau dulu demokrasi bisa mati di tangan jenderal, namun sekarang ia mati di tangan pemimpin terpilih (Levitsky dan Ziblat, 2019:ix).

Rupanya seruan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt amat relevan untuk konteks Indonesia. Meski dipilih secara demokratis, namun selama menjabat, sikap anti-demokratis Jokowi sangat kentara. Bahkan geliat sikap semacam itu semakin kentara di akhir masa jabatannya. Menurut Wijayanto, perilaku anti-demokratis Jokowi nampak dalam pengingkaran aturan main demokratis, wacana amandemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode, dan ‘utak-atik’ keputusan MK demi memuluskan langkah Gibran (‘Memperkuat Demokrasi Kita’, Kompas, 18 Januari 2024).

Selain itu, dalam laporan bertajuk “Stagnasi HAM Menjelang Satu Dekade Jokowi”, Setara Institute mencatat semasa rezim Jokowi, indeks  HAM mengalami stagnasi. Dalam catatan setara institusi, keadaan ini diperparah dengan banyaknya kekerasan terhadap jurnalis, kriminalisasi berdasarkan UU ITE, represi aparat terhadap massa, pembubaran diskusi publik, pembatasan kebebasan akademik,  kekerasan berbasis orientasi, identitas, dan ekspresi gender, ataupun perampasan wilayah adat atas nama Proyek Strategis Nasional (https://setara-institute.org/stagnasi-ham-menjelang-satu-dekade-jokowi).

Alarm sikap anti-demokratis Jokowi sebetulnya sudah lama disampaikan Thomas Power dan Eve Warbuton. Dalam tulisan berjudul “Kemunduran Demokrasi Indonesia”, sebagaimana termuat dalam buku Demokrasi di Indonesia: dari Stagnasi Menuju Regresi, kedua ilmuwan politik ini menegaskan bahwa saat ini demokrasi Indonesia terancam punah. “Analis politik yang pernah memuji Indonesia sebagai mercusuar demokrasi di wilayah yang bermasalah”, demikian Power dan Warbuton, “kini sebagian besar setuju bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami kemunduran”. Bagi mereka, memburuknya demokrasi di masa Jokowi diperparah dengan mobilisasi populis, perkembangan intoleransi dan menguatnya sektarianisme, nirfungsi lembaga pemilihan dan perwakilan, memburuknya kebebasan sipil,  dan penggelembungan kekuasaan eksekutif untuk membungkam kritik dan menekan oposisi dengan cara otoriter (2020:1).

Karenannya, menyitir gugatan Levitsky dan Ziblatt, apakah demokrasi kita dalam bahaya? Tentu ia. Sebab saat ini demokrasi dibajak secara halus dalam kerangka kepentingan rezim politik Jokowi. Bayangkan saja, di genggaman Jokowi, seturut riset yang dilakukan Ecnomist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2022 hanya meraih skor 6,71. Skor tersebut sama dengan nilai yang diperoleh Indonesia pada indeks Demokrasi 2021, dan masih tergolong sebagai demokrasi cacat (flawed democracy) (bdk. https://data.tempo.co/data/1624/indeks-demokrasi-indonesia-2022). Karenanya, di tangan Jokowi, demokrasi tidak lagi sekadar stagnasi. Pelan, tapi pasti, ia mengalami regresi, lalu mati. Ia mati bukan saja semasa pra-reformasi, namun terkini di masa Jokowi. Ia mati bukan di tangan jenderal militer, namun di genggaman seorang Presiden.

Rasa Panik Melahirkan Politik Dinasti

Memang keterpilihan Jokowi sebagai Presiden dalam konstitusi politik 9 Juli 2014, diklaim sebagai indikasi bahwa demokrasi bisa berjalan lebih baik. Pasalnya, sebagaimana Ahmad Sahide, kala itu, Jokowi dinilai sebagai Presiden pertama yang terpilih dari figur yang bukan ketua umum parpol atau elite parpol. Ia juga dianggap sebagai Presiden yang merepresentasi kalangan pinggiran (‘Jokowi, dari Kesempurnaan Demokrasi Menuju Politik Dinasti’, Kompas, 3 November 2023). Hanya sayang harapan semacam itu sekadar ilusi politik. Sebab selepas menjabat, Jokowi malah memperparah keadaan. Alih-alih diklaim sebagai ‘agen pembebas’, malahan ia begitu haus kekuasaan.

Jika ditelisik lebih dalam, geliat kekuasaan Jokowi  beriringan dengan rasa panik politik. Jokowi panik, sebab dalam masa kepemimpinan, ia amat ambisius merealisasikan agenda pembangunan. Bayangkan saja, semasa memimpin, ia amat gencar mengedepankan hilirisasi dan industrialisasi sumber daya alam, optimalisasi sumber energy bersih dan peningkatan ekonomi hijau, penguatan perlindungan hukum, sosial, politik, dan ekonomi untuk rakyat, melanjutkan digitalisasi ekonomi agar usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia segera naik kelas, serta keberlanjutan IKN dan program PSN lainnya (https://www.ksp.go.id/2023-ksp-siap-mengawal-5agenda-prioritas-presiden-jokowi.html).

Jelas, ini merupakan agenda pembangunan yang luar biasa. Hanya sayang dalam rasa panik yang menggebu gebu, ia takut untuk tersingkir. Ia takut kalau-kalau ambisi kekuasaan tidak mencapai ‘kesempurnaan’. Ia takut jikalau realisasi pembangunan tidak mencapai target. Karenanya, dalam rasa panik yang menggebu, ia membangun ‘tembok’ kekuasaan. Ia menata sejumlah taktik guna menghindari bisingan publik. Ia mau agar realisasi pembangunan jauh dari kritikan banyak orang.

 Karenanya seruan Wolfgang Sofsky benar. Bahwa dalam rasa panik, manusia tidak menjadi tuan atas rasionya. Rasio tidak dapat begitu saja mengusir rasa cemasnya. Justru sebaliknya rasa cemas itu mendikte rasionya (Hardiman, 2011:123). Sehingga, dalam kepanikan, Jokowi menyingkirkan rasionalitas demokratis. Malahan, sebagaimana Azyumardi Azra, demi menyelematkan pembangunan, Jokowi mengedepankan penggunaan intimidasi, koersi, persekusi, dan kekerasan yang cenderung tidak terukur (‘Pembangunan dan Perdamaian’, Kompas, 24 Februari 2022).

Tidak sampai di situ. Sesungguhnya menjelang masa akhir jabatan, rasa panik politik Jokowi kian bergejolak. Gejolak kepanikan terbaca dalam keputusan MK yang memberi ruang bagi Gibran Rakabuming, anak kandung Joko Widodo, menjadi calon wakil presiden. Publik menilai keputusan ini problematik. Sebab diduga kuat, Jokowi terlibat ‘mengutak-atik’ keputusan demi memuluskan langkah Gibran. Setelah wacana ‘Presiden 3 Periodel’ gagal diakomodasi, Jokowi akhirnya ‘main kuasa’: mengintervensi keputusan MK demi mewariskan kekuasaan pada sang putra.

Jelas dalam situasi ini, Jokowi menyembunyikan kepanikan politik. Ia panik kalau-kalau yang menjabat Presiden selanjutnya amat kontra-produktif dengan agenda pembangunan Jokowi. Ia panik jika yang ‘menjadi penggantinya’ membatalkan rencana kerja politik yang dibangun. Makanya, dalam kepanikan ini, Jokowi mengorbitkan anak kandung. Walaupun mengangkangi etika politik, Jokowi memuluskan langkah Gibran dengan harapan agar ia meneruskan agenda pembangunan. Maka dalam rasa panik politik, Jokowi mereduksi demokrasi dalam framing politik dinasti. Kecemasan justru tidak lagi memantapkan pembangunan. Malahan, rasa panik semacam itu, membawa demokrasi dalam biang kehancuran.

Berlaku Demokratis Sejak dalam Pikiran

Kita perlu menyambut baik pernyataan sikap beberapa kampus di Indonesia. Walaupun terkesan lambat, hanya saja pernyataan kaum intelektual mestinya menjadi ‘alarm’ publik bahwa ‘demokrasi kita sedang sakit’. Pernyataan sikap semacam itu harus menjadi refleksi kolektif agar masyarakat mesti mengayun perahu demokrasi menuju tepian yang lebih sehat.

Jika kita punya niat untuk menyelamatkan demokrasi, mulailah menatah keberpihakan sejak dalam pikiran. Jangan mudah terbuai dengan citra politik pembangunan. Sebab kalau sejak dini prinsip demokrasi dilanggar, maka itu jadi tanda bahwa demokrasi sedang digerogoti kepentingan. Maka, kalau pikiran sudah ditahta untuk menjadi semakin demokratis, beranilah untuk menyatakan keberpihakan di bilik suara. Sebab kata Franz Magnis Suseno, “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa”. Maka, langkah yang pas untuk menjegal pemimpin yang haus kuasa, ada di bilik suara.

Jangan Omong Kosong Besok Pagi

Indodian.com“Dimana-mana ada kawan saya, dimana-mana ada kawan saya. Ce pat hari Selasa ada di sana, ce pitu hari Minggu ada di situ. Jadi ta teman jadi ta, bole ta teman bole ta. Jangan omong kosong besok pagi.”

Penggalan lirik lagu di atas familiar di telinga kami. Saking familiarnya, saya sering menyanyikannya untuk menidurkan si Enos, buah hatiku.

Bila ada momen pesta adat, lagu tersebut dinyanyikan bersama-sama, dalam suasana tawa. Ditemani tuak atau sopi sebagai penghangat udara pegunungan di kala malam.

Begitupun saat ada permainan caci. Di tanah congka sae ini, memang lagi tren “musim” caci, terutama karena sedang ramainya wisata premium.

Ada caci congko lokap (doa atau syukuran rumah adat atau mbaru gendang), syukur tahbisan imamat, dan lain-lain.

Maka hampir pasti, ada pemain caci yang menyanyikan lagu “jangan omong kosong besok pagi” itu dari dalam arena (natas). Dan dijawab penonton di luar natas dengan serempak.

Sepintas menarik jika melirik sedikit lirik lagu “jangan omong kosong besok pagi itu dengan disertai dimana-mana ada kawan saya”. Pengarangnya entah siapa.

Tapi bisanya lagu-lagu seperti begitu diteruskan secara turun-temurun, dinyanyikan bersama saat pesta atau momen lainnya, dengan sedikit perubahan go’et atau lirik sesuai konteks si penyanyi.

Saya menduga pengarang lagu ini adalah seorang pengembara, yang dikenal banyak orang, suka bergaul, punya banyak kawan, dan tidak terlepas dari keberadaan orang lain.

Bisa jadi dia merefleksikan pentingnya hidup bersama, kebersamaan, persaudaraan dan kekeluargaan yang berawal dari saling mengenal, saling sapa, saling berbagi–pengalaman atau rezeki sekalipun.

Bila saling mengenal, memahami, menerima, maka tak ada rasa benci. Kebencian justru lahir dari ketidaktahuan dan kekerdilan ruang pikir kita. Tetapi bahwa kita dilahirkan untuk hidup bersama, berkomunitas, dan bersaudara. Ya, itu tadi: karena memang di mana-mana ada kawan saya.

Barangkali dalam hal lain, si pengarang atau penyanyi berpesan untuk menjunjung tinggi kesetiaan dan kejujuran. Ini nyata dalam penggalan “jangan omong kosong besok pagi“.

Orang Manggarai–bahkan saya kira seluruh daratan Flores, dikenal dengan orang yang ramah, murah senyum, suka bergaul, dan perantau. Bila dicek, maka hampir pasti kita menemukan orang Manggarai, dimana-mana di negara ini, bahkan di seluruh dunia, terutama para misionaris–imam dan biarawan atau biarawati. Maka klop dengan lagu tadi.

Ihwal “jadi ta teman jadi ta, bole ta teman bole ta. Jangan omong kosong besok pagi” bahwa kita ingin mengedepankan kejujuran dan kesetiaan. Saya pernah menemukan penggalan atau tukilan dalam bahasa Inggris dalam sebuah bacaan. Honesty is the best policy.

Begitu pula dengan kesetiaan. Bukan parang bermata dua (kope harat bali atau kope nggolong welak), atau “setiap tikungan ada“.

Dalam go’et Manggarai ada petuah atau ungkapan-ungkapan, seperti, “neka daku ngong data, neka data ngong daku. Eme daku, daku muing. Eme data, data muing. Neka lapi-lopet. Kope nggolong welak”.

Lalu, bagaimana jika lagu tersebut di atas dinyanyikan oleh para politisi, terutama dalam konteks menjelang pilkada atau pemilihan kepala daerah secara serentak 2024 di Indonesia? Aiii mama ee, mungkin itu urusan lain.

Jalur politik memang jalur yang kaya akan “seni tipu-tipu”. Sehingga memang saya harus menjauhkan “seni” itu dalam tulisan kecil ini. Karena bisa saja fatal–nanti ada yang merasa tersentil.. Saya malah lebih senang mendengar lagu Iwan Fals berjudul “Asyik Nggak Asyik” ini:

“Rakyat nonton jadi suporter//Kasih semangat jagoannya//Walau tahu jagoannya ngibul//Walau tahu dapur nggak ngebul//Dunia politik dunia bintang//Dunia hura-hura para binatang//Berjoget dengan asyik.”

Daripada sibuk memikirkan politik–yang familiar dengan jargon “tidak ada kawan atau lawan yang abadi, tetapi kepentingan yang abadi” itu, mending kita nyanyi rame-rame:

“Dimana-mana ada kawan saya, dimana-mana ada kawan saya. Ce pat hari Selasa ada di sana, ce pitu hari Minggu ada di situ. Jadi ta teman jadi ta, bole ta teman bole ta. Jangan omong kosong besok pagi.”

Atau mungkin bila ada oknum politisi atau calon legislatif yang menyambangi rumahmu dan mengumbar janji, kita sambut saja dengan lagu Koes Plus: “Kapan-Kapan”.

Saya sewaktu kecil sering mendengar plesetan lagu dari grup musik Indonesia yang dibentuk tahun 1968 itu. Kami menyanyikannya dengan bentuk lain:

“Kapan-kapan Pa Nabas, kita bertemu lagi Pa Kanis? Mungkin lusa Pa Lukas, atau di lain hari Pa Kanis”.

Eh, semakin ke sini kok tulisan ini semakin ke sana, ya. Aehh, saya omong apa ini? Lebih baik mengopi saja sudah. Mengasap dan me-ngue. Asal jangan ngu-nge. []

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Indodian.com- Para pasangan calon dalam debat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sejak ronde pertama hingga ronde keempat kerap menggunakan istilah asing daripada bahasa Indonesia. Istilah asing yang sering disebut, misalnya green economy, carbon capture, tax ratio, green jobs, greenflation, dan sebagainya. Fenomena kebahasaan ini dikenal sebagai xenoglosofilia. Xenoglosofilia merupakan kecenderungan menggunakan bahasa atau istilah asing daripada menggunakan bahasa ibu atau bahasa Indonesia.

Seiring dengan laju globalisasi, penggunaan istilah asing telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Maraknya media sosial juga berpengaruh besar dalam kebiasaan para penggunanya untuk menggunakan istilah asing, baik secara daring maupun luring. Istilah asing bahkan dicampur-adukkan dengan bahasa nasional.

Dunia politik pun tidak luput dari pengaruh ini, di mana para pemimpin dan calon pemimpin cenderung menggunakan istilah asing dalam memberikan pertanyaan atau menanggapi argumen lawan. Namun, dalam konteks debat Pilpres, patut dipertanyakan apakah penggunaan istilah asing ini memudahkan atau malah menghambat para pemilih untuk memahami gagasan dan argumentasi yang dipaparkan setiap pasangan calon?

Bahasa merupakan alat utama dalam menyampaikan ide dan gagasan. Dalam konteks politik, terutama dalam debat Pilpres, kejelasan dan komprehensibilitas bahasa menjadi kunci untuk memastikan pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik tidak hanya mencakup penggunaan kata-kata yang sederhana, tetapi juga penjelasan yang memadai terkait konsep-konsep kompleks yang mungkin dibahas dalam debat.

Ada sejumlah faktor yang bisa saja memicu maraknya fenomena kebahasaan ini. Penggunaan istilah asing dirasa dapat memberikan kesan modern, terhubung dengan isu-isu global, dan menunjukkan bahwa calon pemimpin memiliki wawasan internasional. Calon pemimpin mungkin percaya bahwa penggunaan istilah asing akan meningkatkan daya tarik mereka terhadap pemilih yang lebih terdidik. Tidak menutup kemungkinan juga jika penggunaan istilah asing menjadi bagian dari strategi komunikasi politik untuk menciptakan kesan tertentu di antara pemilih atau untuk membedakan diri dari pesaing.

Banyak juga istilah asing yang digunakan oleh para pasangan calon tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Jika ada, seringkali kurang dikenal oleh masyarakat umum. Hal ini menciptakan kesenjangan pemahaman antara para pemilih dan para calon pemimpin. Masyarakat yang kurang terbiasa dengan istilah asing atau tidak memiliki latar belakang pendidikan tertentu mungkin merasa terpinggirkan atau merasa bahwa calon pemimpin tidak memperhatikan kebutuhan dan aspirasi mereka. Ini dapat menciptakan kesan bahwa politik adalah urusan elit yang hanya dapat dipahami oleh segelintir orang yang memiliki pengetahuan khusus.

Penggunaan istilah asing berpotensi mereduksi kualitas debat. Seharusnya, debat Pilpres adalah wadah di mana ide dan gagasan dari kandidat yang bersaing dapat disajikan dengan jelas dan dimengerti oleh seluruh pemilih. Namun, penggunaan istilah asing dapat mengaburkan esensi perdebatan dan menggeser fokus dari substansi ke bentuk bahasa yang kompleks. Penggunaan istilah asing dalam debat Pilpres dapat menjadi pisau  bermata dua.

Meskipun tampak modern, fenomena ini memiliki risiko besar. Ketika debat terpusat pada penggunaan istilah asing yang kompleks, risiko terbesar adalah hilangnya makna substansial dari pesan yang ingin disampaikan kepada para pemilih. Padahal, jika mengutamakan kejelasan dan keterbacaan pesan, para calon pemimpin dapat memastikan bahwa debat Pilpres tetap menjadi wadah untuk para pemilih memahami dan mengevaluasi visi, kebijakan, dan program kerja setiap kandidat, bukan sekadar permainan kata atau pencitraan linguistik.

Penggunaan istilah asing tak selamanya buruk, jika digunakan dengan bijaksana dan sesuai konteks. Namun, harus ada kesadaran bahwa debat Pilpres adalah panggung nasional di mana bahasa Indonesia memiliki peran kunci untuk menjadikan debat sebagai forum yang inklusif.  Ini menjadi sangat penting dalam konteks demokrasi, di mana setiap suara memiliki nilai yang sama.

Penggunaan bahasa Indonesia yang baik juga mencerminkan penghormatan terhadap masyarakat yang memiliki beragam latar belakang. Ketika calon pemimpin mampu menyampaikan pesan dengan bahasa yang dapat dipahami oleh pekerja, petani, pelajar, dan berbagai kelompok sosial lainnya, mereka memberikan ruang yang setara bagi semua pihak untuk terlibat dalam proses politik.